Acaraku menonton A2C apes banget. Pak Bos heboh mentraktir anak sekantor Jumat malam, padahal itu jadwal saya pulang kampung. Gak kebagian deh. Besok-besoknya saya mengajak neng Ang sama-sama mentraktir anak magang. Karena tertunda oleh kesibukan gak jelas, kena jalanan macet dan antrian panjang. Neng Ang yang super nekat menyelap-nyelip antrian berhasil beli empat tiket, padahal saat itu kami berlima. Nomornya terpisah-pisah pula. Jadwalnya pun bentrok dua waktu shalat. Masa saya mentraktir orang untuk menonton film islami dengan pelanggaran dan penuh rasa tidak aman begini. Menyerahlah saya meninggalkan mereka untuk kembali pulang kampung. Niat mengajak ibunda atau adinda, eh ternyata orang serumah sudah menonton semua, termasuk anak-anak kecil. Menonton sendiri? Uh, malas betul. Menonton berkas bajakannya? Kok gak semangat ya. Untunglah muncul ceesan adikku si neng Ar yang merasa gengsi menonton bersama pacarnya karena takut sang pacar bakal nangis bombay (halah). Kok jadi harus ribet begini, ilfil deh. Filmnya: Secara artistik, film ini menampilkan kelebihan dan kekurangan khas sutradaranya banget: gambar asyiklah, tapi tata suara bising.
Sebagai hiburan, yah lumayan kali, daripada nggak?
Kapan lagi menampilkan cewek-cewek cakep berjilbab di film Indonesia kalau bukan sekarang. Tapi belum bisa dianggap sebagai dakwah yang dikemas dalam bentuk film. Lebih tepatnya ini kisah-kisah cinta klise, yang dikemas dalam polesan Islam di sana-sini.
Cowok yang ketemu jodoh karena nekat pasang badan membela cewek di kereta api? Ikut-ikut trend
Densha Otoko banget!!!
Cewek yang memendam cinta hanya dalam catatan harian sampai ke hari kematian? Rasanya kok mirip film
Cinta Pertama.
Cowok yang terbelah dua di rumah sakit antara kamar ceweknya yang satu dengan ceweknya yang lain, yah sudah ada film Liver, eh
Heart.
(Densha Otoko adalah fenomena internet Jepang yang telah diangkat menjadi novel, film, drama dan komik, sedangkan dua terakhir adalah film-film Indonesia hasil jiplakan yang amit-amit dah, kalau bukan karena gak sengaja, gak bakal sudi menontonnya)
Yang jelas jilbab-jilbabnya cukup bagus, jangan lupa mengecek model seperti itu kalau nanti mampir ke Pasar Baru, Kosambi, atau Tanah Abang! (Sayangnya cuma jilbab; kalau soal pakaian cowoknya, sorban dan gamis teroris-teroris Asia Tenggara dalam film
Long Road to Heaven masih jauh lebih bergaya sih)
Yang mengherankan:
kenapa cadarnya warna hitam semua? Baju merah, cadar hitam, masih oke.
Baju biru, cadar hitam, hmmm...
Baju kuning muda dan krem, cadar hitam... Ya ampun!
Maksa betul, kayak gak ada lain saja! Petugas tatabusananya pelit amat sih! Jangan-jangan tuh cadar gak pernah dicuci! Kalau memang harus warna gelap, kan masih ada biru atau hijau tua, cokelat misalnya! Atau sekalian pakai jubah warna hitam jugalah setiap saat!
Kesimpulannya, bukan selera saya, mana terlalu seurieus pula. Beberapa adegan yang mungkin diniatkan oleh sutradara sebagai humor, malah membuat suasana canggung.
Tapi yang paling bikin penasaran sampai akhir tayangan...
Syair Cinta, berkumandang.
Surat Cinta, dilayangkan.
Lagu Cinta, melantun.
Pernyataan Cinta, terucapkan.
Ayat-ayat Cemburu, dirapalkan.
Ayat-ayat Cinta-nya sendiri, MANNNAAAAA??? Terlewatkan?Moral of the story:
(1) Makanya jadi cowok gak usah sok alim, sudahlah biarkan saja cewek-cewek mengurus dirinya sendiri. Untung pas kebetulan dapat istri cantik pintar kaya, lah pas ketiban sial, terancam hukuman mati pula...
(2) Kalau memang mau poligami, pilih-pilih saja cewek cakep yang sudah mau mati, jadi masalah segera berakhir, nggak berkelanjutan terlalu lama... (halah)
Btw, mengenai dakwah dan cinta (dan parade jilbab keren), sitkom
Little Mosque on the Prairie mengakhiri musim keduanya dengan episode-episode yang menyentuh permasalahan kisah cinta islami. Saksikan di
BambuMuda: Masjid Mungil Musim Dua