Nenek: "Dik, kemari mau ikut lomba panjat tebing?"
Abang: "Nggak Bu, hanya menonton. Saya pendaki gunung."
Nenek: "Sudah ke mana saja?"
Abang: "Itu yang di spanduk foto saya, waktu ke Everest."
(Dengan bangga dia menunjuk umbul-umbul yang menghiasi setiap sudut jalan raya kota Bandung selama seminggu terakhir.)
Nenek: "Ke Everest lewat mana?"
Abang: "Lewat Nepal, terus ke Tibet."
Nenek: "Oh, sendirian? Pakai Sherpa-sherpa gitu ngga?"
Abang: "Bareng teman. Pakai Sherpa lah Bu, pastinya."
Nenek: "Pasti biayanya besar ya, berapa?"
Abang: "Iya bu, 400 juta per orang."
Nenek: "Wah itu masih ada pegangan uang pas pulang?"
Abang: "Nggak, pas-pasan saja habis pulang tidak ada uang lagi."
Nenek: "Besar banget ya."
Abang: "Iya, di gunungnya aja dua bulan."
Nenek: "Pengen dong saya ke sana juga, di bawah saja..."
Abang: "Silakan Bu, mumpung banyak promo cuma 4 juta PP."
Nenek: (Sirik dalam hati, huh kalau pakai Sherpa mah semua juga bisa nyampe everest kali, asal ada cukup duitnya... Memang kalau wajah goreng patut, orang butuh pembuktian di bidang lain, makanya susah payah bela-belain naik gunung. Mendingan itu fotonya pakai kacamata hitam, kelihatan rada keren...)
Catatan:
- Standar ganteng bagi sang nenek adalah cowok-cowok intelek rumahan yang puluhan tahun lebih tua, berwajah manis, berkulit cerah, lemah gemulai, dan menekuni cabang olahraga di seputar catur dan permainan kartu.
- Sang nenek sendiri jauh lebih senang berselancar di internet daripada lari-lari senam pagi, sementara seluruh cita-citanya bertualang kini telah terbelenggu oleh gembok halaman parkir yang dia jaga.
- Si abang ini sih memang bertampang kampung, ngga ada sentuhan indo a la seleb sinetron, tapi yaaah eksotik lah masih lumayan enak buat dipandang, padahal mah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar