Menyambut penghardikan nasional.
Kartini mengalihkan beasiswa Hindia Belanda karena memilih menikah dapat dana dan kuasa untuk buka sekolah sendiri daripada keburu tua di menara gading, sedangkan Agus Salim menolak tidak sudi menerima lungsuran yang tidak menghargai prestasi pribadinya dan memutuskan bahwa pendidikan kolonial adalah doktrin berbahaya yang harus dihindari oleh anak-anaknya.
Berbeda dari kawan lain yang menjadikannya titik tolak membangun karier, saya sendiri menyambut hasil pampasan perang, remah-remah tebusan dari kesengsaraan leluhur ini dengan niat awal sekadar butuh dana kuliah yang belum tentu mampu disediakan oleh keluarga, ingin mampir ke Disneyland (halah), dan terutama tertarik mengakses manga dari sumber asli. Selain itu karena telanjur lolos saringan, harus menghindarkan sekolah saya kejeblos daftar hitam seandainya saya berkecut hati mengundurkan diri.
Mungkin saya salah satu yang sangat beruntung kebagian berangkat bersama teman angkatan yang lucu-lucu dan berjumpa dengan rekan-rekan negeri lain, sempai-kohai dkk, sehingga ketiga cita-cita saya yang cemen rendahan itu pun segera terkabul, walaupun sebaliknya mungkin justru merugi kehilangan momen-momen masa remaja yang jauh lebih layak dialami di tanah air gara-gara berangkat terlalu cepat. Kalau soal akses ilmu, lah zaman sekarang mestinya sih bisa diperoleh dari berbagai sumber dengan lebih leluasa. Tapi bukankah hidup adalah bagaimana menikmati pilihan?
Beasiswa Monbukagakusho pemerintah Jepang kembali dibuka bagi program S1, D3, dan D2.
Silakan disebarkan kepada siapa saja yang punya saudara, anak cucu, keponakan, teman, tetangga sebelah, dll lulusan SMA dan sederajat tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya yang barangkali berminat dan bernyali untuk mengikuti jejak kami :-*
Informasi lengkap http://www.id.emb-japan.go.jp/sch_slta2018.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar