Dulu ketika membahas topik *
perempuan, pelawak, & politisi* beberapa kawan menegur,
"ah itu mah kamu saja yang bebal tidak peka jika dilecehkan kali, entah itu berkah atau musibah"
Yajugaya ...
Barangkali saya sempat terjebak dalam situasi, yang seandainya menimpa kawan lain, mereka akan mati gaya.
Tapi rasanya saya selalu berada dalam lingkungan yang cukup kondusif sehingga belum kebagian peristiwa yang mengharuskan saya ikut gerakan macam #metoo
***
Paling parah waktu di lab, di suatu jam istirahat beredar tuh barisan foto
gravure idol buat anak-anak lab pilih siapa yang paling cakep. Terus saya enggak dikasih hak suara dong. Tapi ya serba salah, masa saya ikutan memilih cewek-cewek seperti ayam.
Kali lain, habis ujian mereka kasak-kusuk pesan tempat nongkrong. Saya kira pada mau karaoke, minta ikut lah. Setelah bertatapan satu sama lain akhirnya mereka setuju saya mengekor. Ternyata pergi ke bar Heineken (semacam Hooters, tapi Hooters konon baru buka cabang di Jepang sekitar sepuluh tahun kemudian) untuk memandangi pelayan-pelayan dengan rok span yang panjangnya sipi sekali. Sialan mana saya rugi pula harga minuman yang boleh saya minum semua lebih murahan daripada iurannya.
"Bagaimana menurutmu? Cowok-cowok memang makhluk terdegradasi ya?" Tanya mereka sambil cengar-cengir.
Salah seorang Senpai mencoba memotret para pelayan diam-diam, ketahuan oleh pelayan yang lewat, gawainya diamankan dan ditegur panjang lebar tentang peraturan yang semestinya telah disepakati begitu masuk lewat pintu depan. Jadi konsepnya tegas sekali itu, boleh dipandang, difoto jangan, apalagi dipegang.
***
Suatu kali saya mendirikan ikatan alumni dan menjabat sekretaris, salah satu profesor yang terpilih jadi ketua sering membujuk saya mendaftar ke universitasnya untuk jadi sekretarisnya betulan. Saya tolak karena beda bidang minat.
Setelah itu di berbagai acara kami sering ketemu dan beliau main rangkul saja, rangkul pundak yang sepintas mungkin dianggap tak berbahaya, tapi bagi saya sudah pelanggaran privasi. Saya tegur di depan umum dong.
"Prof jangan main rangkul sembarangan
begitu dong"
Matanya menyipit, "Ah, kamu itu 'kan sudah seperti cucu saya sendiri."
"Lah terus Prof senang kalau cucu Prof dirangkul aki-aki ganjen? Rangkul saja cucu Prof sendiri jangan urus cucu orang lain!"
Belakangan saya pindah kerjaan dan ternyata secara akademis Prof tersebut mengambil sikap yang berlawanan dengan visi misi pekerjaan baru saya.
***
Saya bisa menolak keras hal-hal macam begitu karena saya orang lepasan, tidak punya ketergantungan apa pun dengan si Prof eta atau siapa pun yang mungkin bertindak demikian. Tapi belum tentu teman lain.
Di kantor lama, saya pernah diceritakan bahwa staf lantai bawah pernah tiba-tiba dipeluk dari belakang oleh manajernya. Manajer itu sebenarnya adalah suami dari staf kantor saya, entah hari itu ada juga di lantai atas atau sedang cuti/dinas ke mana, pastinya tidak jauh-jauh amat. Jika staf lantai bawah itu melapor, apakah itu bakal merusak rumah tangga teman kantor saya, atau dia akan dituduh menghalu yang bukan-bukan? Akhirnya sepertinya dia mendiamkan saja menganggap angin lalu.
Saya yang gemas kesal, karena tidak menyaksikan sendiri, juga tidak diceritakan langsung oleh korban, tidak bisa berbuat apa-apa.
***
Di kantor berikutnya, ada seorang mBak pegiat yang bercerita suatu kali dia punya acara konsultasi dengan pemerintah dan mitra global, menginap di hotel.
Suatu malam dia mengetuk pintu mentornya bermaksud membahas suatu hal yang dianggap darurat untuk rapat besok. Itu setelah makan malam, memang sudah mendekati pukul 9 malam. Sang mentor membuka pintu langsung menarik si mBak ke dalam pelukan. Si mBak berusaha melepaskan diri dan langsung mengirim pesan protes. Saya lupa jawaban sang mentor, sepertinya menyatakan kekecewaan, tapi kesannya ambigu antara merasa bersalah tidak mampu mengendalikan diri atau menyayangkan bahwa si mBak menolak beliau. Yang pasti beliau tidak minta maaf.
Masalahnya, beliau ini tokoh yang disegani sebagai teladan integritas. Gerakan si mBak sangat bergantung pada keterlibatan beliau dalam berjejaring dengan pemerintah dan mitra global. Jika si mbak mempermasalahkan kelancangan beliau, semua perjuangan dia sendiri ikut hangus belaka.
Suatu kali saya ikut atasan ketemuan dengan mentor si mBak ini, di tempat yang jual pisang goreng sepiring 45 ribu rupiah. Sepertinya beliau memang agak merayu atasan saya juga, bawaan mamang-mamang Sunda centil. Yang jelas beliau masih berkibar dengan nyaman.
***
Tapi ternyata pelecehan oleh pelaku perempuan memang ada.
Seorang yang saya kenal sebagai pekerja di sebuah yayasan pemberdayaan perempuan, suatu saat mau menikah dengan pacarnya. Mantan sang pacar entah cemburu tidak rela, membuat keributan di kantor sehingga sang pacar mau datang ke kontrakannya. Di sana sang pacar dikeroyok oleh sang mantan bersama teman-temannya, dan sang pacar sepertinya malah menikmati (?) Jadi ujungnya secara tidak langsung yang dilecehkan bukan sang pacar melainkan kenalan saya sebagai calonnya lah yah.
Saya sendiri heran tidak habis pikir kok kenalan saya itu malah marah kepada mantan sang pacar, bukan kepada sang pacar sendiri yang tidak mampu menjaga kehormatan diri sendiri sebagai seorang laki-laki (?)
Tapi sepuluh tahun berlalu, tampaknya mereka kini masih baik-baik saja sebagai suami-istri. Ajaib betul.