Jumat, 11 November 2011

Dapunta

Tentu saja saya langsung memutuskan untuk menonton film "Pengejar Angin" begitu mendengar gosip ada adegan harimau di air terjun.

Begitu film dimulai, kesan pertama adalah film horor mistis atau thriller ketegangan penumpang bus yang melewati jalur lintas Sumatra. Ternyata oh ternyata, secara garis besar ini hanya film bergenre motivasi (menapaki langkah Laskar Pelangi dkk) sekaligus sebuah bentuk promosi provinsi Sumatra Selatan yang sedang menyambut perhelatan Sea Games. Bahkan gubernurnya pun pasang tampang dengan penuh kebanggaan, berhasil mencanangkan program sekolah gratis sampai ke pelosok-pelosok daerahnya.

Tersebutlah Dapunta, seorang siswa yang cukup cemerlang di kampungnya. Siapa sangka, ayahnya pentolan rampok Bajing Luncat. Sang ayah yang ganteng ini ingin sang putra mengikuti jejaknya. Dapunta yang terimbas angin modernisasi, memilih untuk melanjutkan kuliah, namun menghadapi diskriminasi dari teman-teman sekelas membuat dia mempertimbangkan lagi bahwa mungkin jalan hidup sang ayah lebih benar.

Guru Matematikanya yang simpatik, mendukungnya untuk tampil di pentas dunia, namun apa daya kendala keuangan menghalangi. Uluran sumbangan dari Nyimas, anak dokter yang menaksirnya, ditolak karena gengsi. Sang Guru tidak kehilangan akal, menyodorkan Dapunta kepada temannya pelatih lari dari Jakarta. Menanglah dia di stadion baru dan mendapat jalur atlit untuk masuk ke Universitas Indonesia (?)

Eh, jadi, pengejar angin itu apa? Di keterangan film, katanya itu julukan pelari tercepat di kelompok rampok. Tapi anehnya, tidak ada seorang pun yang membahas istilah ini di sepanjang film. Berbeda dengan, misalnya judul film dulu itu "Mengejar Matahari" yang disebut-sebut melulu dengan penjelasan membosankan setiap sekali 5 menit.

Sayang sekali, alur cerita tidak terjalin dengan rapi dan berkesinambungan. Padahal, para pemain berperan dengan mengungkapkan perasaan cukup baik.

Film ini juga kesempatan memamerkan keindahan Lahat dan Palembang, rumah-rumah panggung kuno yang tampak cukup nyaman dan asri, dibumbui sedikit tenunan dan alunan musik daerah sebagai tempelan di sana-sini. Dalam dialognya terselip beberapa kosakata khas, walaupun sebagai penonton kita tidak bisa tahu apakah itu diucapkan dengan baik dan benar, dan apakah itu peribahasa yang penting atau sekadar basa-basi. Juga beberapa adegan laga silat yang mantap (setidaknya karena situasi ceritanya lebih menarik daripada "Merantau").
Selain itu, sebenarnya film ini punya potensi menjadi kritik yang tajam. Antara lain,
  • Penerapan sekolah gratis tidak serta-merta menyelesaikan masalah, karena di satu sisi membuat orang tua murid tegas menolak permintaan sumbangan untuk kegiatan ekstrakurikuler lainnya, sementara dana dari pusat tiba tersendat-sendat. Murid-murid pun terkungkung di kelas tanpa bisa mengembangkan bakatnya di bidang olahraga maupun seni. Guru-guru pun belum tentu terjamin digaji dengan lebih baik.
  • Rampok tetap jauh lebih berjasa dalam meningkatkan kesejahteraan kampung daripada program pembangunan pemerintah. Biarpun perampok, sikap kesatria, mengutamakan keselamatan anak buah, nasionalisme dan kebanggaan akan daerahnya ternyata lebih mendarah daging daripada orang terpelajar lainnya.
  • Polisi tampak tidak berdaya membasmi kelompok rampok, sang Ayah kebetulan tertangkap hanya gara-gara dilaporkan dan dijebak oleh kelompok rampok saingannya.
  • Ibu Dapunta bisa dirawat dengan baik di rumah sakit kebetulan karena ada pengeceng Dapunta yang anak dokter. Artinya program Jamkesmas belum tercapai dengan baik.
  • Peran pelatih olahraga tidak tampak berpengaruh besar karena atlitnya sudah cukup terlatih selama magang di kelompok perampok. Peran sekolah dalam melatih pun tentunya jadi mengecil.
  • Kasus korupsi Stadion SEA Games-nya tidak diangkat ke permukaan... Padahal kan ini kesempatan untuk membahasnya juga.
  • Dapunta adalah nama raja Sriwijaya. Tapi apa kaitan kerajaan tersebut dengan kehidupan mereka masa kini? Apa iya Dapunta Hyang keturunan keling keriting hitam legam seperti si Dapunta yang ini, atau keturunan Cina sipit kuning? Seberapa jauh rasa memiliki masyarakat Sumsel terhadap sejarah masa lalu yang berjaya itu?


Eh eh eh, lalu, di mana sang harimau? Oh, itu, benar ada dia, melintas di depan air terjun!

Tidak ada komentar: