Sabtu, 14 Maret 2020

Apel malam Minggu

Ini sedianya mau ditayangkan di grup bobodoran alumni lembaga terkemuka, tapi takut ada yang merasa tersindir atau salah sangka siapa orangnya biar disimpan di lapak pribadi sajalah. Untuk keamanan data pribadi kita sebut saja tokoh-tokoh yang terlibat dengan nama makanan 🍲

Pada suatu Sabtu. Ketenangan nyungsep bantal di sela magang PJKA (pulang jumat kembali ahad) ujug-ujug terkoyak oleh rencana kunjungan seseorang. Dianjurkan oleh Pak Timbel Ayam, dosennya, cenah. Mengherankan, karena saya enggak pernah sekali pun mengambil mata kuliah Pak Timbel. Zaman miciswi hanya sekali dengar pidato di gedung serba guna yang enggak berkesan, isinya kayak gak penting, wajahnya pun gak hafal. Dari mana beliau dapat kontak saya!? 🌯

Sang tamu, sebutlah dia Yamin Kuah, sedang lanjut pascasarjana. Konon lulusnya sebelum saya masuk kuliah berarti sekitar 4 angkatan di atas saya. Asal Banten, putih manis jangkung langsing klimis, rambut berombak, berkacamata, sepintas mirip Bae Yong Joon dipelintir di mesin cuci. Lebih parah daripada BYJ, bibirnya basah merekah merah jambu kayak bayi, sebelum ngetren oppa-oppa kekinian. Bagi cewek boncel kucel bibir kelabu kurang gizi, tampang GIUNG cemitu sumber kedengkian yang hakiki 🍜

Bung Yamin Kuah meminta masukan tentang … arsitektur informatika 🤯

Geh, barang apa pula itu! Adik yang alumni AR pun pasti gak ngerti. Sebagai manusia sok tahu, saya tersiksa untuk manggut-manggut saja membahas hal gelap di luar wawasan. Saya pun berusaha mengontak para mantan, barangkali si Martabak atau Lotek yang bidangnya menyerempet situ bisa memberi pencerahan? Tapi zaman sinyal 3G pun belum ada, bocoran tak dapat diperoleh cepat saji. Berhubung saya betul-betul buntu bidang itu, paling-paling bisa bantu periksa tata bahasa berkas yang diajukan, jika perlu ✍️

Sabtu depannya, masih berkunang-kunang kena jet lag naik travel yang duduknya berhimpitan kayak kaleng sarden, baru saja terbaca pesan Bung Yamin Kuah mau berkunjung lagi sudah terdengar ketukan di pintu depan. Lah kok menyelonong sebelum sempat balas. Kalau cuma mengantar berkas, 'kan bisa kirim lewat surel. Gak ada tuan rumah lain yang menyambut, pada sibuk di luar. Terkapar gak sanggup bangun, saya biarkan saja ketukannya sampai berhenti 🙉

Mestinya biasa saja, enggak istimewa kalau teman sekelas/seekskul mampir untuk kepentingan pinjam buku, konsultasi riset, atau terjemahan. Tanpa suguhan apa-apa selain air segelas, sementara ruangan berantakan belum beres bongkaran tiada akhir, rumah saya bukan tujuan yang cocok untuk tamu asing bertandang santai-santai. Lebih nyaman beredar melaba juragan-juragan di luaran. Nah masalahnya 'kan enggak tega menodong traktiran miciswa kere kongkow kafe gaul 💸

Sempat saya geer barangkali dia bermaksud taaruf. Tapi kok langsung ke rumah? Lah daftar riwayat hidup belum disetor buat pilah-pilih (kayak ikutan pengajian saja), akun medsos enggak punya. Comblangnya pun bukan kepercayaan saya. Belum terungkap irisan hobi, selera, atau lingkar pertemanan untuk bahan percakapan di luar urusan akademis. Laksana makhluk dunia lain. Jangan-jangan bakal mager kalau diseret bertualang 🧗‍♀️

Penafian, itu semata penerawangan saya lewat satu pertemuan. Mungkin orangnya hanya merendah menyembunyikan keawesomean. Tentu dia lebih berpengalaman hidup secara empat-lima tahunan lebih dewasa, sementara saya sendiri enggan mengungkit pertanyaan terkait pribadi. Naluri kepo tumpul terlindas "arsitektur informatika" dan pada dasarnya enggak tertarik secara fisik, tidak memenuhi ciri-ciri cowok idaman (yang gosong, keriting, suara rendah) 👨‍🦱

Sabtu berikutnya saya janjian dengan kawan-kawan LFM, mau menonton sekuel PotC. Muncul notifikasi dari Bung Yamin Kuah. Duh kasihan diabaikan terus, tapi malas mengajak kencan. Lagian apa dia sudi menonton dengan bukan mahram? Tapi pengikut aliran mengapel (?) akhir pekan a la tahun 80an mungkin terbuka dengan ajakan ke bioskop bareng 📽

Sedang menimbang-nimbang, saya baca pesannya berisi kira-kira,
“Besok saya ulang tahun, seperti biasa pasti kesepian, yang menyelamati setiap tahun hanya ibu saya 😊”

Jebret!
Kayak ada urat syaraf terputus di kening saya. 🌩

Saya balas,
“Wah sebaliknya, kalau ulang tahun justru harus ibunya dong yang diselamati, sudah repot melahirkan ke dunia. Nah kalau memang kepingin dirayakan ramai-ramai, undanglah teman-teman yang kenal dekat.” 🎉


Saya ingat kalimat pertama sudah tersampaikan, tapi lupa apakah kalimat kedua akhirnya dikirim juga atau batal. Yang jelas kami berhenti berbalasan setelah itu. Tidak menyesal sih pasang jarak sejak awal, tapi rasanya bersalah judes merusak silaturahmi. Padahal teman baru selalu merupakan berkah tersendiri, asalkan enggak menuntut lebih. Sialnya saat itu sebagai sampah masyarakat saya punya beban hidup yang gak bisa dibagi. Anggaplah saya menyelamatkannya dari bencana. Yang jelas, saya mengutuk Pak Timbel Ayam biang kecanggungan tersebut 👹

Apa kabar Yamin Kuah sekarang ya. Semoga dia memperoleh teman menongkrong yang menyambung, pendamping yang memanjakan, serta karier cemerlang di bidang arsitektur informatika atau apa pun.