Rabu, 22 Juni 2022

Teman Sebangku

Subuh tadi N, teman sebangku saya SMP kelas 2 semester 3, berpulang ke rahmatullah, tepat sehari sebelum hari ulang tahunnya.
Saya ingat orangnya cukup ambis, selalu sibuk mempersiapkan diri menghadapi ulangan dan ujian, ketika saat itu saya masih dalam moda santai, baru saja mengalami layang puntir di kelas satu, dari malas hadir sekolah sampai mendapat peringkat pertama bintang kelas di akhir tahun ajaran. Barangkali karena tidak senada seirama itulah kami pun bertukar pasangan di semester 4.
Sejak kenal dengan saya, dia sudah berjilbab dengan rapi, termasuk rombongan awal pelopor pengguna jilbab di sekolah. Sungguh panutan.
Terakhir saya bertemu langsung adalah saat mengadakan reuni kelas 2, saat itu N sangat gembira, ditemani suami tercinta yang menjadi fotografer pribadi.

Keluarganya bahagia, kariernya tentu lancar sebagai ASN bea cukai. N juga sempat melanjutkan belajar ke Jepang. Saya agak sirik mungkin.
Padahal nomornya selalu tersimpan, cuma karena jarang muncul di media sosial saya lalai menyapa rutin via japri.
Saya hanya sempat berbalas pesan semangat ketika diberi tahu oleh Umar bahwa dia sakit dan sudah keburu parah. Saya baru memesan pratistha untuk ibu saya dan membeli juga untuk N, sedang berpikir bagaimana mengemas dan mengirimkannya sekalian sebagai hadiah ultah, ketika kabar duka itu tiba.
Karena pemakamannya di sore hari kerja di ujung dunia, dari teman SMP sepertinya hanya saya yang menyempatkan hadir, sedih sekali bahwa hanya ini yang bisa saya lakukan di saat terakhir.

Jadi ingat teman sebangku saya yang lain, D, di SMP kelas 1 semester 2. D adalah salah satu pemicu titik balik layang puntir yang saya sebutkan itu, selain adanya pelajaran Seni Rupa. Menjadi sekelompok belajar dengan D (dan A) saat itu membuat saya mulai menikmati sekolah yang tadinya terasa membosankan. Tugas-tugas yang tidak penting dikerjakan bersama dengan gembira.
Lalu saat naik kelas kami ikut ekstrakurikuler silat entah-entah yang pendirinya baru meninggal awal tahun ini. Namun tak lama, D segera berpindah aliran ke PD. Dengan kelas yang terpisah, tidak ada lagi kesempatan kami berhubungan. Saya ingin mengajak mengobrol tapi tidak tahu harus mulai dari mana karena saya malu. Saat SMA, D punya pacar pula, ke mana-mana berdua. Saya makin segan bertegur sapa jika berpapasan.
D menikah setelah lulus kuliah dengan pacar SMA-nya namun meninggal kanker yang terlambat diketahui, karena sakit perutnya terasa ketika sedang hamil. Anaknya lahir selamat, namun tak lama D berpulang. Anaknya kemudian dicarikan ayahnya ibu tiri, adik kelas 5 tahun di bawah yang merupakan anak dari Guru Fisika saya. Dia memperoleh banyak adik, dan sang Ibu berkiprah membahas pengalaman sebagai orang tua menyelenggarakan sekolah rumah.

Daftar teman sebangku akan dilengkapi kalau ternyata ada yang terlewat.
Pertama kali punya teman sebangku adalah dengan S. S ketua kelas 2 SD, orangnya sangat berjiwa kepemimpinan menyambut anak baru. Dia mau saja adlib menemani saya menyanyikan lagu yang sebenarnya impromptu diciptakan di tempat: "hujan di hari yang mendung sungguh deras membasahi bumi, lihatlah oh kawan lumpur berserakan di jalan".
Lalu saya sebangku dengan L, cucu kepala sekolah yang rambutnya panjang tergerai. Saya tidak tahu di mana dia sekarang.
Sebentar kemudian saya loncat kelas dan sebangku dengan cowok, Z, yang sampai sekian waktu lalu saya salah ingat nama. Dia sudah menjadi seniman musik, sudah menikah tiga kali.
Naik kelas lagi saya sebangku dengan K cowok yang cukup cerdas, utusan senam pagi sekolah, sempat jadi bankir lalu tobat berjuang menegakkan ekonomi nonriba.
Kemudian ditukar dengan I, preman kampung yang sabar kalau saya gebukin karena saya anggap nakal. Duh maafkan ya.
Masuk SMP saya sebangku dengan Y. Y anak yang sangat vokal, sehingga mungkin menjadi penyebab saya terdiam. Terakhir jumpa sesaat di dekat rumah saat beda SMA dia bersama rombongan teman. Lalu ketemu lagi setelah sekian lama dengan Y lewat Medsos, sempat membantu saya memberi penyewa rumah sesaat, lalu kami pun ikut menjadi panitia menyelenggarakan beberapa kali reuni. Dia sempat bercerai karena diabaikan oleh suami, namun sudah memperoleh pasangan baru. Anaknya tampaknya cukup manis sehingga dia tidak terlalu kerepotan.
Karena saya sering bolos, Y pindah ke lain hati. Saya pun kebagian sebangku dengan W yang baru pulih dari sakit. Dari dulu anaknya sibuk sendiri, sehingga dengan saya yang mendapatkan medali juara terdiam di kelas, kami diam-diaman saja. Ketika hendak reuni, bingung karena tidak ditemukan di medsos. Saya mengontak kakak dan adiknya yang punya nama keluarga sama, akhirnya mendapatkan nomornya, namun belum pernah sempat ketemu di reuni, barangkali dia tak berminat hadir.
Setelah bersama N, di semester 4 saya sebangku dengan R, anak baru pindahan yang merupakan anak guru Bahasa Indonesia. Kami tidak begitu akrab, tapi cukup saling mendukung keseharian di kelas. Seharusnya saya menjalin lagi persahabatan lebih erat setelah lulus dan reunian.
Kelas tiga, saya sebangku dengan teman sekelompok belajar kelas dua, T. Agak keder sama T karena dia ditaksir banyak orang dan sibuk menaksir orang lain lagi. Dia ini bintang iklan sabun semasa bayi, berarti jauh lebih dulu tampil di koran dan majalah daripada saya yang baru tenar setelah menjelang usia 7. Karena ketertarikannya lebih ke hal-hal duniawi, kami bertukar pasangan di semester terakhir.
E anak yang ceria, banyak tersenyum dan cukup membuat saya terbuka untuk cerita apa saja, ultah kemarin. Kini bersama keluarganya membuka studio foto.
Kelas 1 SMA semester 1, saya sebangku dengan saingan saat SMP kelas 2. B adalah anak yang sangat berbakat, gambarnya pun bisa bersaing dengan saya. Dia sedang dalam pencarian tentang Tuhan dan kebingungan menyelaraskannya dengan kegemarannya akan artis idola. Waktu naik kelas, serombongan menemani dia menonton film terakhir yang akan dia tonton sebelum berjilbab katanya. Setelah beberapa kali kongkow gaje, waktu reunian saya seret untuk ikut menjadi perwakilan angkatan, tapi dia sibuk mengurus anak banyak.
Semester 2 saya bertukar pasangan jadi sebangku dengan J, yang punya komputer dengan gim Prince of Persia. Betapa sulitnya menahan keinginan menumpang main di tengah mengerjakan tugas kelompok. Terakhir ketemuan waktu reunian itu sudah 6 tahun yang lalu. Kariernya bagus, anaknya lucu, saya tidak tahu tentang kabar suaminya.
Kelas 2 dan 3 saya awet dengan F, anak pindahan waktu kelas 1, anak guru fisika yang kebetulan tidak kebagian mengajar saya. Dia sengaja bertukar kelas dengan teman seangkot saya, A, alasannya karena A tidak mau sekelas dengan AB. F setuju karena di kelas awal dia tidak punya kenalan sekelas. Entah bagaimana kelas kami banyak teman sekelas kelas 1 termasuk AB. Sebelum pandemi saya sempat ditraktir makan di mal bersama F oleh juragan kelas kami. Saat pandemi, sempat sangat cemas karena kondisi F termasuk cukup parah. Semoga F kini sudah pulih total seperti sedia kala.

Tidak ada komentar: