Saat saya berusia 6 tahun kalau tidak salah, adik saya masih balita, keluarga kami berhalalbihalal ke rumah seorang arsitek adiknya Tuo (nenek saya), yakni paman dari ayah saya, di Kebayoran Baru, Jakarta.
Sepertinya saat itu abang sepupu satu-satunya tinggal di Balikpapan, sedangkan sepupu dua kali kami kebanyakan lebih tua beberapa tahun, tiap kumpul keluarga mereka selalu melipir ke ruang kerja di depan, entah membahas hiburan musik atau gim yang saya belum paham. Yang seumur saya hanya ada dua-tiga orang, masih culun-culun menempel pada orang tua masing-masing.
Ayah saya entah menyelinap ke mana mengobrol dengan saudara siapa, saya duduk manis saja termangu bersama adik saya di sofa depan televisi yang dimatikan, di tengah lalu-lalang kerabat yang bersilaturahmi.
Seorang bapak entah oom-oom atau aki-aki yang sepertinya lebih tua daripada ayah saya tapi lebih muda daripada Tuo, cengar-cengir menyapa kami, menanyakan umur dan basa-basi lainnya, lalu mengulurkan dua gepok berisi berlembar-lembar sepuluh ribuan rupiah masing-masing untuk saya dan adik saya.
Saya dan adik saya bertatapan, saling mengangguk, lalu saya mengambil gepokan yang dipegang adik saya dan menyodorkan semuanya kembali ke hadapan bapak tersebut di dudukan sofa lalu menyatakan,
"Maaf, kami tidak dapat menerima uang dari ORANG ASING ..."
Sang bapak terkejut, wajahnya sekejap pucat pasi lalu berubah merah padam, tapi karena tidak tega menghadapi anak kicik beralih mengadu kepada nenek saya, "apa-apaan ini cucunya kurang ajar, duit angpau yang saya kasih malah dilempar pakai tangan kiri pula!" Ditambah serentetan tuduhan yang tidak berdasar.
Tuo pun memarahi ayah saya. Ayah saya kecewa tidak kebagian uang sebanyak itu padahal jumlahnya lumayan buat beli baju dan sepatu baru anak-anaknya.
Beliau sedikit membela bahwa orang kidal memang nyatanya ada di dunia walaupun langka. Namun, di belakang, beliau berusaha membujuk saya untuk belajar bergerak dengan tangan kanan demi sopan-santun menghindari kecanggungan, yang tentunya saya tolak mentah-mentah.
Juga beliau mewanti-wanti bahwa di acara kumpul keluarga seperti ini pastinya tidak ada orang asing, semua ada hubungan darah, kalau belum kenal ya wajib berkenalan. Lah siapa juga yang membiarkan anaknya terlunta-lunta tersesat di kerumunan.
Coba itu keluarga bikin silsilah lengkap disertai kliping foto-foto supaya orang bisa mempelajarinya terlebih dulu sebelum menghadiri acara macam ini.
Demikianlah pengalaman kami menjadi pegiat antigratifikasi di usia dini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar