Sabtu, 27 Maret 2004

Tersasar di Terjemahan

*** Bahasa adalah sumber kesalahpahaman.***

Political Correctness


Waktu masih tingkat I, saya pernah menjadi penerjemah dadakan menemani Gubernur Kyoto dan Sri Sultan HBX bercengkerama dan menonton maiko bermain shamisen. Saya terpaksa melewatkan menerjemahkan humor basa-basi yang saya memang tidak pahami (baru tingkat I gitu loh), pasang senyum lebar-lebar dan setidaknya bisa ikut mencicipi upeti sekarung salak pondoh dan menyimak dengan khidmat, "Sewindu adalah angka yang sakral, maka tiga tahun lagi mari kita dirikan tugu bersama-sama, sebagai tanda perayaan dua windu sister city." Prok-prok-prok...
Penerjemahan bukan hanya sebatas pemahaman ilmiah, melainkan juga harus mencakup seluruh aspek budaya, tatakrama sopan santun. Penerjemahan punya sisi emosional, sehingga menimbulkan pergeseran makna ke amelioratif, pejoratif, hiperbola, eufimisme: dan Political Correctness.


Lost in Translation


Lost in Translation mungkin bisa menjadi salah satu gambaran keterasingan yang aku alami tujuh tahun yang lalu saat pertama kali mendarat di bandara Kansai (akh nostalgia) dan aku rasa aku bisa menghayati suasana hati adegan-adegan di film tersebut (mungkin agak sulit dimengerti bagi yang kurang memahami situasinya).
Betapa terjemahan punya peran penting, dan genting, dalam menjembatani dua budaya yang berbeda...

Huruf Keriting


Syahdan, peradaban zaman dahulu berkembang seiring kemampuan merekam makna dalam perlambangan huruf. Dua contoh besar sejarah dunia tentang terjemahan, pada kenyataannya bergantung pada tulisan indah dengan tangan:
  1. penerjemahan naskah-naskah Buddha dari berbagai bahasa di India, ke Cina- Timur Jauh;
  2. penerjemahan filosofi Yunani dan penelitian ilmiah Yunani dan Syria, ke Arab- Dunia Islam.

Tak pernah sepanjang sejarah manusia, kaligrafi mencapai tingkat keluhuran seni baik secara kualitas dan kuantitas seperti di kedua daerah tersebut: huruf Hijaiyah dan sistem Kanji.

JAST


Kini-kini-kini, perkembangan penerjemahan berjalan seiring dengan: kamus elektronik, audiovisual-sinematik, dan: akses internet.
Aku pun sempat ikut terlibat dalam penyusunan sistem penyelenggaraan ujian kemampuan bahasa Jepang online, JAST. Entahlah kapan bisa diterapkan di Indonesia secara komersial, mengingat keterbatasan sarana. (yang berminat, sila hubungi.)

Esperanto


Kabarnya ada tigaratus bahasa yang mati setiap tahun, dan ada pula usaha mengembangkan pemahaman antarbangsa dengan bahasa baru Esperanto yang tidak punya dendam sejarah, tapi karena akarnya dari Eropa Barat (mengapa bukan Asia?) dan belum ada yang saya kenal berbahasa ini, saya belum tahu seberapa efektif penggunaan bahasa tersebut. Sampai saat ini, mempelajari bahasa yang dipergunakan secara umum, terutama bahasa penjajah, tetap masih merupakan pilihan terpraktis. Ingin sih, mempelajari bahasa yang telah mati demi menggali sejarah peradaban masa silam: Bahkan kalau perlu, Mantra, Ancient Runes... Tohoho.

Namun entah mengapa, semakin makna dikunci kedalam barisan aksara, malah terasa tak terpahami pula sekian banyak tanda-tanda alam.
Tidakkah kau damba, masa kita bisa bicara tanpa kata, dengan Bahasa Semesta Jiwa Buana...

# Political Correctness
# Lost in Translation
# Huruf Keriting
# JAST
# Esperanto

Tidak ada komentar: