Orang-orang litbang membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk menyadari bahwa hal ini lebih merupakan kesenjangan antara siapa yang memperoleh keuntungan dari akses terhadap teknologi digital dengan siapa yang tidak.
Selama ini perusahaan-perusahaan multinasional ingin kita memikirkan kesenjangan akses, sehingga dalam usaha penutupan kesenjangan tersebut, pasar akan meluas.
Namun ketika anak-anak di kampung mengabaikan sekolah demi memainkan playstation, videogame penuh kekerasan di warnet yang diturunkan dari pasar kota, apakah berarti itu menutup digital divide? Memang itu adalah dampak bahwa teknologi selama ini dirancang untuk yang kaya, tidak memikirkan peningkatan kesejahteraan bagi yang miskin.
Jadi masalahnya bukanlah sekadar mengenai bagaimana memberikan akses, alat, sarana kepada yang miskin. Dalam beberapa hal, orang kaya pun belum tentu diuntungkan oleh teknologi digital. Akibat limpahan informasi, mereka menjadi kaya, namun menjadi semakin tidak bahagia. Sasaran dari menutup digital divide bukanlah ketidakbahagiaan orang kaya, dan bukan juga mengenai bagaimana mengangkut yang miskin dengan mobil ke Jakarta agar mereka bisa ikut rat race. Maka kita harus memikirkan,
- apa sebenarnya keuntungan yang diberikan oleh teknologi digital kepada manusia?
- bagaimana teknologi digital mendukung kondisi manusia?
- bagaimana pengalaman yang diperoleh melalui teknologi menguntungkan orang?
- bagaimana keuntungan tersebut bisa disebarluaskan ke masyarakat?
- bagaimana teknologi digital menjadi alat transformasi masyarakat?
Maka untuk menyentuh pasar di lapisan bawah, jelas kata kunci pokoknya memberdayakan bukanlah memperdayakan. Dalam hal ini, penyebarluasan broadband sangat signifikan untuk usaha menutup Digital Divide karena broadband kini menjadi sarana dasar untuk pemberdayaan manusia di era global masa kini, dapat dikatakan sebagai hak asasi manusia abad 21.
Pemanfaatannya bukanlah dengan memperbanyak konsumsi di lapisan bawah, melainkan mengarah pada kebutuhan komunitas, contoh istri-istri nelayan di India menggunakan broadband untuk memeriksa prakiraan cuaca, yang akan disampaikan kepada suami-suami mereka agar meningkatkan produktivitas para nelayan tersebut.
Muncul ide membuat situs di Indonesia untuk masyarakat berbagi pengalaman, adat istiadat dan budaya dalam menyambut bulan Ramadhan, misalnya, meningkatkan spiritualitas bangsa dan mempererat kekeluargaan antar pengguna layanan tersebut. Sebagaimana layanan-layanan gratis lain yang telah beredar dan kini diidolakan di internet, perusahaan yang paling punya nilai, yang tidak mengambil keuntunganlah justru yang memberdayakan masyarakat, dan menghasilkan kekayaan paling banyak dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Nilai tersebut muncul dari kesetiaan pengguna. Bila konsepnya bagus, dengan sendirinya investor akan berdatangan mengikuti inspirasi.
Indonesia (katanya sih) bisa dijadikan sasaran percobaan yang baik untuk model pertumbuhan urban teknologi informasi dan komunikasi, dibandingkan dengan Cina yang pemerintahnya justru menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk menguasai masyarakat, atau India yang sebagai sebuah negara sudah cukup rumit dengan perbedaan budaya yang demikian besar. Dilihat dari sisi tersebut, Indonesia lebih mudah ditata, dan punya status yang baik, dalam perjalanan menjadi negara maju (ah masaaa).
Besok hari akan diinisiasi pertemuan untuk menyusun tahapan menuju penetrasi broadband di Indonesia agar mencapai 20% di 2012, melalui forum IGADD, kolaborasi antara ITB, THC dan Digital Divide Institute. Rancangan ini akan termasuk saran untuk pemerintah dan para pengambil keputusan di perusahaan nonprofit, mengundang korporasi teknologi multinasional sekaliber google, intel, nokia untuk mempertimbangkan apa yang bisa dilakukan di Indonesia, dan mengajukan formulasi mengenai implementasi tujuan tersebut... katanya sih.