Jumat, 12 Desember 2008

Aksara Sunda

jl.belitungSuatu pemandangan yang cukup mencolok di Bandung tahun ini adalah dipasangnya plang nama jalan dengan huruf-huruf melenting yang unik dan asing.

(Hwaduh, awalnya saya kira huruf Mongol atau Thai, untuk kepentingan visit Indonesia 2008...

Tapi anehnya kenapa tidak didampingi huruf yang lebih umum, China ataupun Arab?

Setelah dipelong-pelong baru sadar, ternyata inilah yang namanya Aksara Sunda.)


***

Pemasyarakatan Aksara Sunda di tahun-tahun belakangan ini diperkuat dengan terobosan yang dilakukan oleh paguyuban-paguyuban pasundan, antara lain oleh kawan Dian TN yang mengurus pencantumannya ke dalam jajaran unicode sehingga aksara ini dapat dipergunakan secara meluas di dunia komputer.

Lalu, dengan sarana yang telah disediakan Dian dkk tersebut, mau dibawa ke mana aksara ini? Apakah hanya akan menjadi pengisi museum fosil, atau memang akan mulai diterapkan lagi di berbagai segi kehidupan urang Sunda?

Dari dua huruf keriting kriwul arus utama yang berpengaruh dalam peradaban dunia saat ini, dan yang telah mencapai tingkat pembakuan tertentu serta pakem-pakem penulisan kaligrafis, sejauh yang saya pelajari, masing-masing punya perwatakan khas, yang kemudian mencerminkan pola pikir budaya tertentu, dan selanjutnya menjadi sarana ampuh dalam menanamkan pola pikir tersebut.

Kanji adalah pencitraan makna; seiring perjalanan sejarah, telah puluhan ribu tercatat, dikemas dari berbagai sudut pandang terhadap alam, dan kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya takkan sanggup dipahami seluruhnya oleh sesosok manusia hanya dalam satu masa kehidupannya; dan manusia yang menggunakannya akan cenderung menilai ataupun mengungkapkan sesuatu melalui pandangan, gambar dan gerak-gerik mata.

Yang satu lagi, hijaiyah lebih merupakan pencitraan suara, namun cukup luwes untuk diregang dan dimampatkan sebagai hiasan dekoratif, cenderung abstrak tapi juga bisa dianggap memiliki filosofi: alif yang melangit, ba yang membumi, lam yang menunjuk, mim yang menukik, dst; dan manusia yang menggunakannya akan cenderung menilai ataupun mengungkapkan sesuatu melalui pendengaran, tekanan suara dan gerak-gerik bibir.

Di antara kedua jenis huruf ini, juga dengan huruf romawi yang jelas cenderung hedon, ada nuansa khas yang tidak akan pernah dapat diterjemahkan langsung secara utuh satu sama lain.

Akan halnya pemasyarakatan aksara sunda yang baru dibakukan ini, modernisasi beberapa lafaznya jelas memberi peluang penyerapan bahasa asing. Ini menandakan urang sunda siap membuka diri menerima pola pikir kontemporer. Namun sebelum itu, seperti apa watak budaya asli yang diusungnya?

Kalau ini masih merupakan serapan dari kebudayaan India, tidakkah ada sisa-sisa masa lalu semacam 'sistem kasta' yang terpatri di dalamnya? Jangan-jangan aksara ini hanya milik raja-raja? Dengan menggunakannya, akankah terlahir ahli-ahli bahasa angkatan muda yang mahir baca-tulis ngalagena? Atau hanya untuk mempermudah mesin-mesin robot melakukan pemindaian dan penerjemahan serpihan-serpihan daluang yang nyaris membusuk di perpustakaan secara mekanik tanpa perasaan?

Berapa banyak sih sebenarnya karya sastra --maupun sekadar daftar belanja-- sepanjang sejarah pasundan telah menggunakan aksara ini? Dari semua yang ada, mampukah kita menemukan kembali "kearifan lokal" urang Sunda? Dapatkah lekuk-lekuk aksara ini mewakili, katakanlah, falsafah sabilulungan?

***
Suku saya sendiri, mungkin lebih mahir menggunakan huruf jawi alias arab melayu, kemudian dengan mudah (atau terpaksa) pindah haluan ke huruf romawi, tapi jelas mereka cukup pede dan besar mulut untuk tidak merasa perlu terikat satu bentuk huruf (ataupun gaya bahasa).
Apakah kami pernah juga punya huruf asli sebelumnya?
Entahlah, tak penting, adakah yang peduli (???)
***


6 komentar:

DianTN mengatakan...

Thanks udah membahasnya. Saat ini sih masih dalam tahap pengenalan kembali Aksara Sunda mengingat selama ini kita tidak pernah mempelajarinya. Namun, di museum masih ratusan naskah kuno Sunda yang belum tergarap. Mudah-mudahan nanti ada satu dua orang yang tertarik untuk menggali sejarah lebih lanjut.

Coba aja diskusikan dengan kang Ayip :-)

DianTN mengatakan...

Btw, tambahan info terkait 'manfaat' dengan menguasai aksara dan bahasa Sunda kuno, beberapa sejarawan telah bisa menggali 'warisan' sejarah kebudayaan Sunda. Contohnya sebagaimana dituangkan dalam artikel berikut:
http://pasundan.homestead.com/files/Sejarah/b41.htm

Lengkapnya:
http://pasundan.homestead.com/files/Sejarah/sejarahframe.htm

Anonim mengatakan...

Evy Nizhamul
at 10:48 on 24 March 2009
Kanti masih mending Sunda punya aksara... kalau di Minangkabau tidak punya sama sekali. Dan anehnya kosa kata minangkabau malah di nasional kan yang sesungguhnya dalam bahasa Indonesia tidak memiliki makna apa-apa,

contoh Lubuak Bagaluang, artinya lubuk yang bergelombang dinasional menjadi Lubuk Begalung...
Kampung Sijangek menjadi Sijangat..
Walah... bikin bingung kan....

Yuniarti Nurihsan
at 17:51 on 27 March 2009
Nah Kanti, kenapa culture kita selalu dihubung-hubungkan dengan serapan budaya lain? Indialah, Belandalah, Jepanglah, Arablah...
Jadi penasaran aja sih, sebenernya culture kita yang original-nya sendiri kayak apa ya :-?

Dian Tresna Nugraha
at 01:51 on 31 March 2009
Dari naskah-naskah dapat dibaca bahwa dari awalnya orang Sunda sudah menganut monoteisme. Walaupun kemudian ada yang terpengaruh agama Hindu, dewa-dewa Hindu ditempatkan di bawah Sang Hyang Tunggal.

Ada yang mengumpulkan tulisan-tulisan dari sejarawan/budayawan tentang Sunda di sini:

http://tuturussangrakean.blogspot.com/
http://akibalangantrang.blogspot.com/

Kanti
at 17:56 on 31 March 2009
@ t Evy: seharusnya sih bahasa minang seperti bahasa Inggris, ditulis bagaimana, dibaca beda lagi, sesuai aturan. Misalnya -ik pasti dibaca -iak, -ung pasti dibaca -uang, dst. Tapi pembakuan cara penulisannya harus oleh yang berpemahaman mendalam tentang bahasa itu sendiri, jangan sembarangan seperti contoh t Evy itu.

Contoh kasus "Belitung" di atas, kan penduduk asli pulau sana bilang seharusnya "Belitong", sementara dalam penulisan sunda siapa tahu ada ejaan yang berbeda. Di atas itu tampaknya tulisan Sundanya tetap J. L. Be- li- tung. Demikian juga nama jalan lain. Yang disosialisasikan sementara ini barulah "aksara" Sunda, bukan "rasa bahasa" Sunda.

@ Yuni: Secara yang kamu tanyakan adalah "culture yang original" dan bukan "budaya asli", yah, tau ndiri deeee... huahahah

@ Dian: Terima kasih atas informasinya! Tapi itu naskah zaman kapan? Seberapa luas pengaruhnya dalam lingkup kesundaan?


Dian Tresna Nugraha
at 23:58 on 31 March 2009
Yang berupa naskah misalnya "Sanghyang Siksakanda Ng Karesian" berasal dari abad 15 akhir. (Yang berupa prasasti lebih tua). Meskipun tergolong 'baru', isinya bisa dianggap refleksi kepercayaan masyarakat Sunda selama beberapa abad sebelumnya.

Tentang monoteisme dan tradisi egaliter bisa dibaca di sini: http://sundaislam.wordpress.com/2008/01/20/menjawab-misteri-kelangkaan-candi-di-tatar-sunda/

Ciptadi mengatakan...

at 23:15 on 31 March 2009
Setiap upaya mempertahankan kekayaan plasma nutfah kultural mah, menurut saya asyik, lucu, dan seberapa pun absurdnya tetap lucu, makanya asyik.. :)

Fri mengatakan...

Ah si Teteh mah make aya istilah "setelah dipelong-pelong" hehe... Jadi inget di tempat kerjaan, kalau lagi terdesak ga ada instrument, terpaksa pake cara koboy yaitu analisa "Pelongmetri" buat lihat derajat warna. Btw, aksara Sunda harus dilestarikan oleh kita sebagai generasi muda Sunda.

Unknown mengatakan...

Manfaatnya?