Tembakau Berbahaya dalam Bentuk dan Samaran Apa pun
Sehubungan dengan peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2006 yang jatuh pada tanggal 31 Mei 2006, maka kami, penulis blog yang peduli dengan masalah ini, bermaksud untuk memperingatkan kita semua akan bahaya tembakau:
- Bahwa tembakau BERBAHAYA DALAM BENTUK APA PUN. Rokok, pipa, bidi, kretek, rokok beraroma cengkeh, snus, snuff, rokok tanpa asap, cerutu... semua berbahaya.
- Bahwa tembakau BERBAHAYA DALAM SAMARAN APA PUN. Mild, light, low tar, full flavor, fruit flavored, chocolate flavored, natural, additive-free, organic cigarette, PREPS (Potentially Reduced-Exposure Products), harm-reduced... dalam jenis, nama dan rasa apapun sama berbahaya. Label-label tersebut TIDAK menunjukkan bahwa produk-produk yang dimaksud lebih aman dibandingkan produk lain tanpa label-label tersebut.
- Menuntut Pemerintah Republik Indonesia untuk sesegera mungkin meratifikasi WHO Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC) demi kesehatan penerus bangsa. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani perjanjian Internasional ini.
Internet, 31 Mei 2006
Tertanda,
-bambumuda-
Di masa balita saya terlatih untuk membenci segala produk tembakau. Setiap ada kesempatan, mencurinya dari siapa saja di sekitar dan melemparnya ke tempat sampah. Setelah diprotes berkali-kali, barulah saya paham betapa masalah yang ada lebih dari sekadar keberadaan tembakau itu sendiri.
Walaupun demikian, saya paham betul bahwa sesungguhnya ancaman kematian tidak dapat dijadikan ancaman agar menghindarkan diri dari rokok dan kawan-kawan. Ayahanda yang tidak merokok sama sekali, karena berbagai sebab lain meninggal jauh sebelum kakek yang perokok berat.
Apalagi saya harus mengakui, bahwa walaupun mungkin hanya secara semu dan mengorbankan sedemikian banyak sel syaraf, produktivitas para perokok terlihat sangat pesat dibandingkan yang tidak merokok (dalam hal ini saya yang pemalas). Banyak orang hebat yang saya kenal, bahkan hampir semua kecengan saya yang keren adalah perokok.
Tembakau sudah merupakan gaya hidup yang tak terelakkan. Maka saya terpaksa mulai bertenggang rasa dengan sang tembakau.
Dan mungkin sayalah yang lebih terancam sebagai perokok pasif karena entah bagaimana selalu terdampar ke lingkungan yang penuh kepulan asap. Dari tukang-tukang yang dipekerjakan ibunda di rumah, anak nongkrong di depan sekolah, sampai ke laboratorium tempat kuliah.
Tersebutlah kenkyushitsu saya tersebut punya budaya turun-temurun membahas skripsi sambil merokok. Professor saya pun jadi perokok berat karena latah terbawa-bawa kebiasaan professor sebelumnya.
Tapi saat saya di situ adalah masa-masanya kekuatan kelompok anti rokok unjuk taring... Setiap hari mau tak mau saya harus kepergok Sensei lab sebelah nongkrong di depan mesin penyerap asap di lobi gedung. Dan ternyata associate professor dan asisten bukan perokok, sementara dari angkatan kami hanya seorang yang perokok, dan suasana berasap rokok di laboratorium pun lambat laun terisolasi ke ruang professor saja.
Puncaknya adalah ketika suatu saat saya pulang naik shinkansen berdua dengan pak professor karena satu urusan.
"Gak apa Sensei kalau mau ke gerbong perokok, saya bisa sendiri."
"Oh, tak apa, kita sama-sama saja. Saya sudah memutuskan berhenti merokok untuk memperingati ultah ke-60 kemarin."
"Wah syukurlah, selamat!"
"Sebagai kesempurnaan satu siklus hidup (12 shio dan 5 sifat alam) saya kan merasa harus melakukan sesuatu untuk diri sendiri. Beberapa kali mau berhenti merokok, dengan permen nikotin dan sebagainya, selalu gagal, tapi saya bertekad inilah saatnya! Dan semua berjalan lancar sampai hari ini. Tidak berani bilang ke anak lab, kalau gagal lagi nanti ditertawakan. Kau yang pertama tahu. Dan saya akan mulai mencanangkan gerakan anti rokok pada semua mahasiswa tersayang. Berhenti itu ternyata tidak sulit."
Ya, ya. Berhenti itu sesungguhnya mudah. Ibunda juga pernah cerita, bahwa masa mudanya sempat mengecap rokok terpengaruh rekan kuliah di fsrd-itb namun berhenti dengan sukarela ketika mengandung. Mungkin memang perlu momentum.
Sayang sekali budaya rokok baru mendunia lama setelah Quran diturunkan. Bagi sebagian besar alim ulama, tembakau sudah merupakan teman hidup, sehingga sekian lama fatwa-fatwa ijtihad mengenai haramnya rokok sangat sulit untuk diperjuangkan. Zaman kini, cewe berjilbab merokok pun bukan pemandangan aneh.
Suatu hari anak LFM pergi memotret pameran B.A.T, dan saya kebagian oleh-oleh buku mungil "Bahaya Merokok bagi Kesehatan" yang berdalih segala macam bahwa walaupun tidak ada bukti langsung bahwa rokok mengakibatkan penyakit tertentu, B.A.T. tidak pernah menutupi kandungan kimiawi yang ada, dan bahwa keputusan merokok ada di tangan masing-masing sebagai orang dewasa yang sadar akan pilihannya. Yah, entahlah Indonesia, setidaknya di Jepang penerapan "18 tahun ke atas" untuk rokok lumayan lancar. Di bawah 18, negara masih bertanggung jawab. Selanjutnya terserah anda.
Sementara ketergantungan ekonomi terhadap tembakau yang telah terbentuk sejak zaman tanam paksa kini menjerat sedemikian rupa.
Orang yang mau ke luar negeri terutama naik haji, hanya dengan satu koper penuh rokok bisa tergantikan ongkos jalannya.
Rokok adalah sponsor utama kegiatan olahraga. Betapa rancu.
Di bidang periklanan, dengan adanya larangan menampilkan sosok orang merokok, kreativitas justru sangat berkembang menghasilkan adikarya yang mendukung pemasyarakatan rokok itu sendiri.
Tanya kenapa.