Nasib terparah dari mengikuti serial komik bukanlah ketaksabaran menunggu pemutakhiran yang hanya sekali sekian bulan diselang jeda tak terjadwal; bukan pula kecewa akan kesimpulan akhir cerita yang tidak sesuai kehendak pribadi. Kepatahhatian karena terancam putus di tengah jalanlah yang paling membuat sengsara.
Demikian pula ujung nasib ruangan hotel yang sedianya hanya bakal dihuni selama 40 hari (minggu?) setelah lewat dua tahun malah tumbang di "karantina" sebelum berlaga ... 😖
Yang saya maksud adalah "304th Study Room", salah satu serial LINE webtoon Indonesia yang sempat memasung perhatian saya.
- Tentang komiknya
- Kasus yang terjadi
- Renungan
Tentang komiknya
- Judul. Ini menjengkelkan saya pribadi. Mengapa tidak Bahasa Indonesia? Padahal tidak terdengar catchy penginggrisan ini. Kalau suatu saat mau diluncurkan secara internasional, silakan diterjemahkan dengan pakai judul itu, tapi tidak perlu sekarang. Seandainya bukan karena bengong di KRL, saya tidak bakal menyempatkan diri melirik judul seperti itu. Semoga suatu saat ada yang memprakarsai penggantian judul yang lebih mengakar. Walaupun jangan menilai suatu cerita hanya dari judulnya.
- Kabut asap. Untunglah ceritanya cukup kedaerahan. Sebagai yang turut megap-megap terjebak di lapangan penelitian dan terkuras tenaga pikiran dan perasaan menggalang masker dan obat, saya sangat menyambut komik yang mengangkat isu pembakaran hutan gambut. Sayang OSN diselenggarakan pada semester pertama (kalau tidak salah) sehingga belum mencapai puncak kepekatan sekitar September 2015. Seandainya cerita berlanjut, atau dimodifikasi kalender sehingga para peserta mengalami sesak napas di hotel mewah tanpa bisa keluar kota, tentu dapat menjadi sarana meningkatkan keprihatinan dan kewaspadaan masyarakat.
- Korupsi. Dengan latar yang khas Riau, cerita ini termasuk satu dari segelintir webtoon yang terasa otentik. Pendekatan masalah masih terlalu vulgar dan kebanyakan nongkrong di hotel mewah saja kurang beredar, tetapi isu sosial politik yang diangkat di sekitar mereka ternyata lumayan terjalin erat ke dalam keseharian pelatihan yang membosankan. Penyelewengan izin pembukaan lahan, kolusi pengadaan infrastruktur, nepotisme akses pendidikan, bukankah memang asupan sehari-hari warga provinsi Riau?
- Korea. Sayang, gambarnya yang rapi jali menyaingi Lookism (walaupun masih kalah ragam tema cerita) sangat tidak Indonesia (setuju dengan penilaian Pak Ichsan, geli-geli geuleuh). Apalagi kebanyakan adegan fans service buat cewek-cewek fujoshi yang berupaya menandingi pelecehan a la cowok dengan cara mencocokkan bentuk otot perut dengan berbagai jenis roti. Ditambah lagi memaksakan muncul tokoh
artispengusaha Korea dalam alurnya... Mungkin komik ini memang mengincar pasar generasi alay milenialz yang kesengsem sama boiben-boiben sipit genit. Setidaknya, sang pengarang --yang kabarnya orang Indonesia asli-- cukup tekun kokoreaan dalam menampilkan perbedaan sosok para tokoh; palingan memang selera pribadi.
- Pribumi. Entah bermaksud menampilkan keberagaman, nyaris semua tokoh malah keturunan asing. Bejo sang pangeran minyak medok adalah bule naturalisasi sehingga ditolak paskibra; Reihan sang putra gubernur rebel without a cause bermata kuning adalah
anak harammelayu campuran antah berantah; Dirga sang seleb emo traumatik dan Yanjie sang sisbro complex beserta keluarga masing-masing jelas cina; Juna sang lolikon bertampang shota punya nama menak Sunda dan logat Betawi, tapi bapaknya diketahui bernama mesir berwajah pakistan; sementara Pak Zam sang jomblo ngenes, sebagai orang Aceh mungkin saja keturunan turki atau maroko. Tokoh utama yang boleh dibilang pribumi mungkin hanya Desyca dan Bu Nurul? Saya berharap ada upaya menampilkan kekhasan suku asli yang lebih ajaib: Kenapa enggak muncul tokoh Papua ganteng kayak Dosen Fisika saya almarhum Pak Hans Wospakrik misalnya ..? - Fisika. Mengapa hampir semua makhluk Tuhan ini mengikuti OSN dengan terpaksa? Dirga ingin menyanyi, Juna ingin menggambar, Reihan ingin memasak. Dan semuanya ikut lomba demi orang tua: karena tidak tega memberatkan, bermaksud balas dendam, atau untuk pembuktian kemampuan pribadi. Hanya Bejo yang wajar seperti remaja biasa, masih ikut-ikutan teman tanpa dorongan tertentu. Haruskah sedemikian ekstrem agar timbul drama? Apakah anak SMA zaman now lebih mudah bercita-cita menjadi seniman yang (dianggap) jauh dari beban Matematika dan IPA? Tak bisakah sekadar ikut lomba iseng saja menikmati proses semata karena suka pelajarannya, tanpa perlu dikaitkan dengan rencana karier masa depan?
- Astronomi. Tiba-tiba kisah tersedak jauh ke pertengkaran suami-istri antara memilih adopsi atau usaha sendiri ... disangka tentang anak ternyata tentang bintang. Apakah suaminya yang disuruh membayar? Lalu mengapa istri yang astronom yang tidak sabar minta adopsi? Padahal kalau sang suami yang mengeluh ditinggal begadang tiap malam, jauh lebih masuk akal. Mengapa tidak percaya diri bakal menemukan sendiri? Toh jika teguh berkiprah di bidang ilmu astronomi suatu saat akan ada pihak yang menganugerahkan planet kerdil atau asteroid atas nama beliau, seperti pengalaman Ibu Premana Wirdayanti 12937 Premadi.
- Feminisme. Di antara kelima peserta tim OSN Fisika, Desyca satu-satunya yang tulus ingin meniti karier sebagai astronaut, justru terjegal keinginan orang tua agar menikah secepatnya. Klise sekali! Tapi bisa jadi pandangan seperti ini masih mendarah daging di kalangan generasi kita sehingga masih perlu dibahas. Pertanyaannya, apakah pengarang mengalami hal seperti itu? Seharusnya kedua keinginan tersebut tidak perlu saling bertolak belakang, bisa diselaraskan dengan skala prioritas tertentu. Lalu mengapa penamatan mendadak ditutup dengan pernikahan juga? Apakah itu tetap syarat agar dia dapat menggapai cita-cita?
Kasus yang terjadi
Riau oh Riau ... berkat KKN yang tersistematis mengurat mengakar sampai ke sendi-sendi kehidupan, dan rasa ketidakadilan antara pusat-daerah yang berkepanjangan, tidak aneh lagi jikahttps://chirpstory.com/li/384841
Tersebutlah tiba-tiba terbit preview epilog di tengah jalan, sementara epilog yang dijanjikan pun terlambat satu minggu, sehingga komik sempat dicap jeda sebelum kemudian ditamatkan dengan sengsara.
Selidik punya selidik, konon sudah lama dibahas masalah penipuan yang dilakukan oleh pengarang, sejak sekitar 7 tahun lalu sampai saat sedang menerbitkan komik ini. Ada kasus jualan rambut palsu, krim wajah, gambar komisi, stiker, kartu pos, gantungan kunci, sampai guling idola.
Polanya pun tampak berulang: banyak penggemar ---> dagangan laris ---> pesanan melimpah ---> gagal produksi/gagal kirim --> janji mengembalikan uang ---> mengeluhkan masalah keluarga/kuliah/penyakit/putus cinta ---> tidak bisa dikontak ---> ganti akun media ---> diam-diam menunggu masa tenang ---> promosi produk baru lagi ketika orang sudah lupa.
Karena jualannya kecil-kecilan, para pelanggan masa lalu yang lelah menagih malas mengusut lebih jauh, tak sampai melaporkan ke polisi. Begitu namanya naik daun di webtoon, melakukan penawaran baru, kejadian lagi hal yang serupa, mulailah mereka merasa layak untuk mengungkit kembali. Akhirnya beredarlah berbagai kompilasi dari masalah yang dialami berbagai pihak dengan sang pengarang.
Salah satu kekesalan utama para pelanggan adalah nama pena yang digunakan merujuk cina, padahal dia asli pribumi, sehingga terkesan mencemari nama baik keturunan cina. Konon sebelumnya dia memakai nama spanyol. Di dalam komiknya, ada adegan muslimah berkerudung rapat mengucapkan salam, lalu pengarang menyatakan sudah konsultasi dengan pemuka agama dalam menampilkan adegan tersebut, padahal dia sendiri berasal dari keluarga muslim (walaupun entah agama apa yang dianut dalam hatinya saat ini).
Terkadang terselip juga beberapa nasihat anti-hate speech, padahal yang bersumpah serapah di kolom komentar adalah mantan pelanggan yang murka.
Kekesalan lain mereka adalah, dia mengeluhkan bahwa tekanan dari pelanggan tersebut membuatnya terhambat menerbitkan komik 304 secara rutin. Dia juga merendahkan beberapa pengarang lain yang menampilkan percintaan pria-wanita; sementara komik 304 dibanggakan mengabaikan seputar romantika. Tetapi seperti munafik karena ternyata dia tampil di webtoon berbahasa inggris di kategori challenge (amatiran pendatang baru), menggambar cerita gak penting yang bermuatan seksual pasangan sesama pria, omegaverse (entahlah apa pula itu), dengan tokoh tiruan idola Korea.
Alasannya karena ingin menyalurkan hobi. Dicurigai tujuan sesungguhnya untuk menarik sponsor pendana maupun penggemar baru yang akan membela dia dari komentar-komentar miring para pelanggan lama. Semestinya orang yang telah kompeten sebagai profesional tidak perlu lagi melalui tahap tersebut... Jangan-jangan imbalan webtoonist pro tidak sebesar sumbangan lewat patreon? Atau kelelahan mengejar jadwal mingguan membuat episode-episode tunggang-langgang sehingga mencetuskan keinginan menggambar ulang.
Renungan
Beberapa isu yang terlintas gara-gara kasus ini (maaf ya kalau acak banget):
- Hak anonimitas pengarang seharusnya dapat tetap dilindungi; pengarang berhak memakai nama pena apa pun tanpa perlu diungkit-ungkit oleh penggemar maupun pembencinya, selama bukan mencaplok jati diri manusia nyata. Hal ini penting agar mereka leluasa mengungkapkan curahan hati melalui karya yang toh punya penafian sebagai fiksi belaka. Namun hendaknya dipertimbangkan pula bahwa:
- Kepercayaan bisnis memerlukan identitas yang jelas; hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan pelantar jual-beli daring yang dapat dipertanggungjawabkan: jelas ada konsekuensi berbagi keuntungan dan harus patuh bayar pajak, namun data pesanan, transaksi pelanggan, prosedur pengembalian dana terorganisasi secara sistematis, sementara anonimitas penjual tetap dapat terlindungi di balik pelantar tersebut.
- Produksi dalam negeri vs bea cukai; bisa jadi awal kekacauan adalah masalah penebusan barang dagangan di bea cukai. Sebagai penjual amatiran, tentu sang pengarang tidak punya izin impor yang layak untuk jumlah besar. Mana tahu tertagih bea masuk atau PPnBM yang tidak diperhitungkan sebelumnya, tapi gengsi untuk mengakui. Di sisi lain, menurut saya impor barang mahal untuk cosplay adalah tindakan yang tidak kreatif. Kreativitas sejatinya harus didasari kemampuan mengolah sumber daya alam milik sendiri. Contohlah @lowcostcosplay.
- Mutu percetakan; tentang karya sendiri, bisa jadi hasil cetakan terlalu butut, warna belang bonteng, sehingga dianggap gagal. Akibat obsessive compulsive disorder, tidak sudi menjual apa adanya, tapi juga terbengkalai tidak sempat mengurus ganti rugi ke percetakan lalu bingung sendiri. Tentu saja jika belum mampu mengendalikan risiko, mestinya jangan terjun ke bisnis dulu.
- Keterlibatan keluarga; adik dan ibunya telah membantah berbagai kilah pengarang tentang drama keluarga ataupun penyakitnya, dan berjanji akan menebus semuanya. Namun, jika tidak mengenal lebih jauh, belum bisa serta-merta disimpulkan dia berbohong. Kurangnya rasa tanggung jawab, mentalitas korban, dan ketegaan menyalahkan keluarga pun pasti bersumber dari lingkungan keluarga juga. Sebaliknya, tentu tidak ada keluarga yang mau mengakui kegagalan mengasuh seseorang. Sementara itu, banyak kasus KDRT yang terjadi sangat tertutup sulit diintervensi justru ketika korbannya menyangkal keadaan.
- Masalah psikologis dapat terbentuk melalui cosplay dan fanfic; keinginan mencintai diri yang tampil beda sebagai orang lain, bisa jadi pemicu rasa percaya diri tapi bisa juga menimbulkan kepribadian ganda yang tidak tertanggulangi. Sementara mengkhayalkan dunia sesuka hati ke mana kapal hendak berlabuh, adalah sarana pelarian dari kenyataan hidup.
- Rentang evolusi sebuah adikarya; selama menelusuri kontroversi ini, saya terarahkan ke berbagai profil medsos jadul sang pengarang. Ternyata, di sana bisa kita temukan jejak-jejak pengolahan naskah 304 ini sejak tujuh tahun silam.
Ide untuk mengomikkan pengalaman pribadi selama OSN setidaknya telah mengemuka pada 2011 (atau bahkan lebih lama lagi). Para tokoh utama telah tampil dengan raut wajah dan nama yang berbeda, watak yang lumayan mirip versi finalnya. Beberapa adegan pun dapat ditelusuri telah muncul dalam sketsa-sketsa yang dicicil selama itu. Barangkali di tengah jalan kehabisan bahan, tanggapan tak semeriah yang diharapkan, semangat pun buyar semua. Seolah-olah tidak ada gagasan lain yang lebih cemerlang daripada kisah ini. - Genre supokon inspiratif tidak cocok di negara ini; kalau ini manga, masuk kategori semangat bersaing yang menggugah orang untuk maju. Walaupun tamatnya menggantung, rencana awal adalah memenangkan sebagian tokoh untuk maju ke IPhO. Namun, seperti yang pernah kami bahas ngalor-ngidul dalam suatu diskusi KineMala, ada kebutuhan untuk lebih membumikan media fiksi kita pada realisme, agar ambisi maupun obsesi dirumuskan lebih terencana, dan siap menghadapi berbagai risiko, jangan sampai kandas sebagai sekadar bunga mimpi tak tergapai. Bagaimana mengelola cerita komik yang mampu menampilkan sebuah kekalahan dengan lapang dada?
- Kegagalan pengembangan industri kreatif; belum ada jaring pengaman untuk menanggulangi kegilaan para seniman dalam kadar yang layak. Mereka dituntut untuk 'waras' sebagai pebisnis profesional yang bertanggung jawab atas komersialisasi produknya, sehingga terjebak antara menjadi sekrup mesin raksasa yang rutin melakukan plagiasi membosankan; atau menjadi pengacau tak terkendali yang sama sekali gagal terjun ke masyarakat ...
Pada dasarnya industri kreatif adalah sebuah kerancuan. Dalam skema ini, tidak ada harapan untuk menyaksikan karya otentik cemerlang yang dapat menggugah peradaban dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar