Rabu, 21 April 2021

Sang Pemimpin

Ini kenangan semasa baru masuk SMP. Masa peralihan Indonesia tersapu gelombang religius. Mulai banyak putri-putri keren yang keukeuh berjilbab karena sudah baligh walaupun melanggar pakem seragam masa itu, sebelum terbit peraturan yang mengizinkan seragam berjilbab dan melepaskan dasi 🧕🏽  
Yang risih bagi saya adalah ucapan salam serempak dengan aba-aba setiap ganti pelajaran berubah menjadi Assalamu'alaikum, tapi teman2 non-muslim tidak boleh mengucapkannya, sehingga bersahutan dengan Selamat Pagi yang menonjolkan suara minoritas. Yah setidaknya mereka tetap bisa bersuara (?) 📢 
(ralat: ucapan salam mungkin baru berganti setelah SMA, tapi hawa alim sudah kental sejak SMP lah yah) 
Tibalah masa Pemilihan Ketua OSIS. Ada tiga calon dari kelas atas yang berkeliling memperkenalkan diri dan usulan program kerja.  
(Mungkin urutannya tertukar tapi gambarannya persis seperti ini: ) Calon pertama adalah seorang Akang yang ganteng kalem, berpidato dengan tenang membumi. Calon kedua adalah seorang Teteh hitam manis, berpidato dengan runtut, logis, dan meyakinkan. Calon ketiga adalah seorang Akang yang kinclong berbinar-binar, berpidato dengan lantang berapi-api. 🧑🏽👧🏿🧒🏻 
Semua wajar-wajar saja, sampai seorang pendukung si Akang 3 mendekat masuk kelas dari balik pintu, membisikkan sesuatu lalu si Akang 3 mengangguk dan melempar tanya ke anak-anak sekelas: "Bagaimana pendapat kalian tentang kepemimpinan perempuan?" 🙅🏻‍♂️ 
Entahlah siapa saja di kelas yang menjawab bahwa dalam Islam, Imam itu mesti laki-laki, kepala keluarga, presiden, pengambil ke putusan, semua harus laki-laki blablabla. 🧞‍♂️ 
Issshh! 
Teman sebangku saya saat itu, Néng DR almarhumah, menyatakan memilih Akang yang pertama karena tampak santai. Saya sendiri sejak awal tertarik dengan pembawaan si Teteh dan rencana-rencananya yang terdengar praktikal, tapi tidak bilang-bilang 🤫  
Setelah dihitung di kelas, Akang 3 unggul melampaui Akang 1, sementara yang memilih si Teteh cuma satu suara 🙈  
Saya kira cukup sampai si Akang 3 mencapai tujuannya di kelas saya dengan pertanyaan pamungkas itu. Ehh ternyata masih berlanjut dipermasalahkan oleh teman sekelas, kenapa setelah pembahasan kilat petir bahwa perempuan terlarang (?) untuk menjadi pemimpin, masih ada satu suara menyempil untuk perempuan! 🙀  
KM kami, anggap saja inisialnya AZ, sampai menginterogasi saya. 
Kamu yang pilih si Teteh? Kamu bukan?  
Heh, apa urusannya ikut campur pilihan orang! Bukannya ada prinsip R dalam luber? Sungguh menjengkelkan 😾  
Walaupun hidup di tengah keluarga yang laki-lakinya rata-rata kalah (mengalah?) dari perempuannya, dan bersekolah di tingkat yang perempuan masih memborong peringkat teratas, saya pribadi tidak menolak paham kepemimpinan laki-laki. Buat apa juga perempuan repot memimpin, biarkan saja kami mengembangkan dan menyumbangkan keahlian keterampilan kerja tanpa perlu sibuk dibebani tanggung jawab mengatur orang lain. Banyak pemimpin perempuan menang cuma berkat bayang-bayang lelaki di dekatnya yang terlalu dipuja, atau dengan berlagak seperti laki-laki, atau justru bersedia dilecehkan. Apalagi sesama perempuan pun belum tentu serta-merta memahami dan membela kebutuhan kaumnya di tengah masyarakat jika dipercaya memimpin 👻  
Tetapi dalam persaingan tingkat Pilkaos unyil ini apa pula perlunya menekankan gender dalam pilihan? Masa si Akang sebegitunya kurang percaya diri mengalahkan si Teteh dengan telak, semata melalui wibawa pribadi dan usulan program kerja, tanpa perlu menyeret wacana gender? Dan kenapa juga memberi suara pada perempuan, walaupun terbukti kalah, seolah-olah menjadi hal yang tabu sampai saya dicecar sedemikian rupa? 😩  
Atau barangkali saya harus memaklumi itu sekadar sanjungan si Akang terhadap si Teteh sebagai saingan yang kuat, sehingga harus dijatuhkan dengan kampanye kotor yang hanya bagian dari strategi pemenangan. Sedangkan teman-teman sekelas saya memang rakyat biasa yang terlalu mudah dipengaruhi pendapat arus utama 🤷🏾‍♀️  
P.S.: Saya kayaknya setelah itu tidak ingat pernah lagi berkesempatan memilih perempuan, kalau bukan sedang golput, tidak ada calon yang memadai. Memperjuangkan akses hajat hidup lebih penting daripada tampuk kekuasaan bagi perempuan, walaupun itu juga belum saya lakukan 🤭  
P.S.2: Setelah melempar cerita ini ke teman sekelas saat itu, AT alias NC bilang bahwa dengan alasan yang kurang lebih sama,dia memilih si Teteh. Jadi mungkin walaupun memihak Teteh, saya konsisten golput saat itu 😬
P.S.3: Penasaran juga nasib kedua Akang tersebut di atas, dan pembisiknya, barangkali yang kenal bisa mengabari sedang apa mereka sekarang? Si Teteh beberapa tahun yang lalu kebetulan sempat ketemu di forum kerjaan, kayaknya sih giat sukses saja dalam karier dan keluarga, cuma malas kontakan secara beliau tidak pakai Facebook 🤔