Yang pertama kali mencetuskan semangat saya belajar Nihongo,
setelah lama bersentuhan dengan serpihan budayanya di sana-sini,
bukanlah sanggul Oshin yang sejak kecil saya tiru tiap hari Kartini.
Bukan katana Musashi yang tegangannya saya ukur dengan teliti.
Bukan Kokoro no Tomo yang begitulah bunyinya,
bukan pula hitungan senam pagi.
Yang pertama kali mencetuskan semangat saya belajar Nihongo,
walaupun sekadar sepintas lalu iseng-iseng berhadiah,
tanpa ada bayangan akhirnya benar-benar akan mampir ke sana
dan berkutat dengan huruf-huruf keriting yang meliuk-liuk meriah,
hanyalah sederet katakana sederhana. ド・ラ・ゴ・ン・ボ・ー・ル・
Oh, bahkan itu pun bukan Bahasa Jepang!
Apalah yang bisa diharapkan, dari sebuah cerita iseng
dengan tokoh-tokoh yang diberi nama aneka jenis nasi goreng,
celana dalam, alat musik ditambah sayur-mayur?
Saya mengerti betul, ini manga picisan.
Parodi Star Wars dan komik superhero, dikemas legenda Cina.
Hah, bahkan itu pun bukan cerita Jepang!
Tapi apa boleh buat, justru nama-nama gak penting yang aneh,
unik, dan tanpa penjelasan terjemahan lebih lanjut itulah
yang membuat saya penasaran, mengeja huruf mengulik kamus.
Semacam pelampiasan pemberontakan masa remaja.
の
青
春
を
返
せ
ぇ
ぇ
!!!
Ini juga adalah dunia tempat segala permasalahan fana
baik persaingan, permusuhan ataupun kisah cinta,
urusan keluarga, politik kekuasaan, sampai agama,
cukup diselesaikan dalam satu lapangan olah raga.
Dengannya kita mempermainkan istilah "Tuhan telah Mati."
dan diam-diam membentuk semacam pola pikir yang berani
melabrak batasan-batasan langit, dengan kekuatan sendiri,
terlepas dari keajaiban yang disuguhkan mustika naga.
Demikianlah, film komik (dan manga) sedang jaya di dunia.
Baik yang mantap tokoh ceritanya, maupun yang keren pemerannya.
Dragonball perlu dapat kesempatan.
Saya menyerah, bahwa sudah tidak mungkin manga ini ditampilkan
dengan setia mengikuti panel demi panel sentuhan artistik aslinya
sebagaimana diusahakan oleh 20th Boys, Death Note, atau Watchmen.
Semua itu manga/komik yang digambar dengan proporsi realistis,
sementara Dragonball jelas terdistorsi.
Saya siap merelakan seandainya film ini disusun seperti Wanted,
yang walaupun mengubah habis alur demi menyesuaikan nilai moral,
dan mengabaikan wajah "Eminem" dan "Halle Berry" berganti menjadi
(eurgh) wajah James McAvoy dan Anjijo, bisa tampil prima
menyentuh hati dengan tetap menangkap intisari komiknya.
(Memang saya agak kehilangan tokoh brilian Kepala Tahi yang bisa
"mengeras sebebal s@mb@lit atau melunak seencer m@ncr@t",
tapi toh dengan ketiadaannya, kita tidak perlu mengorbankan
selera makan demi menontonnya.)
Dengan demikian, saya tidak mempertanyakan ke mana Awan Kinto,
galah penjemur, kacang ajaib, Menara Karin atau Tenka Ichi Budokai,
walaupun garuk-garuk kepala mempertanyakan sepotong ekor.
Saya terima jurus bayangan bangau menjadi milik kakeknya Goku,
bukan Tsurusennin, Ten Shin Han, Chaozu atau Tao Bai-Bai,
walaupun sedikit merasa kehilangan Klilyn, Woolong dan Puaru.
Saya menghargai pilihan babak yang melibatkan Piccolo Daimao,
karena dari sanalah inti cerita Dragonball yang serius dimulai,
walaupun tak habis pikir mengapa dia jadi yang mengutus Oozaru.
Saya abaikan bocoran-bocoran naskah yang membuat kecut,
sembari masih berharap sia-sia untuk bisa dibuat terkejut,
selain penampilan Bulma yang rambut biru mudanya hanya sejumput
dan tampak cantik cerdas dan sigap tanpa masalah lemak perut.
Saya kuatkan hati untuk menontonnya, mengantarkannya,
sambil bersaksi, How Low can You Go???
http://dragonball.saiyanisland.com/
Chichi tampak lebih ahli bela diri, dan malah mengajar Goku.
Bolehlah. Suatu usaha mengangkat harga diri cewek.
Tapi oh tapi oh tapi...
Dragonball itu, biarpun penuh kekerasan dan tindak pelecehan,
paling parah juga hanya dihias cipika-cipiki anak kecil!
Sikap sang pengarang yang menjaga tabu Asia, dilanggar di sini!
Sungguh teganya-teganya-teganya
sang penulis skenario,
menimpa kisah cinta Goku-Chichi yang lugu
ke situasi teenflick a la Gohan-Fidel versi holiwut.
Goku yang seharusnya polos jujur blak-blakan,
menjadi tokoh kaku, garing, gak gaul,
dan digencet di sekolah?
Ini penghujatan! Bid'ah!!!
***
Sangat bersyukur ketika menemukan Piccolo Daimao tetap hijau,
karena diperjuangkan habis-habisan oleh pemerannya yang sok tahu.
Tapi oh tapi oh tapi...
Latar belakang cerita yang kacau-balau!!!
Dan pakaian norak apaan itu, kevlar plus tudung rapper?
Mana arsitektur khas makhluk Namec?
Sungguh teganya-teganya-teganya
sang penulis skenario,
memampatkan watak penjahat Pilafu dan Freeza
sekaligus ke tokoh kharismatik paduan Spock-Yoda!
Pantasan, film ini ternyata diwujudkan
berdasarkan stok skenario gagal,
demi mengisi kekosongan pekerja film
akibat writer's strike.
***
Apa yang bisa dihargai dalam film ini?
Full body contactnya tidak hebat amat. Kalah jauh dari Tony Jaa.
Baiklah, bahwa si Goku dipanggil Geeko,
itulah satu-satunya terobosan yang berhasil dalam cerita ala Amerika.
Bintang satu, hanya untuk itu saja.
Holiwut! 20th century fox! KEMBALIKAN MASA REMAJAKUUU!!!
Terkait:
http://bambumuda.blogspot.jp/2008/06/mangaz-movies.html