Hubungan diplomatik Indonesia-Jepang kembali dibuka sejak 20 Januari 1958, ditandai dengan pengiriman puluhan mahasiswa Indonesia dengan "beasiswa pampasan perang", yang dalam perjalanannya berganti nama menjadi beasiswa Monbu(kagaku)sho yang telah saya nikmati selama tujuh tahun di Jepang.
Kesan pertama: Logonya norak. Politis, simbolis, namun mengabaikan konsep desain dan estetika. Tidak ada unsur sentuhan seni-budaya khas masing-masing negara di dalamnya. Jenis lambang yang pantas diadukan dan diajukan kepada KDRI. Coba saja bandingkan dengan, "Deutschland in Japan" dulu, misalnya.
Berdasarkan pengalaman lambang Jerman-Jepang yang kompak dan indah tersebut, saya membayangkan seharusnya lambang ini menggunakan bentuk dasar yin-yang putih-merah, sehingga Sang Saka Merah-Putih terpadu dengan Hinomaru, berjabat erat dan saling mendukung. Sementara angka tahun dibuat seperti tarikan kanji, apalagi kebetulan angka 5 kanji mirip dengan 5 romaji.
Yin-yang dalam kebudayaan Jepang muncul dalam dongeng proses penciptaan Jepang yang dimulai dari pembentukan Pulau Awaji dan Danau Biwa oleh Izanagi dan Izanami.
Kuno kah? Maksa gak, sih?
Pada kali ini saya berkesempatan mampir di acara pertemuan antarparlemen kedua negara. Dan tahulah apa yang terlintas di pikiran ketika mendengar istilah "parlemen Jepang" dan "tahun persahabatan" masa-masa ini... Yap, Manjoume Inshuu dari Yuumintou (Partai Persahabatan) dan gedung Diet yang dibom dalam 20th Century Boys...
Sementara dewan perwakilan rakyat RI menampilkan beberapa tokoh utama, salah satunya adalah Prof. DR yang berwajah mirip Sawung Kampret ketika sudah setengah baya dan agak membuncit.
Wakil rakyat satu ini mengajukan lima agenda ekonomi Indonesia-Jepang yang patut dibahas:
- Menggiatkan seluruh hubungan antara pemerintah-swasta-rakyat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kedua negara;
- Investasi luar negeri;
- Pasokan energi yang saling memperhatikan kebutuhan masing-masing;
- Perdagangan ekspor-impor;
- Kerja sama penanggulangan kemiskinan dan pengangguran.
Seorang lagi wakil rakyat kita menyarankan agar orang Jepang lebih proaktif menggunakan bahasa Inggris agar tercapai saling pengertian dengan orang Indonesia... Walah kok begitu. Bukannya membujuk mereka berbahasa Indonesia sekalian. Apa tidak tahu dia, masing-masing bahasa punya 'rasa' berbeda, dan juga akan membentuk pola pikir tersendiri dengan kelebihan (dan kekurangan) masing-masing. Kalau hubungan kita harus terus bergantung pada bahasa londo(n), kita tidak akan mampu menemukan kebijakan-kebijakan bilateral yang lebih serasi dengan kearifan lokal dan kebutuhan kita berinteraksi antara sesama Asia Timur Raya.
Menurut pihak Jepang, kebijakan peningkatan saling pengertian antara kedua negara telah dikembangkan dengan dibukanya kesempatan bagi 300 ribu pelajar asing untuk belajar di Jepang, didukung dengan standardisasi sekolah-sekolah bahasa Jepang di Indonesia. Kerja sama pemenuhan kebutuhan Jepang akan pengurus panti jompo dan pengasuh bayi juga telah dirintis, dan TKW Indonesia mulai diberangkatkan dalam jumlah yang signifikan... Dan sebuah pertemuan balasan yang mengundang DPR-RI ke parlemen Jepang pun direncanakan dalam jangka waktu dekat (jalan-jalan lagi dong, Pak, Bu...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar