Ibu saya ternyata adalah hoarder bipolar sementara anaknya mengidap obsessive compulsive disorder.
Awalnya beliau ketiban titipan barang dari para anggota keluarga sampai puluhan tahun. Kebanyakan berbentuk buku dan album foto, tapi tidak mampu mengelolanya, hanya bisa menggusur pindahan ke sana kemari di loteng maupun bawah tanah tanpa sempat tersusun rapi.
Palak dengan keadaan tersebut, lama-lama beliau sendiri yang menambah barang bekas dari loakan. Belanja sekali banyak murah meriah, satu dua yang diperbaiki menjadi layak pakai memang menggembirakan, padahal selebihnya nyaris tidak ada satu pun yang layak pakai. Mending kalau hanya pakaian, seolah-olah cukup dikarungi, ini yang dikoleksi balok kayu, meja kursi lemari yang segede gavan sharivan shaider menyempitkan ruang gerak sehari-hari.
Tapi timbunan selanjutnya menjelma menjadi ukuran rumah. Beliau membongkar ruangan untuk diperbesar, bukan demi kenyamanan hidup, melainkan untuk merasakan kebanggaan menjadi mandor abal-abal. Bertahun-tahun beliau memelihara dan menggaji 4-6 orang tukang berkeahlian pas-pasan yang menurut saja tiap disuruh apa pun tanpa kemampuan berbagi pengalaman bahwa arahan beliau salah. Tahu-tahu kehabisan dana. Dengan demikian, semakin ada alasan untuk tidak mengemas barang berantakan yang telantar karena ruangannya belum tuntas direnovasi, hasilnya sekadar perluasan gudang tak terhingga.
Suatu hari malah ada rumah yang setelah mangkrak empat lantai harus dilelang, diruntuhkan oleh pembelinya. Sungguh sia-sia.
Begitu anak-anaknya berusaha membantu mengembalikan manfaat dari ruangan-ruangan tersebut, beliau merasa kewenangannya tercerabut. Kadang-kadang maklum manggut-manggut, tapi lebih sering melawan dan tidak mau mengaku salah dan mendengar masukan. Berhubung anak-anaknya telanjur terdidik untuk tidak mengiyakan yang enggak-enggak, yang terjadi adalah perdebatan tiada akhir, menguras tenaga dan pikiran.
Ibu saya ternyata bercita-cita membuat penginapan untuk bisnis wisata yang dia khayalkan, tapi tidak mampu memulai secara terintegrasi dari awal sehingga belum ada pergerakan. Suatu hari kami sepakat menerima anak kos pertama, teman masa bayi saya dengan putrinya yang sudah SMA persiapan masuk kuliah. Dia kerja keliling mengelola distribusi kosmetik SA. Entah bagaimana terjebak tunggakan kredit yang berlebihan padahal seharusnya dibatasi berdasarkan slip gaji, sehingga potongan langsungnya tidak lagi manusiawi. Saat dia mohon izin untuk menunda pembayaran kos, Ibu saya langsung memintanya pindah dengan alasan keberatan membawa kucing. Padahal dia cukup bisa diandalkan untuk berberes-beres saat tamu ibu saya dari Asia Tenggara akhirnya mampir juga, sekali seumur hidup.
Walhasil kosong lagilah kos-kosan itu menganggur selama setahun, sementara itu ibu saya kualat terdiagnosis mengidap kanker kelenjar getah bening. Saya yang awam pun mulai berusaha mengambil alih upaya menyiapkan kamar-kamar agar layak huni. Saya mencoba membuka laman berbagi kamar sebagai tuan rumah teladan, ternyata lokasi strategis membuatnya cukup laris juga. Namun, bentuk kamar-kamar pribadi tanpa kamar mandi dalam ternyata membuat bisnis penginapan tidak bisa selancar yang dikira, sehingga diputuskan untuk mencari yang aliran dana lebih terjamin, yakni kos-kosan.
Belum lama berselang tibalah bencana pandemi. Bisnis penginapan tiarap dan rentan penularan, beruntung mulai ada beberapa kamar terisi untuk kos jangka panjang. Anak-anak kosnya juga karyawan semua, sehingga lebih nyaman bekerja di kosan daripada pulang kampung ke rumah masing-masing seperti mahasiswa-mahasiswa tetangga.
Penghasilan yang mulai masuk ternyata masih perlu dikelola untuk melakukan renovasi dan membayarkan iuran seluruh rumah dan lahan, yang selama ini diabaikan oleh ibu saya sehingga sering terkena denda keterlambatan. Ibu saya sudah tidak dapat diandalkan untuk urusan ini, otaknya selalu melayang berloncatan ke sana kemari.
Sementara itu, atap untuk pelebaran ruangan-ruangan rumah mulai menampakkan masalah, bocor lagi di sana-sini. Tidak ada perancangan yang direnungkan baik-baik dalam kegiatan pembangunannya, padahal sebagai arsitek interior yang lama kuliah merentang 13 tahun, seharusnya ada ilmu yang bisa diterapkan. Adik saya sebagai arsitek bersertifikat saja tidak diperhatikan gagasannya. Tapi ibu saya ternyata belum kapok bongkaran. Dihabiskannya lagi dana untuk merapikan plafon yang hanya menjadi penampung bocoran, memperluas kamar balkon dan dapur di bawah dak jemuran untuk hal yang sia-sia, sementara masalah yang ada belum ditangani.
Letak dapur ini terlalu jauh dari kamar, dan perlu menempuh halaman penuh serangga untuk mencapainya. Akhirnya di hari-hari cuaca dingin, makanan dibawa ke kamar menjadikannya seperti kandang hewan. Tidak sekali dua kali, berkas-berkas penting akan ketumpahan kuah gulai ikan, komputer tersumbat kulit ari kacang.
Terlalu banyak yang harus diperbaiki, sehingga urutan prioritas semakin kabur. Akhirnya apa yang tampak di depan mata saja diselesaikan satu per satu. Dan di antara puncak kesenewenan mengerjakannya, yang paling belum bisa diatasi adalah ledakan emosi ibu saya yang terkadang dipengaruhi kecemasan yang tidak-tidak. Suatu saat ada ular masuk disangkanya ada yang menenungkan sihir kepadanya. Semua orang dicurigainya punya niat buruk untuk menyakiti. Dan di antara itu ada pula anak-anaknya yang tidak habis pikir mengapa ibu mereka yang seharusnya beriman dan altruis, menjadi sedemikian materialistis dan paranoid begini.
Sampai di titik keringat darah dan air mata penghabisan adalah, begitu mengetahui bahwa beliau telah meminjamkan uang ke mantan tukang-tukangnya dengan harapan akan terus bekerja dipotong gaji (yang tentu menjadi beban biaya berkesinambungan) tapi yang dipinjamkan ternyata sudah bukan modal sendiri melainkan merupakan hasil gadaian emas maupun kredit bank, sehingga bunga penebusannya ditanggung oleh ibu saya lagi. Intinya, semua rencana berberes buyar karena kami bokek sebokek-bokeknya.
Mengubah pola pikir bahwa upaya pengelolaan ini bukan lagi untuk dinikmati bersama sebagai kebebasan finansial melainkan untuk menebus beban jerat utang riba, cukup menyakitkan dan perlu waktu. Ketidakpuasan dan kekecewaan yang timbul tenggelam, di titik ini mentok menjadi ketidakterimaan. Tidak boleh seperti ini terus. Tapi belum ada titik terang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar