Dua minggu lalu, saya ditolak.
Pedih walaupun hasilnya bisa ditebak. Sebenarnya saya sudah maklum tidak memenuhi syarat, dan hanya datang untuk cek kesehatan, sehingga tidak berencana mengajukan diri, tapi didorong oleh Ndew sebagai pejabat keluarga alumni untuk tetap mendaftar. "Yang penting ada niat berpartisipasi. Siapa tahu boleh. Kalau memang tidak layak nanti juga tidak bakal lolos penyaringan, saya pun lolos karena boosting bit, kurma, buah naga," katanya. Memang, begitu melihat pergelangan tangan saya yang terkena CTS memar-memar masih dibebat, Dokter melarang saya menambah pegal lengan. Cewek-cewek lain juga ditolak, antara lain karena kadar Hb rendah, atau dianggap kelelahan sehabis lari pagi ngos-ngosan.
Tapi Moskow diterima.
Dia menyatakan habis bergadang tapi sudah sempat tidur pagi sehingga masih jumawa. Padahal ternyata itu akibat jetlag sepulang mengantar misi perdamaian di Afrika. Di formulir donor darah, jelas-jelas ada pertanyaan apakah pernah keluar negeri dalam setahun terakhir, dan secara khusus ditanyakan juga apakah baru dari Afrika. Pastinya dia sengaja mencentang "tidak" di semua baris pada saat mengisi, karena tidak mungkin ada dokter yang mengizinkan dia lolos penyaringan jika centangnya berada di kotak "ya". Barangkali sengaja demi meramaikan kegiatan teman seangkatannya.
Donor darah di almamater.
Konon besoknya dia tumbang, masuk RS yang tidak terbiasa menangani kasus malaria ganas, dan tadi malam dia berpulang.
Menurut Selvy, pekerja yang pulang dari Afrika pasti dibekali test kit dan pil serta diberi cuti untuk karantina. Mereka dapat menguji sendiri sehingga jika ada indikasi penularan dapat mencegah dan mengobati sejak dini, begitu demam langsung minum pilnya. Apakah petugas logistik lalai membekali? Atau Moskow lalai melaksanakannya demi pulang ke Bandung menemui keluarga dan teman-teman? Seandainya dia tidak bergadang lalu donor darah, mungkinkah tubuhnya cukup bugar untuk melawan penyakit yang menggerogotinya?
Seandainya tidak mampir ke sekolahan, mungkin saya juga tidak akan sempat bertemu dia lagi. Dia masih sempat menyapa saya sebagai instruktur galak dalam kenangan (padahal saat diklat angkatan dia, saya hanya pelengkap penderita yang bertugas sebagai utusan danlap dan pengawal lari, tidak kebagian posko, tidak mengangkat suara sama sekali). Saya pun sempat menceritakan kedudulan tiga orang polisi milenial yang minggu sebelumnya membayar pesanan Airbnb ke rumah saya untuk dinas di Bandung tapi di hari H-1 disuruh atasan menginap di mess polisi.
Padahal kami semua tentu mengandalkan dan menaruh harapan kepadanya sebagai calon pemimpin polisi masa depan (?) Kami berkumpul tepat setelah tragedi Kanjuruhan bergulir, soal kasus Kadiv Propam masih menjadi topik yang tidak habis-habis dibahas.
Dan ketika tiba giliran dia donor darah, saya pun ikut yang lain, menyemangatinya tanpa menyadari konsekuensi yang menyertai. Sampai berfoto bersama!
Mungkin memang perilaku KKN ini perlu diredam selamanya. Kalau bukan teman sendiri, saya bakal curiga jangan-jangan dia juga merupakan bagian dari lingkaran kriminal terstruktur berkedok penegak hukum pengayom masyarakat. Secara dia sudah pernah menjabat Kapolres di pelosok dan sepulang dari Afrika bertugas di Mabes Polri.
Barangkali mampir ke sekolah dan berjumpa teman-teman lama membuat dia kembali ke masa-masa saat menjadi nakal, melanggar peraturan kaku tidak masuk akal, adalah suatu keniscayaan demi menempa pribadi yang kreatif.
Namun, kali ini yang dilanggar adalah prosedur operasi standar kesehatan dan keselamatan diri sendiri. Jika itu saja diabaikan, bagaimana kita berharap prosedur operasi standar untuk menjaga dan melindungi masyarakat bisa diterapkan?
Konon darahnya sudah ditarik dari peredaran, tapi bagaimana jika tertukar dan menularkan ke orang lain? Sepatutnya PMI memboikot sekolah kami sebagai putra-putri harapan bangsa yang nekad melakukan kelalaian berbahaya (?)
Tapi siapa tahu andaipun kelalaian itu tidak terjadi, maut tetap menjemput. Barangkali dia merasa ajal sudah dekat sehingga memilih mengucapkan perpisahan melalui tindakan gila yang tak dapat terlupakan. Barangkali kehendak Tuhan menghindarkan dia dari badai yang mengombangambingkan lembaganya.
Teman-teman seangkatannya mewanti-wanti saya bahwa tertular wabah dalam mengemban tugas negara berarti mati syahid. Semoga dia mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya.
Ini adalah panggilan untuk bangun.
Semua kita perlu tekun mengawal revolusi mental kepolisian.