Rabu, 16 September 2009

Mengemas Bingkai-bingkai Kebinekaan Bangsa

Bingkai I: Mantra berbunyi Bhinneka Tunggal Ika



Kebetulan suatu hari sekitar dua bulan yang lalu, seorang rekan fb memasang status, "Anak-anak kalau ditanya bapaknya, apa semboyan bangsa? Pasti bilang Bhinneka Tunggal Ika. Rasanya di konstitusi kok enggak ada yakh tercantum Bhinneka Tungga Ika ... ada pendapat?"

Beberapa orang membalas bahwa sebagai doktrin yang ditanamkan untuk saling menghormati SARA, semboyan akan lebih masuk bila diajarkan dari mulut ke mulut, dan yang penting bukanlah tercantum secara tertulis atau tidak, melainkan apakah semboyan tersebut menjiwai pembentukan konstitusi atau tidak. Toh katanya, yang penting adalah improvisasi. (Wah setuju!)

Ada juga yang justru mempertanyakan, bukankah semboyan bhinneka tunggal ika itu cukup diwakili oleh pernyataan "bangsa yang satu bangsa Indonesia", tanpa perlu merinci (keberagaman) suku-suku tertentu? Ada lagi yang menuding betapa mantra itu tidak sakti lagi, terbukti dengan kerusuhan akibat benturan-benturan SARA dan kesenjangan ekonomi...

Saya pun tergelitik bertanya-tanya. Haruskah semboyan bangsa masuk resmi ke dalam konstitusi, tidak sebagai norma umum belaka? Kemudian teringat saya pernah mengunduhkan UUD 1945 untuk bahan PR anak penjaga kantor perwakilan universitas saya, maka dengan segenap ketulusan hati saya bongkar kembalilah berkas tersebut.

Ternyata semboyan negara saya temukan telah tercantum di dalam UUD 1945 versi baru, di amandemen perubahan kedua, pasal 36A.
(Untuk membandingkan perubahan tiap kalimatnya, silakan telaah UUD 1945 Amandemen. Untuk membaca hasil amandemen secara utuh, telaah UUD 1945 dalam satu naskah.)
BAB XV
BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN

Pasal 36A
Lambang negara ialah Garuda Pancasila
dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.


Sementara sebelumnya, semboyan tersebut diresmikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951,
bersamaan dengan pengukuhan lambang negara Garuda Pancasila.
Pasal 5
Di bawah lambang tertulis dengan huruf latin
sebuah semboyan dalam bahasa Jawa-Kuno, yang berbunyi:
BHINNEKA TUNGGAL IKA.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 66 TAHUN 1951
Pasal 5
Perkataan Bhinneka itu ialah gabungan dua perkataan: bhinna dan ika. Kalimat seluruhnya itu dapat disalin: berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Pepatah ini dalam sekali artinya, karena menggambarkan persatuan atau kesatuan Nusa dan Bangsa Indonesia, walaupun ke luar memperlihatkan perbedaan atau perlainan. Kalimat itu telah tua dan pernah dipakai oleh pujangga ternama Empu Tantular dalam arti:
di antara pusparagam adalah kesatuan.


Nah bahwa apakah semboyan dalam konstitusi "induk" ini telah dijabarkan dengan baik ke dalam pasal-pasal perundang-undangan yang lebih praktis, masih perlu kita perhatikan lebih teliti.

Demikianlah betapa angkatan saya ke atas, termasuk saya juga pastinya, tidak melek konstitusiiiii.
(Perlu dimaklumi bahwa saya kebetulan meninggalkan Indonesia tepat sebelum Soeharto turun, dan kembali setelah SBY naik, sehingga tidak ambil pusing binatang apa itu Amandemen UUD ataupun Mahkamah Konstitusi.)
Namun seberapa jauh anak-anak sekolah sekarang diberikan pemahaman yang lebih baik daripada kami, mengenai latar belakang dan posisi legal semboyan ini?

Bingkai II: Bercermin kepada sang Adidaya


Penasaran saya berkelanjutan, bagaimana dengan E Pluribus Unum?

Entahlah negara kita cuma ikut-ikutan ataukah apa boleh buat memang satu pemikiran, semboyan ini sama-sama dipegang oleh burung (dalam hal ini Elang Botak) tapi jelas kedudukan pita yang memuat semboyan ini lebih terhormat, karena dicotok oleh patuknya, bukan dicengkeram oleh cakar seperti yang dilakukan sang Garuda kita hia ha ha...

Tahapan-tahapan diskusi sampai terjadinya segel AS bisa diakses di www.greatseal.com, sayangnya tahapan sampai diputuskannya Sang Garuda menjadi lambang Indonesia belum saya dapatkan, kecuali secuil info bahwa Sultan Hamid II dari Pontianak yang merancangnya.

Diambil dari puisi anonim Moretum abad sekian sebelum masehi, color est e pluribus unus menggambarkan penyatuan warna-warni, dipatri sebagai segel negara sejak 1782 bersama dengan Annuit cœptis (Usaha yang Diberkati-Nya) dan Novus ordo seclorum (Zaman Orde Baru). Tidak pernah tercantum dalam undang-undang, E pluribus unum dianggap semboyan de facto oleh Amerika Serikat sampai 1956 ketika Kongres AS mengesahkan undang-undang mengambil "In God We Trust" sebagai semboyan resmi.

Hah, betapa negara adidaya pun ternyata oh ternyata lebih memilih sentimen keagamaan daripada sebuah semboyan pluralisme?

Bukankah masih lebih rendah hati semboyan kita, yang wujud aslinya dalam Kakawin Sutasoma (sebuah dongeng aneh abad 14 tentang pangeran peniru sang Buddha melawan raksasa pemakan manusia) adalah secara khusus merujuk pada toleransi antar umat Buddha dan Hindu Syiwa?
Pupuh 139, bait 5.
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu.
Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.


Bingkai III: Pluralisme dalam Kebinekaan MAKNA


Kini setelah kita punya Bhinneka Tunggal Ika, apa lagi perlunya sebuah istilah yang entah kenapa sulit dilafalkan bernama pluralisme? Jargon politik?

KBBI daring
Cari kata dasar dalam KBBI sama dengan bhineka
Tidak menemukan kata yang sesuai dengan kriteria pencarian!!!

bi·ne·ka /binéka/ a beragam; beranekaragam;
ke·bi·ne·ka·an n keberagaman: tampak sekali -nya dan inilah ciri kelebihan negara kita

plu·ra·lis·me n keadaan masyarakat yg majemuk (bersangkutan dng sistem sosial dan politiknya);
-- kebudayaan berbagai kebudayaan yg berbeda-beda dl suatu masyarakat


Wikipedia Indonesia ternyata mempunyai laman khusus mengenai Polemik pluralisme di Indonesia. Di sana tercantum definisi pluralisme dalam ilmu sosial yang katanya diambil dari wikipedia Inggris yaitu
Pluralisme ialah sebuah kerangka kerja saling mempengaruhi, di mana masing-masing kelompok menunjukkan rasa hormat dan toleransi yang cukup satu sama lain, bahwa mereka bermanfaat hidup berdampingan dan berhubungan tanpa perselisihan atau pembauran.


Namun ketika kroscek ke laman Pluralism, kalimat tersebut tidak serta-merta saya temukan, yang ada malah terkait penyalahgunaan sistem Benefice:
Berhubung benefice (penghasilan) datang kepada para imam karena patronasi feodal dan pertimbangan politik, imam kadang-kadang memegang lebih dari satu penghasilan, yang disebut pluralisme. Pluralisme ini sering mengakibatkan ketidakhadiran, di mana imam tidak akan mengurus daerah tanggung jawabnya.
Pluralisme sering dianggap sebagai investasi bagus untuk keluarga yang mampu membeli sebuah posisi (simoni) untuk anak yang lebih muda atau anak didik lainnya. Posisi akan memungkinkan keluarga untuk menjilat Gereja dan menjamin masa depan yang ditunjuk.
Kedudukan "gemuk" lain - bahkan kepala biara - kadang-kadang diserahkan kepada para imam yang disewa dengan sebagian kecil penghasilan, sementara keluarga memegang penghasilan "nominal". Praktik ini mendorong penggunaan imam pengganti yang berkualitas meragukan; kurangnya pelatihan yang tepat (sampai ditemukannya seminari) menyebabkan imam buta huruf, beberapa bahkan khotbah bidah.

Wah, dengan begini bukankah istilah "pluralisme" telah tercemar???

Sementara Majelis Ulama Indonesia pada 2005 telah mengeluarkan Fatwa tentang Pluralisme bahwa haram diikuti ketika definisinya
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.


Padahal kalau merujuk pada Harvard Pluralism Project (teori tahun 1997 yang direvisi tahun 2006 dari Diana L. Eck):

  1. Pluralisme bukan sekadar kenyataan akan kebinekaan, melainkan keterlibatan yang giat dengan kebinekaan. Kebinekaan bisa berarti pengucilan agama dengan sedikit lalu lintas antar- atau di antara mereka. Di masa kini, kebinekaan agama adalah kenyataan, tetapi pluralisme adalah sebuah prestasi.
  2. Pluralisme bukan sekadar tenggang rasa, tetapi giat mencari pemahaman melintasi garis perbedaan. Tenggang rasa diperlukan sebagai kebajikan umum, tetapi tidak mengharuskan untuk mengenal dan menghilangkan ketidakpedulian satu sama lain, sehingga menyisakan stereotip, kebenaran yang setengah-setengah, dan rasa takut yang mendasari pola lama perpecahan dan kekerasan.
  3. Pluralisme bukan relativisme, tetapi perjumpaan tanggung jawab. Paradigma baru pluralisme tidak mengharuskan kita meninggalkan jati diri dan tanggung jawab kita di belakang. Ini berarti berpegang teguh pada perbedaan kita yang terdalam, bahkan agama, bukan dalam pengasingan, tetapi dalam berhubungan satu sama lain.
  4. Bahasa pluralisme adalah dialog dan perjumpaan, memberi dan menerima, kritik dan introspeksi. Berbicara dan mendengarkan dua arah, dan proses itu mengungkapkan baik pemahaman umum dan perbedaan nyata. Dialog tidak berarti semua orang di "meja" akan setuju satu sama lain. Pluralisme melibatkan tanggung jawab untuk berada di meja - dengan tanggung jawab masing-masing.

Menimbang keempat poin tersebut, saya pikir saya siap mengusungnya, karena saya rasa itu juga sejalan dengan pandangan Islam. Pernyataan angkuh "bagimu agamamu, bagiku agamaku," memang terlebih dahulu perlu disertai dengan pemahaman mendalam akan apa-apa yang dinyatakan. Juga dengan demikian tidak berarti masing-masing agama harus menghindari berdakwah sejauh dalam damai dan niat baik. Saling menjelaskan dan memperluas wawasan, tentu akan mengangkat manusia menuju derajat akal sehat dan meningkatkan kesejahteraan.


Bingkai IV: Agama, Igama, Ugama, Egama, Ogama


Dalam kaitan pluralisme, jelas yang paling sensitif diangkat adalah persoalan agama. Ketika agama seharusnya punya andil dalam menghapuskan diskriminasi ras, status sosial, dan kesenjangan ekonomi, justru diskriminasi agama itu sendiri yang jadi masalah. Seorang teman mengeluh, tidak diluluskan PNS karena tidak bisa mengisi pilihan kolom agama, karena dia telah memutuskan secara sadar dan tanggung jawab untuk menganut Deisme. Entahlah apa pula itu. Dan banyak pula yang protes mengapa KTP harus memuat kolom agama, itu dianggap diskriminasi.

Menilik konsep agama, banyak yang mengesampingkan bahwa ternyata agama itu pada dasarnya adalah hubungan manusia dengan negara, sementara hubungan manusia dengan Tuhan adalah igama, sedangkan ugama adalah mencakup hubungan sesama manusia. (Entahlah apa itu egama dan ogama kalaupun ada... weks)

Jadi sebagai warganegara yang baik, mungkin memang kita perlu mengikat diri pada salah satu agama yang diakui negara, untuk pertimbangan hukum yang akan diterapkan. Termasuk masalah perkawinan, hak waris, dsb. Hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia selain itu, tentu ada dalam matra yang berbeda.

Yang jadi masalah, adalah kaum adat yang pertimbangan hukumnya diabaikan. Mungkin karena hukum mereka dinilai belum sinkron dengan hukum modern, mungkin juga karena kebetulan hukum mereka tidak mengenal konsep kenegaraan. Dalam hal demikian, artinya bukan agama atau adat yang salah, tapi konsep kenegaraan sok modern itu sendiri tentunya ha ha ha ha ha.


Bingkai V: cin(T)a dalam Menara Gading


Satu masalah yang sering diungkit juga, mengapa ada banyak hambatan untuk menikah beda agama. Seperti yang baru-baru ini diangkat oleh film indies yang cukup kontroversial berjudul cin(T)a.
(Kebetulan, produsernya adalah teman berkemah saya, dan penulis skenarionya juga pernah menghabiskan berpuluh malam beratap langit dengan saya. Latar belakang yang diambil pun cukup saya kenal, karena beberapa anggota keluarga saya kuliah di AR ITB.)

Kesan pertama menonton ini, pemeran cowonya cakep! Pengambilan gambarnya cukup indah. Pemeran cewenya, kok rasanya perwatakannya tidak pas dengan konsep yang ditampilkan, nggak mahasiswa teknik banget, tapi mungkin memang sengaja dibentuk demikian?
Ceritanya adalah perjumpaan dua manusia dari latar belakang berbeda: seorang anak cerdas miskin ceria keturunan Cina dari Tarutung beragama Kristen, dengan seorang artis terkenal keturunan ningrat Jawa Islam pemurung kesepian yang nilai-nilainya jeblok.
Pergaulan mereka kontan dipenuhi bahasan "stupid conversation" (istilah saya dan teman-teman zaman mahasiswa dulu) tentang apakah Tuhan itu arsitek ataukah sutradara. Kebetulan masa itu tahun 2001, saatnya waktu lebaran dan natal berdekatan, namun juga sempat terjadi ketegangan antarumat beragama di Indonesia.
Dialog dan konflik antarkeduanya entah kenapa diselingi dengan testimoni dari berbagai pasangan beda agama, yang berhasil nikah maupun yang gagal.

Rasanya cari jalan mudah memilih tema mahasiswa arsitektur, karena memang mereka sekali waktu bermain sebagai Tuhan. Seandainya bergeser sedikit saja ke latar belakang teknik sipil, pasti cara pandang terhadap dunia dan Tuhan akan berbeda. Apalagi teknik mesin. Dan seterusnya. Apalagi, kalau mengambil sudut pandang rakyat biasa yang bukan anak sekolahan, di mana agama dan sara lainnya adalah hal yang mengurat mengakar dalam kehidupan sehari-hari tanpa perlu disadari dan direnungkan secara mendalam. Tentu akan lebih rumit dan menantang daripada membedah pola pikir mahasiswa-mahasiswi sok tahu yang terkurung di menara gading ini.

Tapi dalam hemat saya, pluralisme sesungguhnya bukan isu di sini. Kalau mengacu pada poin "berpegang teguh pada perbedaan terdalam", artinya kita tetap menganut agama dan kepercayaan masing-masing. Sementara dalam agama, aturan pernikahan jelas telah dijabarkan satu persatu. Ketika ada rekan yang mengklaim, "seandainya tokoh cowo yang muslim dan tokoh cewe ahli kitab, tidak akan kontroversial karena dalam Islam itu dihalalkan!" tapi bagaimana dengan aturan pernikahan ahli kitab? Pastinya tidak tercantum aturan membolehkan menikah dengan cowo muslim! Apalagi, bukankah pernikahan adalah suatu proses pembauran?

Beberapa dialog yang terselip dalam film sendiri menyatakan betapa agama justru punya andil dalam menghapuskan diskriminasi ras dan status sosial. Seperti tokoh cewenya siap menikah dengan seorang cina muslim yang dijodohkan kepadanya.

Yang pantas dipermasalahkan di sini bukanlah hambatan dalam perbedaan agama, melainkan bagaimana mereka menyikapi jati diri masing-masing. Annisa yang tampak rajin shalat, tapi santai saja ngelaba adik kelas yang polos? Cina yang alim dan bersemangat dakwah, tapi di saat-saat terakhir bilang tak peduli lagi kalaupun harus pindah agama?

Rasanya memang tidak bisa dikaitkan secara langsung hambatan bercinta dengan aksi kebencian yang melanda, karena masing-masing sesungguhnya ada pada ranah yang berbeda.

Bingkai VI: Isu Pluralisme dalam Perspektif Media


Hampir saja terlupakan, ini adalah penelitian rekan-rekan di sebelah saya. Mereka mengangkat dua isu pluralisme yang marak pada 2008, yaitu RUU Pornografi dan kasus Ahmadiyah. Mereka memperbandingkan liputan di berbagai media (tepatnya lima media: Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Republika, dan Gatra), keberpihakan dan kecenderungan masing-masing media dalam menyikapi dua isu tersebut.

Dari hasil pengamatan mereka, disimpulkan bahwa selain Gatra belum ada yang benar-benar berimbang dalam menyampaikan berita-berita tersebut. Ada media yang memberi bobot sepihak dalam jumlah narasumber, ada media yang membuat penegasan kalimat-kalimat tertentu secara berulang sehingga mengarahkan pola pikir pembaca ke satu sudut pandang. Berbagai kepentingan terlibat di dalamnya, tentu.

Sayangnya para peneliti abai terhadap kenyataan bahwa media adalah proyeksi dari perbedaan masyarakat, dan ada saatnya media juga perlu mengambil sikap pemihakan. Saatnya media membentuk diskursus, dan secara tegas menyatakan pendiriannya. Media mana yang pro, media mana yang kontra, tinggal masyarakat yang memilih ingin mendengar yang mana, bukankah begitu?

Bingkai VII: Indonesia Kreatif


Minggu-minggu lalu saya sempat juga menghadiri penjelasan tentang proyek Indonesia Kreatif Departemen Perdagangan. Terkait kasus bajak-membajak, sikat-sikut dengan Malaysia, dan kenyataan bahwa belum ada gerakan terpadu yang menyeluruh untuk mengusung Industri Kreatif di Indonesia. Sang panelis pun menjelaskan konsep yin-yang yang akan dipakai dalam mensinergikan situs-situs online pendukung gerakan tersebut. Seorang penonton pun nyeletuk, kenapa menggunakan konsep yin-yang? Kenapa tidak menggunakan padanannya yang dimiliki oleh Bali?
Tukgling.
Demikianlah adanya, bagaimana mau berkoar-koar menerapkan pluralisme, ketika nilai kebinekaan masih belum kita hargai sebagaimana mestinya? Tentulah kreativitas Indonesia yang dikembangkan perlu berlandaskan kebinekaan kita, sebagai jati diri, harta karun yang kita miliki bersama.

Bingkai VIII: Masjid Mungil di Padang Ilalang


Dalam pencarian definisi pluralisme, saya mendarat di sebuah situs Global Center for Pluralism yang didirikan atas kerja sama dengan Aga Khan, Imam Ismaili keturunan ke-49. Lembaga ini didirikan tahun 2006. Situsnya sendiri tidak menunjukkan tanda-tanda kegiatan selanjutnya, namun yang jelas, Kanada tampaknya memang merupakan tempat yang lebih menyokong pluralisme dibandingkan Amerika Serikat.
Sebuah komedi situasi yang mengambil tema kehidupan sekelompok muslim di kota terpencil Kanada dengan berbagai dinamikanya dengan masyarakat sekitar, Little Mosque on the Prairie, adalah kegemaran saya yang rasanya cukup menggambarkan kehidupan ideal pluralisme. Bisa ditonton di sini.

Menanamkan semangat pluralisme melalui dunia hiburan sudah bukan barang baru.
Star Trek dan Heroes, One Piece, Harry Potter adalah contoh teladan dalam menampilkan isu-isu sejenis melalui dunia perumpamaan, sehingga tidak perlu menyinggung satu sama lain secara langsung.
Menyesuaikan dengan kenyataan dunia, sejak pasca 9/11 X-Men juga mulai menampilkan seorang tokoh remaja muslim bercadar pula, Dust. Dari pihak DC Comics Amerika, kini juga sedang dinantikan kolaborasi antara tokoh komik islami the 99 (komik dengan tokoh-tokoh superhero remaja islam dari berbagai negara) dengan Justice League of America.
Di Indonesia model cerita seperti itu belum cukup digarap. Dulu kayaknya ada novel-komik Olin yang menampilkan persahabatan tokoh-tokoh beda agama, tapi sepintas lalu tampaknya masih digambarkan dalam sebatas toleransi, dan belum sampai kepada tingkat "keterlibatan yang giat". Dan dengan keterlibatan yang giat, mau tidak mau ada gesekan juga di sana-sini sebagai salah satu bentuk dialog, dengan harapan tidak perlu sampai menjadi bom waktu yang tiba-tiba meletupkan perselisihan besar.
Tantangan menarik bagi kalangan Indonesia Kreatif.

Bingkai IX: Pluralisme itu ibarat Mengeblog


Dari keempat poin yang telah dijabarkan di Bingkai III, untuk mudahnya mungkin Pluralisme itu bisa diibaratkan saja dengan kita mengeblog.
Kita berhak punya pendirian seperti dalam kiriman tulisan masing-masing, dan tak seorang pun yang dapat mengubahnya selain kita sendiri. Tapi kita tetap memberikan ruang bagi orang lain untuk berdialog lewat ajang komentar. Apakah kita setuju atau tidak, terpengaruh atau tidak oleh masukan-masukan tersebut, semua terserah kita. Seberapa pun tekanan atau kepungan yang dilancarkan, tidak akan mendikte atau menyakiti kita secara langsung.
Hanya admin, yang kemudian akan berperan sebagai takdir Tuhan, atau setidaknya sebagai hukum legal formal yang berlaku, yang dapat menghapus atau menjatuhkan larangan terhadap blog kita -alias prinsip hidup kita itu.
Sebaliknya, kita juga giat memberi komentar pada blog orang lain; seberapa pun gencarnya kita membual di sana, mereka pasti mendengar namun belum tentu setuju ataupun terpengaruh, kalaupun akhirnya tergerak untuk menyunting, itu sepenuhnya ada pada kehendak masing-masing. Yang penting, proses komunikasi itu berjalan.
Bagaimana, apakah lebih mudah dicerna?

Bingkai X: Binekaisme!


Bagaimanapun juga untuk menyebarluaskan pluralisme dengan definisi yang sedemikian rupa seperti idealisme di atas, dipermudah seperti apa pun, tentu masih memerlukan perjuangan panjang, mengingat betapa beragam dan simpang siurnya penggunaan istilah pluralisme ini, dan sudut pandang orang yang berbeda-beda pula. Mendorong media untuk melek pluralisme juga suatu usaha yang tak kunjung henti. Kalangan blogger atau pengguna internet secara umum mungkin mudah terjangkau pola pikir ini, tapi bagaimana dengan mereka yang tidak punya akses? Perlu pendidikan yang layak mencapai kedewasaan untuk bisa menerapkan poin-poin pluralisme tersebut, ketika sesungguhnya pluralismelah yang diharapkan akan mendorong manusia meraih pendidikan yang layak mencapai kedewasaan. Lingkaran setaaaaaaaaaaaaaan.

Jangan-jangan, pengusungan istilah pluralisme inilah justru yang menimbulkan masalah baru, alih-alih menuntaskan masalah. Sementara masing-masing pribadi belum memahami jati diri dan agamanya, mereka terlanjur pusing dituntut untuk memahami konsep-konsep pluralisme ini.

Sedangkan, pluralisme itu sendiri harus menerima kenyataan bahwa dia disikapi secara plural; ada yang menganggap pembauran, ada yang menganggap bukan pembauran. Ada yang pro ada yang kontra. Rancu.

Hanya usul asal-asalan,
AGAR TIDAK KEPALANG TANGGUNG,
BAGAIMANA KALAU KITA BUAT ISTILAH BARU
SEKALIAN, BHINNEKAISME MISALNYA???
(setidaknya lebih meng-Indonesia ya gak sih)

Tidak ada komentar: