Biaya masuknya memang lebih murah, namun ternyata masih banyak lagi tambahan kagetan yang ditagih pada saat kegiatan belajar-mengajar. Terutama yang paling memberatkan adalah Lembar Kerja Siswa, yang mau tak mau terpaksa harus dibeli, dan tak dapat didaur ulang pula: harus langsung dicorat-coret dengan isian jawaban masing-masing anak pemiliknya, sehingga tak dapat dibeli bekas ataupun dijual kembali tetap sebagai sebuah buku.
Dan suatu hari ortunya panik menghubungi saya. Ada soal PR dalam LKS
Pertanyaan sebelumnya adalah tentang bagaimana perasaan kita kalau dicopet, dihina, dll, dijawab dengan kata sifat yang sesuai. Nah, yang membingungkan adalah pertanyaan berikut:
Ibumu melarang kamu pergi bermain.Marah? Kesal?
Kamu merasa hak asasimu untuk bermain dirampas.
Kamu akan merasa......
Ini terhadap Ibu, lho.
Tenang-tenang saja?
Gak mungkinlah, di kalimat kedua kan ini sudah dianggap sebagai pelanggaran hak asasi!?
Adikku menjawab "sedih." Jawaban yang cukup aman dan cukup bermoral, manggut-manggut kami semua.
Danu menurut dan bersusah-payah menuliskannya.
Sang Guru ternyata menyalahkan jawaban "sedih" itu.
Kalau bukan sedih, lalu apa dong?
Sumpah, saya pun tak mampu memikirkan jawaban yang tepat.
Apalagi Danu, yang membacanya masih mengeja i, b-u bu, ibu, m-u mu, ibumu...
Mungkin isi LKS itu memang dirancang agar ortu juga ikut memeras otak bersama anaknya. Tapi tetap saja mereka juga tidak tahu.
Ada yang punya usul?