Masyarakat nusantara itu sejatinya berbalas pantun. Karena dituntut untuk merenungkan larik sampiran terlebih dahulu, mereka akan meletakkan diri di pinggir pusaran alam semesta sebelum memasuki inti permasalahan yang menjadi isi curahan hatinya. Karena dituntut untuk menyusun rima, mereka akan mempertimbangkan setiap diksi kosakata yang dipilihnya. Dengan demikian, rasa keakuan akan terkikis dan timbul kebijaksanaan baru dalam memandang berbagai persoalan yang hendak diangkat.
Tanpa mempertahankan kerangka berpikir pantun, orang Indonesia akan tersesat dalam kebisingan simpang siur arus perubahan zaman.
Tanpa mempertahankan kerangka berpikir pantun, orang Indonesia akan tersesat dalam kebisingan simpang siur arus perubahan zaman.
***
Pantun itu berbalasan, artinya bukan monolog; sudah pasti berupa dialog. Siap menerima tanggapan balik dari lawan bicara seberapa pun perihnya sindiran yang tersampaikan. Walaupun begitu, dengan persyaratan sampiran dan rima yang harus dipenuhi, dipastikan mereka selalu bermain dalam lapangan yang setara: setelah sama-sama merenungkan alam semesta serta memilah-milih kosakata.
***
Penafian: Pernyataan di atas ini bukan pantun, sehingga saya pun bukan masyarakat nusantara sejati ... Kami semua adalah orang yang tersesat dalam kebisingan simpang siur arus perubahan zaman