Selasa, 27 September 2016

Teh Zaman Edan

::: Zaman ini zaman edan: teh botol dikotakin, teh gelas dibotolin :::
(& teh poci disasetin ...) 󾇎󾀼󾔵☕󾀾󾦄󾁃



Teh Hijau

Baru dua minggu lalu saya mengoreksi teman bahwa teh hijau (ryokucha) itu belum tentu adalah matcha.
Pada dasarnya, teh hijau adalah teh yang dikonsumsi tanpa melalui prosedur pelayuan/pengeringan dan oksidasi. Jenisnya dibedakan antara mutu dan cara tumbuh: yang terpapar matahari dengan yang tumbuh di bawah bayangan pohon lain.
Matcha adalah teh bubuk yang dihidangkan dengan cara dikocok sampai kental berbusa, sedangkan teh hijau bening adalah jenis lain: bisa sencha, gyokuro, kabusecha, tamaryokucha, bancha, kamairicha, macam-macam.


Teh Gula

Kebetulan baru kemarin berteman FB dengan seseorang yang pernah menceritakan anekdot ini kepada saya enam tahun yang lalu.
Kabarnya, orang Sunda kalau pergi ke timur kebingungan kenapa minum teh saja harus bayar. Saking melimpahnya kebun teh di tanah priangan, air teh biasanya menjadi layanan gratisan bagi orang yang membeli sepiring makanan. Sebaliknya, orang Jawa kalau pergi ke barat kebingungan kenapa kalau teh pakai gula harus bayar lebih. Saking melimpahnya kebun tebu, penambahan gula biasanya menjadi layanan gratisan bagi orang yang membeli segelas teh.
Semacam teori kelangkaan terkait perbandingan antara pasokan dan permintaan.


Teh Kaca

Menghindari minuman bersoda, teh botol kaca adalah jajanan masa remaja saya. Namun, ada masanya beli teh botol bukan karena mau diminum melainkan untuk dipecahkan dasar botolnya melalui tekanan dari mulut botol. Sulap yang lebih ajaib daripada kemampuan para keramat yang dipuja-puji oleh orang-orang putus asa itu.

Masa tersebut berlalu karena kini semakin jarang beredar teh botol dari kaca. Kemasan minuman komersial, apa pun bentuknya, telah menyumbang cukup banyak pada gunungan sampah sehingga sebisa mungkin dihindari konsumsinya.


Teh Edan

Bukan sekadar bungkus teh. Ini berlaku pula pada penunjukan jabatan orang yang mempunyai keahlian berbeda, atau penerapan kebijakan seperti mengobral bahan yang seharusnya dihemat sementara membela pihak yang seharusnya dibasmi.

amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada ...

Kamis, 01 September 2016

Tatanan Dunia pada Jam Tangan

Kami sekeluarga tidak ingin terkekang oleh waktu ⌛ maka selalu bingung ketika memperoleh hadiah kenang-kenangan berupa jam tangan, jam meja, atau jam dinding, mau dipakai atau diletakkan di mana. Lagian, saya kan bukan Rangga versi LINE. Masih ada jam yang diperhatikan sih, yakni jam matahari ☀ dan jam gawai (di laptop dan telepon genggam).

Namun, pernah juga suatu masa kami menyempatkan memakai jam tangan. Di tahun terakhir sekolah dasar, saya memakai Casio ⌚ digital lungsuran dari seorang pengusaha batu kalimaya. Sedangkan Tissot ⌚ adalah merek kenangan yang dipakai ibu saya sekitar tahun '90an.

Menemukan iklan ini melalui taut Asian Crush, kenangan tersebut muncul kembali.



Tissot tersebut diperoleh ibu saya sebagai bonus proyek meubel di sebuah studio desain di Bandung. Talinya dari kulit ular putus sehingga mata jamnya dicemplungkan ke gelas porselin pajangan. Suatu hari, jam tersebut hilang. Tak lama, ditemukan kembali oleh polisi di lapak depan pasar Cihaurgeulis. Gelangnya sudah berganti dengan kulit kambing potongan kasar berumbai-rumbai a la koboi. Pembantu rumah tangga yang telah bekerja selama sebulan lebih, yang diperoleh melalui yayasan dari poster di tiang listrik, akhirnya mengaku mencurinya. Barangkali dia menganggap itu barang yang tersia-sia.
Hari yang menyedihkan, menyadari bahwa masih ada kepercayaan yang tidak boleh diserahkan, sedangkan kami pun masih terjajah oleh secercah selera keduniaan ... ☯

Yang jelas, jika ada keleluasaan, saya lebih berminat mengumpulkan pisau lipat.