Sayang tidak sepenuhnya terkabul. Karena awan berarak tipis berlapis.
Jelang tengah malam, lampu-lampu rumah banyak yang meredup.
Namun beberapa lampu jalanan masih menyala.
Padahal seharusnya acara-acara seperti "Earth Hour" menyesuaikan jadwal dengan pertunjukan langit seperti ini.
Tapi aku tak sudi menyerah.
Bertengger di atap berdampingan dengan pucuk-pucuk pohon mangga.
Bersaing dengan para kelelawar. Diiringi alunan takbir masjid sebelah.
Menantikan setiap saat sang angin menyingkap sang rembulan.
Yang perlahan ditelan bayang-bayang. Dan mulai menyala merah.

Katanya bulan merah darah pertanda kiamat. Kalau diiringi langit cokelat.
Tapi kali ini warnanya merah bata. Pantulan abu letusan gunung berapi.
Yang pasti, peristiwa buruk mengintai. Akan muncul serigala jadi-jadian.
Lalu mana sang serigala?
Oh, bukankah manusia adalah serigala terhadap manusia lainnya.
Kalau begitu aku melolong. Sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar