Jumat, 31 Mei 2013

Cerita Panji

1pan·ji n, pan·ji-pan·ji n 1 bendera (terutama yg berbentuk segitiga memanjang); 2 tanda kebesaran (kebanggaan dsb); pedoman hidup: jadikan Pancasila sbg -- mu dl berjuang; 3 naungan (dilindungi oleh): di bawah -- revolusi, Indonesia merdeka;
spt -- , ditiup angin berkibar-kibaran, pb
tidak tetap pendirian, ikut pihak yg kuat
2pan·ji n gelar bangsawan di Jawa lebih tinggi dp gelar raden, tetapi lebih rendah dp gelar raden mas l
3pan·ji n Sas tokoh cerita sastra nusantara lama yg dl pengembangannya menunjukkan sifat kepahlawanan yg mampu mengatasi segala tantangan

"Cerita Panji" adalah lingkup budaya tutur yang beredar luas di kalangan masyarakat Jawa dan Melayu, disebut-sebut oleh ahli sastra sebagai gubahan khas nusantara, bahkan sudah merambah ke berbagai penjuru Asia Tenggara. Cerita Panji meliputi misalnya dongeng Ande-ande Lumut atau Keong Mas, ketoprak Panji Asmara Bangun, ludruk Panji Semirang, Tari Topeng Cirebon, dsb.



Kebetulan, Chandra Kirana (Ajip Rosidi), sebuah saduran modern dari lingkup ini adalah novel Indonesia pertama yang saya baca lengkap, jauh sebelum masuk sekolah. Tak lama sesudahnya, pada suatu acara peringatan hari sumpah pemuda di Departemen P&K, saya memperoleh secara gratisan sebuah catatan penelitian terstruktur tentang tujuan dan penokohan dalam naskah kuno Hikayat Galuh Digantung (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa).



Sejak membaca kedua buku itu, tercetus rasa tidak puas terhadap bagaimana kisah cinta dan kepahlawanan diatur demi kepentingan politis tertentu, apalagi setelah di kemudian hari menemukan antitesis cerita ini dalam "Arok Dedes" (PAT). Tiba-tiba saya punya cita-cita besar, yakni merekayasa dongeng petualangan Panji versi baru yang merangkum aneka ragam budaya tutur di berbagai penjuru Indonesia ke dalam satu rajutan yang berkelindan, dengan visi dan misi yang sesuai dengan nilai-nilai kerakyatan yang saya anut. Dalam rencana saya ini, tokoh Panji akan membuka kisah sebagai anak yang manja, cengeng dan galau. Yang pasti penampilannya beda jauuuh dari tokoh komik Panji Koming, mungkin malah lebih seperti Pailul. Sedangkan cerita akan mengalir pada petualangan tokoh-tokoh cewek di sekitarnya.
Cita-cita itu sempat terhambat ketika saya menemukan diri saya masih terlalu picik, saklek, kurang gaul, belum mampu mengembangkan sudut pandang yang berbeda dalam tema-tema kemanusiaan sebagaimana semestinya pengarang handal.
Di tengah keraguan itu, saya berkenalan dengan Panji-Pandji di dunia nyata yang cukup membuyarkan sosok Panji yang sedang saya rancang. Tepatnya, hanya dua orang dalam daftar teman saya yang biasa dipanggil Pan(d)ji, sih. Semula saya kira nama Panji ini nama yang segenerik Budi atau Indra, tapi terbukti masih cukup langka...

***
Yang pertama adalah Pandji besar, pakai d seperti dodol. Saya temui di suatu acara antarsekolah saat kelas 5 SD. Duduk dengan tenang di seberang saya, mengoprek sesuatu rangkaian elektronik entah apa yang mengeluarkan bunyi lebah bzzz bzzz yang cukup mencengangkan orang-orang dewasa yang menghampiri. Saat itu saya sendiri berkutat melukis dengan pastel bergaya impresionistis pemandangan sungai Martapura dengan pantulan bayangan di air, berdasarkan foto buram guntingan koran sambil mengingat-ingat gambaran dari Ibu saya yang baru berkunjung ke sana (kebetulan, baru minggu lalu untuk pertama kalinya saya benar-benar melihat sungai Martapura dengan mata kepala sendiri, sehingga peristiwa ini terkenang kembali).

Sebenarnya saat itu suasana hati tidak nyaman, sedangkan itu bukan pekerjaan yang mudah diselesaikan terburu-buru dalam waktu satu jam pelajaran. Semua orang sudah keluar ruangan, sementara si Pandji ini selesai berkemas-kemas sempat-sempatnya menegur saya, "Makan tuh gambar!"
Kekurangan pengalaman bergaul, saya tergagap harus menimpali apa, menimbang-nimbang dulu apakah sebenarnya ini hinaan atau sekadar ungkapan sirik tanda tak mampu, karena aslinya gambar saya lumayan bagus? (Ge-eR adalah usaha melipur minder). Saya sendiri bukanlah orang yang punya semangat bersaing. Tapi, bukankah semestinya kecanggihan teknologi tidaklah layak diperbandingkan dengan kepekaan karya seni?
Kemudian kami masuk SMP-SMA yang sama berturut-turut tapi tidak pernah sekelas ataupun satu ekskul, kayaknya tidak ada hal cukup penting yang terjadi selain wisuda SMP.
Sampai tibalah kehebohan pendaftaran universitas, kebetulan dia mengantri mendaftar sesuatu Fakultas Seni Rupa dan Desain tepat sebaris dengan saya. Sekilas terkenang kembali peristiwa masa SD itu, saya mendapati diri saya mengutuk-ngutuk dia, mana bisa orang yang tidak menghargai karya saya lulus ujian masuk FSRD. Agaknya kutukan itu terkabul, tapi sayang saya sendiri juga tidak lulus FSRD (karma? Tohohoho...)
Masing-masing masuk ke jurusan teknik yang berbeda, ingatan saya terakhir adalah pernah pergi bersama melayat Kepala Sekolah yang wafat, ramai-ramai dengan teman-teman alumni seangkatan, masih berseragam putih-putih sepulang penataran P4.

Saya sendiri meninggalkan kampus tersebut untuk mengejar beasiswa S1 ke Jepang. Suatu saat ada kabar bahwa dia melakukan riset pertukaran atau entah apa di Jepang juga, di kota yang berjauhan. Saya mencoba menyapa di internet, tapi mungkin karena sibuk, dia seakan-akan tidak kenal dan tidak peduli. Di kemudian hari, melalui kontak maya dengan istrinya, teman se-SMA yang saya kenal samar-samar karena pernah kursus bahasa Inggris satu triwulan bersama, saya tahu bahwa dia melanjutkan belajar lagi ke Jepang saat saya sudah pulang.
Barulah akhir-akhir ini, karena saya sibuk mendata teman satu SMP dan SMA ke grup FB, Pandji tampak cukup mengenali saya. Dan sempat menertawakan lagi waktu saya nyaris ditolak bergabung di forum angkatan kuliahan, katanya saya tidak pantas seangkatan dengannya. Yah, mungkin itu sekadar pujian terselubung bahwa saya awet muda (Ge-eR lagi).
Bulan lalu Pandji sekeluarga baru kembali dari Jepang, meninggalkan jabatan asisten profesornya untuk merintis bisnis teknologi yang dikuasainya ke kampung halaman. Tamu Jepang yang kebetulan sedang saya antar sangat bersemangat untuk menemui dia. Menurut mereka, wajahnya menyiratkan seolah-olah akan mengatakan sesuatu yang lucu, tapi kok serius saja.
Ternyata dia sedang terkenal sebagai "samurai sampah". Baca wawancaranya di Tribun News atau tonton di Youtube:
Samurai Sampah 01 - Samurai Sampah 02 - Samurai Sampah 03



***
Yang kedua adalah Panji kecil, tanpa d seperti dodol, kepanjangannya “Fortuna”! Setiap mendengar nama itu saya selalu berpikir betapa tidak sepadannya dua nama itu disandingkan, bahwa kesannya seperti nama perempuan, sambil terpicu untuk menyanyikan Carmina Burana (tentu saja itu jauuuh sebelum saya sempat ketiban bos yang punya nama Fortuna juga, kuhuhuhu). Tapi Panji Fortuna sangat bangga dengan namanya yang membawa keberuntungan.
Panji sempat sekelas dengan saya di kelas 3 SMP, orangnya asyik, tampak selalu gembira. Sosoknya yang mungil mirip Nobita sepintas lalu membuatnya seolah akan sering kita dapati tampil di konvensi komik. Di setiap saat istirahat bisa terlihat dia “headbang” sambil menirukan gerak jemari memainkan gitar terhadap lagu-lagu Queen semacam Bohemian Rhapsody, dan sepanjang ingatan saya, menjadi pewaris Freddie Mercury adalah mimpinya saat itu.
Suatu liburan kuliah pulang ke Indonesia, saya menemukan sosok Panji yang agak berbeda. Dia sudah menjadi seorang mahasiswa kedokteran yang bergiat di klinik Yayasan Ikatan Alumni SMA kami, cukup beken di antara angkatan bawah. Dalam suatu kesempatan traktiran teman, Panji cerita panjang lebar betapa dia terjerumus ke dalam arus ilmu yang sekarang ini, padahal aslinya dia mengincar jurusan informatika. Saya tanya kenapa tidak memfokuskan ke bioinformatika saja melalui jalur kedokteran, ujung-ujungnya nanti kan informatika juga, bahwa bukankah multidisiplin itu penting? Dia menampik bahwa pilihan informatika itu adalah spesifik untuk menggapai cita-citanya yang tak kesampaian yakni menjadi programmer game... Ow, baiklah.
Setelah itu kabarnya dia terlibat di riset NaMRU yang kontroversial itu, pasti kesal kalau diledek ‘antek amerika’, zehahaha, terbukti dia memang mendarat di sana. Terakhir Panji sempat mampir ketika saya mengadakan kongkow dadakan dengan segelintir alumni SMA, kebetulan dia baru lulus pascasarjana di Amerika, sedang liburan sambil bersiap melanjutkan studi ke... Harvard, gitu loch.
Baru-baru inilah saya tahu dari pernyataannya sendiri, bahwa cita-citanya di masa SD jauh lebih heboh lagi: Menjadi Menko Ekuin memimpin rapat seperti yang ditayangkan di TVRI dulu itu. (Mungkin kalau sesuai jalur sekarang, menjadi Menkokesra akan lebih tepat?)
Bulan lalu Panji tampil di majalah beasiswa Harvard School of Public Health, A Man with a Plan.


Dia jelaskan bahwa artikel ini menjual profilnya untuk menarik orang menyumbang lebih banyak, agar banyak orang lain yang mendapatkan manfaat beasiswa. Kemarin Panji memperoleh penghargaan di kampusnya atas kerja terkemuka dalam ilmu kesehatan, dan musim panas kali ini dia akan berlibur mengambil data tesis ke kampung halaman sambil menyelenggarakan lokakarya penulisan esai untuk melamar beasiswa, sebagaimana diumumkan pada blognya http://panjifh.wordpress.com/.
Panji bersyukur akan pencapaiannya dan tidak sungkan membaginya. Tahap-tahap mendaftar beasiswa dia tuliskan dengan terperinci di blog tersebut. Wah, saya sendiri sering bingung kalau ditanya tentang cara menembus beasiswa dulu itu. Setelah membahas hal-hal teknis yang membuat para penanya ternganga dan menyimpulkan “susah juga ya”, ujung-ujungnya saya akan menjawab, untung-untunganlah, toh saya memang pintar, wihihihi. Tapi Panji menjelaskan dengan seksama segamblang-gamblangnya sehingga orang seakan merasakan kemudahan, dan terdorong untuk mendaftar. Saya sendiri tidak berminat ke Amerika (maaf ya khususnya buat Pak Hanan, kehehehe) tapi alangkah senang jika semakin banyak orang mengikuti jejak Panji.

***
Ada benang merah dari kedua kawan Pandji besar dan Panji kecil kita ini: prihatin terhadap Indonesia, mereka turun tangan dengan cara tekun menempuh jalur ilmiah, dan bersedia pamer pasang badan, demi menyampaikan idealisme cemerlangnya kepada masyarakat dan mengejawantahkannya ke tataran praktis. Mungkin memang sesuai namanya, yang juga bermakna pedoman hidup, narsisme sangat tepat diterapkan oleh mereka berdua.
Dalam kesempatan ini izinkanlah saya menyampaikan PENAFIAN:
Kalau tokoh komik Panji saya nanti pribadinya bertentangan dengan keteladanan kalian, dan masih saja bermain kelereng, yakinlah bahwa dia pasti tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian.
Yang jelas, suatu saat saya pasti akan menjadikan sosok kalian sebagai salah dua tokoh komik saya, walaupun mungkin bukan bernama Panji.

1 komentar:

Lydia Kieven mengatakan...

tolong disebut sumber foto relief di atas:

Kieven, Lydia, Following the cap-figure in Majapahit temple reliefs. A new look at the religious function of East Javanese temples 14th to 15th centuries. Leiden: Brill Publisher.
[Open access: http://www.brill.com/following-cap-figure-majapahit-temple-reliefs]

Fig. 7.18. Pendopo Terrace, west side, panel 49
halaman 191.

foto buatan Lydia Kieven

Terima kasih!
Salam dan semoga ada guna.
Dr. Lydia Kieven, arkeolog Jerman