Mundur ke belakang menuju SMAku; belok ke kiri menuju SMPku; dan belok ke kanan menuju tempat nongkrong masa remaja. Di sebelahnya, taman bermain. This used to be my playground.
Malam itu aku berencana bergadang di warung kopi, namun sebelumnya janjian dulu dengan Neng Molin di ujung jalan sebelah kiri. Karena sudah larut, angkot yang berbelok ke kiri tidak beredar lagi. Terlalai, baru ingat menyetop ketika angkot sudah telanjur mengambil jalur kanan. Turunlah aku di tengah simpang tiga itu. Membayar, balik kanan...
JEBLOS.
Tanganku tersangkut di tepi. Kakiku tak menjejak tanah. Entah berapa dalam lagi lubang ini berdasar. Tak ada makhluk di sekitar yang peduli, tak juga semut merah yang berbaris beriringan.
Apakah sebaiknya aku berusaha memanjat, dengan risiko terlindas kendaraan yang melaju kencang? Atau menjatuhkan diri ke dasar sambil menunggu lalu lintas mulai tenang, dengan risiko tersambar arus air selokan atau terkapar patah tulang?
Apakah di bawah ini ada timbunan tengkorak atau mumi dari korban yang jatuh sebelum aku?
Apakah aku harus menunggu dipungut oleh penjual budak untuk dilelang ke negeri padang pasir sana?
Apakah aku harus menghadapi rombongan kelelawar yang beterbangan merubung, sebagai suatu bentuk ujian mengatasi rasa takut, dan kemudian mendapat pencerahan untuk beralih wujud menjadi pahlawan kesiangan?
Apakah aku akan muncul di negeri kartun, bertemu Sang Pangeran Tampan berkuda putih dengan senyum lebar, mata berbinar, dan busana norak berwarna pelangi?
Atau malah menemukan Si Buruk Rupa yang baik hati, lemah lembut lagi perasa, yang disembunyikan dari benci dan bahaya yang terpancar bersama sinar mentari?
Atau menemukan bahwa semakin kita turun, kita malah akan muncul di puncak gedung pencakar langit di Kota Bandung Bawah Tanah, suatu daerah otonomi antardimensi yang menolak segenap aturan baku yang diterapkan di Kota Bandung Atas; dan terpesona sedemikian rupa pada sang Marquis de
Atau menemukan markas para Kura-Kura Ninja Mutan Remaja dengan sang Guru jelmaan tikus cecurut?
***
Atau jangan-jangan ini hanyalah lubang hitam antimateri yang akan menyerapku ke dalam ketiadaan...
***
Selama ini setahuku setiap lubang ini diberi tutup terukir indah, pastinya bisa dijadikan sasaran wisata dan jepretan kamera. Walaupun ternyata sebagian besar pembuat tutup ini adalah buruh yang tak terjamin keselamatan kerjanya...
Ngomong-ngomong apa ya, namanya ini di Indonesia. Lubang Orang? Lubang Masuk? Lubang Buaya, jelas bukan kan?
Di luar negeri, "manhole" namanya, menyulut masalah diskriminasi gender, mengapa tidak ada "womanhole" dalam urusan ini. Huh, siapa yang sudi diperbandingkan dengan lubang!
3 komentar:
Immanuel Kantii!!!
Apa kabar?? Jika tak keberatan, bisakah mengemail ke ciptadi@excite.com?
Ada di Indonesia? Kyoto? Atau Bulan??
Salam!
Manhole celaka itu ampe sekarang belum bertutup juga. Kemaren2 padal di jalan piit juga ada yang kebuka, tapi dikasi bendera merah & skrg dah ditutup
"bicara peliharalah lidah
berjalan peliharalah kaki"
artinya: hati-hati kalau lagi jalan, supaya 'gak masuk ke dalam lubang yang menganga.
PS: mau comment aja susah deh, abis pake script Jepang. ß 'gak ngerti....
Posting Komentar