Sabtu, 09 Oktober 2010

Manga Michi [漫画道]

Baru sadar perlu cari bacaan baru, gara-gara sempat bingung waktu One Piece libur sebulan. Pertama kali mengubek-ubek Kinokuniya Grand Indonesia, sepulang menyeret Naomi dan Upik menonton Shinkai Makoto.

Yang langsung mencolok mata adalah sepasang nama pengarang dan penggambar Death Note, kali ini kembali berkolaborasi membuat "cerita yang sama sekali bukan fantasi!!!" Judulnya membingungkan: BAKUMAN. Tidak ada hubungannya dengan "bakugan" ternyata.


Sudah terbit 9 jilid... Oooooh ke mana saja saya selama dua tahun ini, kok ketinggalan berita? Ajaibnya ternyata hari dan jam saya menyentuh manga ini, adalah tepat saat pertama kali diputar animenya di NHK. Jadi geer, jangan-jangan ada teman di Jepang yang menonton ini lalu mengingat saya dan mengirimkan sinyal-sinyal telepati! Tapi siapa ya? Kok gak ada yang ceritaaaa. Lagian saya baca Death Note pun setelah di Indonesia...


Manga ini bisa jadi sumber info di balik layar pembuatan manga (khususnya manga Shonen Jump tentu), tapi lebih dari sekadar itu, juga teladan keseharian anak muda yang berjuang keras meraih mimpinya. Yang jelas, di sini terasa betul betapa beratnya menjadi mangaka... Sesuai judulnya BAKUMAN, menjadi pengarang manga adalah sebuah pertaruhan menyabung nyawa. Bukan hanya perlu bakat minat dan semangat, tapi juga perlu keberuntungan.


Walaupun mungkin tidak termasuk arus utama manga terbitan Jump (yang, dalam manga ini dirumuskan harus ada menampilkan pedang/katana!), tapi tetap muncul elemen khas shonen manga: "sports konjou", semangat bersaing untuk menang dalam perlombaan yang sehat antarsahabat, dan "etos kerja" ditunjukkan dengan kerelaan mengorbankan segalanya demi ketekunan. Tanpa perlu menampilkan secara klise lawan yang curang dan jahat, tanpa perlu ada tentangan dari orang tua atau pacar, modal pun sudah lengkap (studio dan peralatan warisan paman), bukankah kehidupan yang aman dan penuh dukungan ternyata tetap penuh tantangan! Oh yaa seperti inilah seharusnya cerita yang cerdas tanpa perlu intrik cengeng a la telenovela.


Apakah begini cara membuat manga yang baik dan benar? Atau begitu? Tidak ada jawaban yang tepat. Yang ada hanyalah perbedaan pendapat dan kesenjangan kemampuan. Tarik ulur antara berusaha profesional memenuhi tuntutan bisnis, dan menurutkan selera sendiri. Tarik ulur antara meningkatkan jumlah komoditas industri dan mempertahankan mutu karya seni. Tarik ulur antara realita yang serius dan fantasi yang lucu. Tarik ulur antara perlunya bersekolah untuk menambah ilmu dengan mengatur jadwal memenuhi tenggat waktu. Tarik ulur antara selera penggambar, pengarang, penyunting, dan pembeli (pembaca). Tidak ada yang paling benar, masing-masing punya alasan yang layak untuk mempertahankan pendapatnya dan melakukan tindakannya. Yang jadi masalah adalah bagaimana mengkompromikan semua itu. (Mungkin itu sebabnya pola judul tiap bab umumnya juga memasangkan dua hal yang bisa dianggap berlawanan.)


Tersingkap juga bahwa walaupun sepertiga pembacanya perempuan, ternyata Shonen Jump tetap dipertahankan dari sudut pandang anak cowok, sehingga mangaka perempuan menemui berbagai rintangan untuk berkarya di sana... (Walaupun ada pilihan kerja di shojo manga saja, Shonen Jump kabarnya adalah majalah terlaris yang lebih menjanjikan. Heee jadi kepingin juga kerja di Shonen Jump, tampaknya tempat yang tepat untuk mengusung emansipasi dan memberantas p*rn*grafi, hahaha...)
Selain itu yang asyik adalah mengkhayalkan berbagai genre manga yang dikarang oleh tokoh-tokoh kita di sini. Kira-kira itu parodi dari manga yang mana ya? Ceritanya tentang apa? Apakah itu yang dialami oleh pengarang manga sejenis?
Apalagi ternyata para penyunting di sini kebanyakan digambar berdasarkan penyunting di kehidupan nyata di majalah Shonen Jump. Mungkin juga ada referensi dari kehidupan pengarang/penyunting/penerbit manga kelompok majalah selain Shueisha, walaupun tidak menyebut merek.



Jalan Komik


Akhir Oktober ini kabarnya anak muda Indonesia juga menerbitkan komik sejenis. Bisa diintip di http://jalankomik.blogspot.com/.

Tentu alur ceritanya akan melangkah di jalur berbeda, secara proses penerimaan naskah dan penyuntingan di Koloni M&C pasti berbeda dengan Shonen Jump Shueisha. Tapi mengintip lembar-lembar awalnya, mirip juga... walaupun mengambil sudut pandang yang berbeda (BAKUMAN diceritakan melalui si penggambar, sementara Jalan Komik diceritakan melalui si pengarang). Menemukan buku tulis Fajar/Saiko yang tercecer di kelas berisi sketsa-sketsa indah, Bayu/Shujin mulai membujuknya menjadi mitra duet menggambar komik Indonesia/manga Jepang.


Bahkan sosok tokoh utamanya, mirip pula! (Mirip dari penampilan, tapi bukan dari perwatakan. Shujin adalah siswa unggulan yang cukup sehat dan selalu menyabet nilai sempurna, sementara Bayu mengabaikan nilai matematikanya yang buruk sedangkan penyakit berat mengancam hidupnya... halah tragis banget sih? Saiko anak manis yang awalnya ingin hidup biasa saja menjadi pegawai kantoran, sementara Fajar tampak berandalan hidup penuh kekerasan.)

jalan komik

Sayangnya, baru bab pertama sudah menggunakan bahasa Inggris; kenapa tidak memelihara Bahasa Indonesia? Harapan saya, semoga di halaman-halaman berikutnya tampil lebih banyak segi ke-Indonesia-an daripada sekadar lambang OSIS di dada.
(Latar belakang harimau dan naga juga terlalu berasosiasi ke penunjuk arah barat-timur budaya China, kenapa naganya tidak diganti banteng kayak di gunungan wayang? Atau badak? Atau komodo? Kenapa bukan hiu dan buaya? dll.)

Satu lagi yang saya tangkap dari intipan ini, AKSI MENGGAMBAR itu sendiri sama sekali belum terlihat di Jalan Komik. Di sinilah keunggulan artistik Obata Sensei dalam BAKUMAN. Tanpa terjebak alur cerita klise dengan aksi kekerasan ataupun tragedi yang menguras air mata, sejak awal panel-panel BAKUMAN telah menampilkan gerak-gerik sehari-hari menggambar -dan mengarang- dengan sangat dinamis dan heroik. Sementara dilihat dari iklan Jalan Komik, hanya satu panel yang tampak bergaya heboh norak, itu pun ketika si tokoh meniru gerakan tokusatsu di televisi... rada maksa.


Yeah sebagai pemula amatiran dengan dewa profesional, apalagi antara komik Indonesia dengan manga Jepang yang sudah punya pola rutin khasnya, belum sebanding pastinya. Kalau memang ada resep-resep ampuh yang patut ditiru, saya rasa tidak ada salahnya dilakukan dengan terang-terangan sampai suatu saat bisa melampaui yang asli. Yang perlu dicamkan, asal jangan sampai menjiplak plek panel-panelnya tapi malah berkelit lepas tanggung jawab dengan alasan "tribut ke mangaka kegemarannya" kayak kasus yang dilakukan anaknya Gene Simmons terhadap "Bleach" (dan beberapa manga tenar lainnya) dalam komik "Incarnate".

Oh ya, padahal seandainya dibahas juga tentang sejarah megap-megapnya komik Indonesia selama ini ditenggelamkan oleh arus "soft power" Jepang -dan Korea -dan Taiwan, bagaimana para muda-mudi Indonesia di Koloni berjuang melawan arus tersebut, tentu akan menarik. Yah kita lihat saja nanti.

***
Karena penerbit-penerbit utama (Shueisha dkk) mulai melakukan razia unggahan manga berbahasa asli dalam jejaring, saya beli sendiri BAKUMAN. Saya belum tahu apakah sudah diterbitkan secara resmi di Indonesia. Tapi bagi yang mau intip-intip dulu, pindai-terjemahnya ternyata masih bisa dilihat di sini:
- BAKUMAN bahasa Inggris: sampai #100an
- BAKUMAN bahasa Indonesia: sampai #50an

Tidak ada komentar: