Sambil merenungkan. Betapa berat beban yang harus dipikul seorang pemegang tampuk pimpinan orang-orang tertindas. Kapan harus mengerahkan tenaga dan senjata, kapan pula mengertak dengan kata-kata? Wajah dan tubuh pun serta-merta menjadi milik negara. Kehidupan pribadi dan pernikahan, menjadi sorotan dunia. Nafkah keluarga, atau dana masyarakat kah, yang ada di simpanan banknya?
Namun beliau, seperti biasa, tersenyum ceria melambaikan tangan dengan penampilan khasnya. Demikian juga semua orang di atas podium. Sementara aku, kami masing-masing, hanya bisa memainkan tiga empat nada. Untuk sekitar sepuluh menit kesenangan sesaat mereka, dan sekitar sepersepuluh detik diliput CNN dan berbagai saluran televisi. Dan jalan mulus menuju istana. Soeharto mengundang kami kembali menghiburnya di peringatan tahun emas kemerdekaan (Ahhh, kenangan baju merah putih dan selembar lima-puluh-ribu-rupiah-ku yang pertama itu...)
Kemarin giliran Ismail Marzuki dan Raja Ali Haji. Bahkan sampai ke Kyoto pun, mewakili Indonesia untuk dunia, akan berarti sumbangan tenaga membantu Konsulat Jenderal RI mengamen di panggung pertunjukan ataupun tengah jalan.
Apakah pahala ini diterima? Adakah para politisi itu menikmati dengan tulus? Adakah hiburan ini mencerahkan pikiran mereka dan memuluskan berbagai negosiasi? Yahaha, soko made ha muri kamo.
Ini adalah perihal pilihan hidup.
Kau acungkan tangkai zaitun itu,
kami goyangkan tabung bambu ini.
2 komentar:
Kalau bisa menghibur dan membuat mereka tersenyum, ya Insya Allah dapet pahala dong
jadi keingetan juga.. nostalgia.
kemana ya jejak jejak eksistensi kita di acara itu? harus hunting nih.. lumayan buat bangga2 in diri ke anak cucu hehe...
zam.
Posting Komentar