Ketika saya menyambi menerjemahkan Yotsuba&! di sela kegiatan yang melibatkan berbagai lapisan sosialita seputar Kemang Jakarta, sungguh kagum pada pola hidup seperti Pak Koiwai kok tampak nyaman ya. Saya pun kepingin berhenti mengantor, cukup duduk santai di rumah menerima pesanan terjemahan saja sambil menampung anak orang, lalu membiarkannya beredar (((cari nafkah))) sendiri ke rumah sebelah, diasuh para tetangga cantik ...
Sayangnya tidak semudah itu Pulgoso!!!
Anak-anak cepat sekali besar, belum apa-apa sudah menimbulkan masalah sebagai abege remaja, lebih baik segera dikembalikan kepada orang tuanya masing-masing. Kalau begitu sih mendingan punya anak sendiri saja.
Tidak seperti Yotsuba, yang dalam setiap tahun hidup kita, mungkin hanya menempuh rentang waktu tiga hari sampai seminggu ... sehingga nyaris selamanya berusia lima tahun ...
Siapa sangka, berkat pandemi, ternyata gaya hidup yang diidamkan bisa juga terkabul (???)
Hanya saja anak-anak tampungan yang beredar (((cari nafkah))) ke rumah tetangga manis adalah ... UCING-UCING saya
***
Kalau dipikir-pikir Yotsuba&! mengandung dilema.
Rasanya ini kisah yang bagus tentang lingkungan RT/RW yang cocok dan aman untuk anak kecil. Namun, menurut latar belakang yang disusun, Yotsuba adalah anak adopsi. Keberadaan orang tua kandung tidak diketahui. Yotsuba berarti saat ini tinggal dengan *bukan mahram*. Lalu dia akan mengajak sesama anak-anak pergi jalan-jalan bersama oom-oom mencurigakan, teman ayah angkatnya ... Apalagi Jepang punya Hikayat Genji, jangan-jangan suatu saat begitu besar Yotsuba disetel menjadi kekasih Pak Koiwai?
Bagaimanapun juga, bukankah kebanyakan kisah kepahlawanan memang didominasi oleh anak yatim piatu. Situasi tersebut mungkin membuat mereka lebih tertempa untuk "nothing to lose & everything to gain" ...
Berbeda dengan anak yang punya orang tua masih berpengharapan dipiara disayang dimanja dan sebaliknya jadi punya beban untuk balik memiara menyayangi memanjakan ortu yang beranjak lansia, sehingga kekurangan waktu luang untuk menaklukkan dunia.
Kemarin ada rekan yang membahas tentang doa "Tuhanku ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku waktu kecil."
Barangkali tak terelakkan lagi bahwa menjadi orang tua itu otomatis akan penuh kesalahan dan pelanggaran, sementara begitu anaknya besar, naluri kasih sayang malah lenyap. Seperti si Kumi tidak sungkan-sungkan menggeram dan menggaplok Graci atau Kunyil ketika mereka sendiri sudah beranak pinak.
Anak yang menjadi dewasa, setara, adalah saingan baru dalam berebut jatah makan.
***
Namun, semenjengkelkan apa pun, titah dan sabda orang tua tidak diragukan tetap masih bertuah. Kemarin Joenia cerita betapa ortunya ingin dia masuk FK Unpad, tidak usah jadi dokter kalau repot, cukup jadi dosen, tapi dia memilih masuk Farmasi ITB. Ternyata selesai S3 holondo dan masuk jajaran 500 ilmuwan produktif Indonesia, dapat juga dia posisi dosen di jurusan incaran ortunya.
Sementara saya, setelah bersitegang soal konsentrasi kerja yang buyar gara-gara ricuh urusan penyortiran benda-benda dan berkas seloteng akibat pengabaian selama berabad-abad, ujug-ujug Ibu saya mengalihkan pembicaraan dengan berceletuk bahwa saya sebaiknya melukis saja.
Lahhh terus melukis apa, memangnya siapa yang mau beli??? Para penggali harta karun SDA perusak lingkungan? Mana sudi.
Tapi tiba-tiba dapat juga limpahan kerjaan gagambaran teknis entah-entah
walaupun sama sekali bukan melukis betulan
walaupun sama sekali bukan melukis betulan
Semua ini berkat ucing-ucing yang (((cari nafkah)))
bisa-bisanya mereka membawa mata pencaharian baru, ajaib ya
bisa-bisanya mereka membawa mata pencaharian baru, ajaib ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar