Jumat, 27 November 2015

Minas Tirith


Peristiwa jebolnya waduk di Minas Gerais awal bulan ini otomatis menjadi salah satu bahan obrolan basa-basi sepanjang jalan di Rio, antara lain bersama teman lama (alumni Gaidai), aki-aki supir taksi (yang mengantar berkeliling), tanteu-tanteu keturunan Isaura (yang tiba-tiba mengagumi model sepatu saya saat berpapasan di jalan), dan abang-abang bermata elang (yang menawarkan diri untuk membantu jepretkan kamera karena ngga tega melihat gaya selfie saya yang menyalahi gravitasi).

"Vale dan BHP Billiton beroperasi di Indonesia juga 'kan, ya?" Demikian rata-rata tanggapan mereka, memicu pembicaraan sedikit lebih panjang lagi, berselang-seling dengan kisah kasus hukuman mati warganegara Brasil penyelundup narkoba awal tahun ini yang menyebabkan bekunya hubungan diplomatik kedua negara, Dubes Indonesia ditolak di sana sedangkan Dubes Brasil ditarik dari Jakarta (syukurlah visa saya tetap terbit dengan lancar).

Air limbah lumpur beracun yang tertumpah tanpa mekanisme peringatan apa pun, akibat jebolnya dua bendungan tambang di bawah perusahaan patungan antara kedua perusahaan tersebut, telah memusnahkan satu kota, menewaskan 9, menghilangkan 19, mengungsikan 600, dan menghilangkan sumber air bagi 250 ribu warga, membasmi ikan sungai Doce, dan kini telah mengalir ke muara, mulai mengeruhkan Samudera Atlantik.

Sebelumnya, perkebunan kopi, peternakan susu, dan wisata air panas di daerah tersebut juga sudah lama terganggu akibat banjir dan kekeringan ekstrem yang merupakan dampak kegiatan pertambangan. Padahal, dewan perwakilan rakyat Brasil saat itu malah sibuk memperdebatkan undang-undang untuk memberi keringanan penerapan peraturan lingkungan terhadap "proyek-proyek infrastruktur strategis demi kepentingan nasional" termasuk pertambangan!!!

Brasil mendapatkan pengalaman yang menyakitkan akan perlunya revisi UU Minerba yang memperketat peraturan lingkungan. Selama ini, usulan revisi masih berkutat tentang bagaimana meningkatkan penerimaan negara, mengundang banyak investasi, pemotongan birokrasi prosedur untuk keberlangsungan produksi; pelelangan lahan, pembentukan badan regulator independen ... Tidak jauh beda dari Indonesia.

Semoga ini menjadi cermin penyadaran bagi Indonesia yang di satu sisi sedang menata ulang peraturan pertambangan dan di sisi lain menggenjot proyek pembangunan 49 waduk di seputar Indonesia.

Vale, salah satu perusahaan yang terlibat (yang dalam sejarah asal-usulnya justru mengambil nama dari lembah Rio Doce yang kini tercemar tersebut), adalah kontrak karya pertama di Indonesia yang telah sukses renegosiasi pasca UU Minerba 2009 dan tampak cukup mengambil hati rakyat sekitar tambang-tambangnya di Sulawesi, walaupun menurut kesan pemda yang pernah saya wawancarai, Vale sekadar pengusaha properti yang dicurigai akan menyewakan kembali tambangnya ke pihak-pihak lain.

Sementara yang satunya lagi, BHP Billiton, perusahaan tambang terbesar di dunia (yang dalam sejarah asal-usulnya dari perusahaan timah Belanda di pulau Belitung kita, sebelum menjangkau berbagai penjuru dunia dan bergabung dengan perusahaan Australia) kini sedang kencang menggenjot pertambangan batubara di Kalimantan Tengah, mengancam keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekologi jantung Borneo.

Tentulah perlu kajian ulang lebih mendalam terhadap izin dan kontrak mereka dan segenap perusahaan tambang lainnya di sini, apakah ada jaminan pengaman yang memadai, apakah studi kelayakan sudah memperhitungkan mahalnya potensi kerugian akibat dampak sosial dan lingkungan sebelum memutuskan untuk menambang.

Satu catatan lain, Presiden Brasil kabarnya menandatangani keputusan penetapan bencana alam agar dapat mengakses dana tanggap darurat, namun pengusutan hukum tetap dapat berjalan terhadap perusahaan tambang yang bertanggung jawab (lah lalu apa masalahnya dengan pemerintah Indonesia yang menahan-nahan dalam kasus asap, tapi ceroboh dalam kasus Lapindo, kemarin dulu itu dong, ya?)

PENAFIAN:
- Gambar di atas itu tidak ada hubungannya dengan Minas. Itu pemandangan yang terbentang di hadapan saya selama empat petang di Niterói, dengan cuaca yang sedikit berubah tiap harinya.
- Informasi yang terkandung dalam catatan ini hanya berdasarkan obrolan ngalor-ngidul saya dengan orang-orang ga penting numpang lewat tersebut di atas. Belum menyelidiki lebih lanjut. Barangkali bisa dicocokkan dengan berita-berita media massa.


BBC Indonesia majalah: 2015/11/15 Lumpur Racun Brasil
smh.com.au: BHP says Indonesia wants Borneo coal to be mined
Beritasatu: Ekspansi mundur, serapan capex Vale Indonesia rendah
Deutsche Welle: Bendungan Raksasa dan Perampasan Ruang Hidup Rakyat
Tempo: 2010/08/09 Ratusan warga Pesawaran Lampung keracunan merkuri
OHCHR: Brazilian mine disaster: “not the time for defensive posturing”
BBC.com: 2015/11/28 Brazil to sue Samarco mining firm for $5.2bn 


3 weeks ago, a mining disaster in Brazil resulted in a massive mudslide that dumped 50 million tons of toxic waste into...
Posted by United Nations Human Rights on Wednesday, 25 November 2015


Brazil's Doce River Is Full of Dead Fish
Dead fish and devastated fishermen: Brazil's Doce River after one of the worst mining disasters in the country's history.
Posted by AJ+ on Wednesday, 25 November 2015

Kamis, 19 November 2015

Meu Rio

Mampir di kantor LSM imut Meu Rio, staf-stafnya muda-mudi keren ke kantor bersepeda, dengan bangga memperkenalkan jati diri sebagai "generasi milenium" usia 18-30 tahun yang walaupun sléngéan tetaplah lebih cerdas canggih berwawasan daripada pendahulunya.



Mereka memahami kesetaraan hak dan kewajiban, dan sudah tercerahkan bahwa dalam menghadapi keterbatasan sumber daya, tersedianya akses publik jauh lebih penting daripada kepemilikan. Mereka menyadari betapa demokrasi harus ditegakkan bukan sekadar dengan memberi suara di pemilu sekali lima tahun, melainkan melalui keterlibatan sehari-hari dalam memperkecil kesenjangan sosial.

Satu hal lagi yang mengagumkan, mereka dengan terbuka tidak hanya menceritakan kesuksesan, tetapi juga becermin dari kegagalan, misalnya upaya melakukan konferensi pers yang cukup didengar oleh para pengambil kebijakan, tetapi sama sekali tidak menggugah masyarakat untuk berpartisipasi. Mereka segera menyadari bahwa media konvensional tidak mendapat tempat di khalayak umum, sehingga media sosial lebih layak diandalkan.

Mereka pun mengembangkan perangkat media sosial untuk menggalang gerakan masyarakat, yang kini telah ampuh mendorong sekitar 200 ribu anggota berbagai kalangan turut mengawal aneka aspek urban perkotaan: sanitasi, transportasi, penyelamatan bangunan bersejarah, pencegahan kekerasan polisi terhadap warga, dll.

Setiap warga dapat proaktif mengajukan suatu masalah yang sedang dihadapi, yang lain mengerubungi untuk membahas dan membantu secara interaktif, kalau ada isu yang sama bisa menggabungkan kekuatan menggalang massa. Isu yang paling mendesak didahulukan agar dapat dengan kekuatan penuh menekan pemerintah untuk mendukung atau mengubah suatu kebijakan. Hanya satu pantangannya, yakni dilarang memakai perangkat ini untuk mengusung kampanye yang bersifat SARA.

Perangkat ini tersedia open source, terbuka untuk dioprek oleh siapa pun yang ingin menerapkan gerakan semacamnya di kota masing-masing. Meu Rio menyediakan pelatihan dan berbagai dukungan profesional, sebagaimana dijelaskan melalui situs di bawah ini.

Mungkin di Indonesia juga sudah banyak prakarsa serupa, mari berbagi pengalaman, gagasan, peluang, tantangan, keberhasilan maupun kegagalan, supaya selalu ada perbaikan dan perluasan jejaring pergerakan.

http://ourcities.org/
http://www.nossascidades.org/en/founders