Jumat, 30 Juni 2006

Biar Lambat Asal Selamat

Sebagaimana kata isogashii, dalam huruf kanji digambarkan dengan hati dan lupa: "sibuk" = "melupakan hati".

Ketika mulai merasakan kelelahan, dan berhenti sesaat mempertanyakan untuk siapa kita bekerja? Untuk diri sendiri, atau uang? Walaupun memiliki uang untuk membeli kebahagiaan, disadari bahwa keluangan waktu untuk berbahagia tak dapat dibeli dengan uang...
Konsep Slow Life memperoleh semakin banyak perhatian di kalangan masyarakat negara maju yang kapok melalui hari-hari dengan kecepatan tinggi yang memusingkan dan semakin meningkat, dunia yang meletakkan perolehan keuntungan di atas kelestarian alam, kesejahteraan material di atas kesehatan lingkungan, kerja daripada keluarga, dan kesuksesan finansial di atas ketenteraman jiwa.

KIPA (Kansai International Photographers Association) telah memilih "Slow" sebagai tema pameran Kyoto mereka berikutnya untuk menyediakan gambar-gambar yang menantang pemikiran mengenai pace keseharian. Pameran ini diselenggarakan di Prinz Gallery Kyoto (uhm, beberapa langkah dari vila bambumuda) dari 10 Juni sampai 9 Juli 2006.

Di akhir abad 20, Jepang menjunjung tinggi dan menggapai gaya hidup "cepat, murah, mudah, sangkil" yang membawa mereka pada kesejahteraan ekonomi. Namun, itu juga menimbulkan masalah seperti ketidakmanusiawian, penyakit masyarakat, dan pencemaran lingkungan. Beberapa dari mereka pun berusaha maju dengan semboyan "Hidup Lambat" untuk meraih gaya hidup "lambat, tenang dan nyaman", dan berubah dari masyarakat produksi-dan-konsumsi-massa ke masyarakat yang tidak hectic, dan mengagumi apa yang kita miliki dan hati.

Manusia hidup sekitar 700800 jam (dengan memperkirakan usia rata-rata 80 tahun), yang kita habiskan 70000 jam untuk bekerja (memperkirakan kita bekerja selama 40 tahun). Sisa 630000 jam dihabiskan untuk aktivitas lain, seperti makan, belajar, dan bersantai, termasuk 230000 jam tidur. Sampai sekarang, orang Jepang biasa memfokuskan hidup mereka pada 70000 jam kerja ini, mencurahkan hidup mereka pada perusahaan. Namun, dengan asas "Slow Life", kita akan memberi perhatian lebih pada 630000 jam di luar kerja untuk memperoleh kebahagiaan sejati dan kedamaian pikiran.

Praktek "Slow Life" juga dijadikan kebanggaan oleh beberapa pemda/pemkot setempat, sebagai program kerja mereka, mempromosikan daerah masing-masing sebagai tempat yang mengusung gaya hidup nyaman dan pikiran yang tenang, menggapai kepuasan dan mutu kehidupan.

Terkandung delapan gatra garis besar perencanaan kota dan gaya hidup abad 21.

SLOW PACE: menghargai budaya berjalan kaki dan bersepeda, agar bisa bugar, menekan kecelakaan lalu lintas dan menghemat bahan bakar.
SLOW WEAR: menghargai dan mengagumi busana adat yang indah, termasuk kain tenun dan celup, kimono dan yukata.
SLOW FOOD: menikmati budaya boga, makanan khas Jepang dan upacara minum teh, dan menyelamatkan bahan makanan lokal.
SLOW HOUSE: menghargai rumah yang dibangun dengan kayu, bambu, dan kertas, bertahan dua ratusan tahun, dan berhati-hati membuat benda tahan banting dan sebaik mungkin demi melestarikan lingkungan.
SLOW INDUSTRY: Merawat tumbuhan melalui pertanian dan kehutanan, melakukan pertanian yang dapat diperbaharui dengan tenaga manusia, dan menyebarkan pertanian urban dan wisata hijau.
SLOW EDUCATION: Memberi perhatian yang lebih rendah untuk pencapaian akademis, namun membentuk masyarakat yang bisa menikmati seni, kegemaran, dan olah raga sepanjang hidup, tempat semua lapisan usia dapat berkomunikasi dengan baik satu sama lain.
SLOW AGING: Menuju penuaan dengan anggun dan percaya diri.
SLOW LIFE: Berdasarkan filosofi kehidupan yang dinyatakan di atas, hidup dengan alam dan musim, hemat sumber daya dan tenaga.


-(alasan yang bagus untuk tukang telat)-

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Alasan bagus buat tukang bikin orang lain telat