Terus, salah LINE? Salah teman-teman LINE?
Ada apa dengan Rangga setelah 12 tahun berlalu?
Ada apa dengan banyaknya
jam tangan, jam meja, dan jam dinding yang menumpuk di berbagai sudut kamarnya?
Lho, itu Rangga,
Anis Matta, atau
Moeldoko???
Cowok semacam Rangga berserakan di sekitar saya, walaupun bisa jadi makhluk langka di sekitar cewek sosialita semacam Cinta. Itulah sebabnya, jangan-jangan hanya saya yang menemukan perubahan watak dalam iklan ini. Bahkan, Cinta pun mungkin tidak menyadarinya.
Rangga kan tipe pujangga gaul jadul yang bakal rajin
berkirim surat panjang bersambung mingguan, atau sekepepetnya tetaplah rutin melayangkan barang
selembar kartu pos bergambar setiap bulan. Kalau gak sanggup telepon, masa sih gak sempat sekali pun menghubungi via irc, ym, fs, mp, fb, skype ...? Banyak cara untuk berhubungan jarak jauh, asal niat mah. Menonton kesehariannya, toh dia bukan cowok galau tak berdaya seperti tokoh-tokoh di film-film Wong Kar-wai atau Shinkai Makoto.
Andaipun hilang kontak, dibuat heboh dong latar belakangnya, misalkan sempat AWOL gara-gara blusukan ke pelosok Afrika, atau gak usah jauhlah, cukup kehabisan ongkos perahu di sungai rimba Kalimantan, secara lumayan nasionalis dia. Atau yang lebih ekstrem,
diciduk gara-gara kegiatan politik seperti
napak tilas jejak Saman, kek gitu. Ini kok malah kandas menjadi pebisnis global alay sok sibuk jeprat-jepret kamera géjé, yang entah bagaimana tetap terpenjara oleh ruang dan waktu???
Masa coba, sudah usia segitu (dengan asumsi jenjang karier segono) dia mampir ke Jakarta hanya dua hari, nggak ambil libur tambahan. Lalu, kok cuma kirim sebaris pesan, dan jinak menanti di bandara. Mana bandaranya malah di Korea pula??? Benarkah kecengannya telanjur pindah ke Bekasi, sampai segitu berat untuk langsung tancap naik ojeg ketok rumah, bawa sogokan oleh-oleh coklat bekal sungkem ke mantan bakal calon mertua?
Apakah uang saku keburu habis buat koleksi aneka ragam jam di atas?
Bahwa si Cinta masih ngupi-ngupi cantik dengan teman SMA itu-itu juga, bisalah dimaklumi. Walaupun demikian, setidaknya saya sempat berharap agar pengalaman positif berekskul mading mengantarkannya bukan sekadar jadi pegawai kantoran
chic yang duduk manis berdandan apik di balik meja, melainkan terjun ke kegiatan kreatif inovatif dinamis beredar menjangkau masyarakat di lapangan, dengan mobilitas yang jauh lebih tinggi daripada hak sepatunya.
Namun apa hendak dikata, dalam selisih satu purnama, Cinta kepalang jadi menantu keluarga mafia pengusaha konglomerat dan kini sudah beranak dua.
Sementara itu, Rangga menikah dengan anak seorang politisi gagal, mengambil gelar Doktor di Eropa, terus
narsis-narsisan bikin film sama istrinya sebelum pulang ke Jogja, dan baru kemarin,
mobil mertuanya ditembak?! #eh
(Ahaha paciweuh, memangnya ini film aksi mata-mata apa ya ...)
Terlepas dari sisi populer cerita cinta SMA, AADC adalah tonggak sejarah perfilman nasional berlatar semangat pascareformasi, yang berupaya menggugah remaja untuk lebih prihatin terhadap keadaan masyarakat sekeliling. Namun, melalui iklan ini, tampak jelas suatu kegagalan.
Betapa Rangga, mewakili generasi kita, generasi AADC, meninggalkan masa muda kekiri-kirian, terhempas menjadi sekadar kelas menengah ngéhé budak konsumtivisme... ??? MARI MELAWAN LUPA