Di Kota Bandung tiba-tiba bermunculan tugu-tugu dan gapura-gapura asing, diduga demi mengejar penyerapan sisa anggaran akhir tahun. Konon, desainnya berlanggam "kolonial" merayakan arsitektur bersejarah warisan zaman Hindia Belanda (yang ironisnya justru pada runtuh tersia-siakan) 🏛️🏰
Kehebohan terjadi akibat kebingungan akan makhluk yang menghuni kubah-kubahnya. Niat awal menampilkan "MAUNG" hewan suci urang Sunda, semacam harimau jejadian 🐯🐅
Namun, terbukti sejak di atas kertas yang tergambarkan hanya perpaduan beruang kutub dan serigala kecebur got, entah menjiplak dari kastil kampung di pelosok eropah bagian mana 🐻🐺
Pikiran Rakyat 27-12, 19:14: RK Ingin Patung Maung, Malah Mirip Anjing Laut
Kompas 28-12, 12:19: RK Kritik Tugu Maung Bandung yang Mirip Anjing Laut
Detik, 28-12, 17:10: Patung Maung Bandung Mirip Anjing Laut Ada di Tiga Lokasi
Mengecek salah satu TKP, kami menyimpulkan bahwa patung ini berbahan resin bolong, sehingga dapat dengan mudah diganti. Secara keseluruhan, memang terkesan murahan, barangkali bisa digolongkan sebagai KITSCH. Jam tugu pun hanya memakai batre biasa, kaca patrinya mungkin plastik 🕚🔋
Katanya para maung berfungsi untuk menandai empat penjuru mata angin. Wah, bukankah ada pakem Asia Timur bahwa harimau putih menandai arah Barat saja, sementara Selatan, Timur, dan Utara masing-masing ditandai oleh burung merah, naga biru, dan kura-kura hitam berkepala ular?
Andaipun tercapai bentuk yang dicita-citakan, mari pertanyakan lagi apa perlunya memajang makhluk kesayangan kita semua di sini? Bukankah kolonialisme harus dibasmi dari muka bumi karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan? Lalu bagaimana dengan perikemaungan? Tentu lebih baik anggaran dialihkan untuk meningkatkan mutu trotoar, atau merawat bangunan pusaka aslinya, atau melestarikan maung dengan menjaga hutan rimba 🌳🌲
Serahkan sajalah pertigaan atau perempatan jalan kepada para seniman kreatif kota, untuk dirancang dengan melibatkan masyarakat sekitar dalam kritik saran maupun penciptaannya, sebagai sarana edukasi mengasah selera mencari ciri khas jati diri nusantara 🎍🎋
Jumat, 29 Desember 2017
Sabtu, 02 Desember 2017
Pandai Besi dan Kamar Gema
Penafian: Harap maklum bahwa keluhan ini saya lontarkan sebagai seorang mantan pandai besi berijazah dari sekolah luar negeri ternama, yang di sisi lain sempat kebingungan ketika dihadiahi minyak wangi eropah oleh ibu bos di tempat kerja lama.
Tersebutlah kisah, kira-kira di akhir tahun lalu, hawa-hawa perpecahan yang merebak di dunia maya terendus sampai ke depan hidung saya.
Seorang kawan lama, kalau tak boleh menyebut sahabat, seminggu sebelumnya masih bertegur sapa dengan akrab di halaman maya. Kenalan semasa kuliah, kini ibu dari tiga anak lucu, wiraswasta andal, tulisannya pernah dikemas tampil di layar lebar. Tiba-tiba beliau mengumumkan niat bebersih daftar teman, untuk memilah dan memilih siapa saja yang sehaluan atau tidak dengan sikapnya terhadap agama.
Yang menggelitik saya adalah bahwa sebagai dasar hukum dari tindakan tersebut, beliau mengutip hadits yang diterjemahkan seperti ini.
Secara belum khatam kitab hadits, dan sesuai penafian di atas tadi, saya pun langsung mempertanyakan.
Saya kira pertanyaan seperti ini layak untuk dibahas dengan nalar kepala dingin, justru untuk memperkuat pemahaman terhadap alasan yang diberikan agar tidak terganggu gugat. Tetapi malah saya dianggap layak untuk disingkirkan dari daftar teman karena dituduh ingkar terhadap hadits, tidak sami'na wa atha'na.
Saya suka wangi pandan, melati, cendana, dan rempah-rempah: tapi untuk memakai minyak wangi sehari-hari, belum merasa perlu. Minyak wangi adalah hasil keluhuran peradaban, tapi sama sekali bukanlah kebutuhan utama. Hanya perhiasan penghibur duniawi. Tanpa minyak wangi, manusia masih dapat hidup aman tentram kertaraharja. Lagi pula setahu saya musk itu berasal dari kelenjar rusa jantan; apakah sudah dipertimbangkan hak asasi hewannya?
Sebaliknya, tanpa pandai besi, bukankah takkan ada aneka perkakas rumah tangga? Tanpa pandai besi, bukankah takkan ada kendaraan canggih masa kini? Tanpa pandai besi, bukankah takkan ada tiang beton untuk gedung bertingkat? Tanpa pandai besi, bukankah takkan ada pedang tajam maupun senjata api? Tanpa pandai besi, bukankah takkan ada kebesaran kerajaan Daud dan Sulaiman?
Tanpa pandai besi, bukankah takkan ada konflik pertambangan? #eh
#gimana #nahlho 🙀
Setelah memeriksa sumber bahasa aslinya dan mengulik beberapa hadits tandingan, saya simpulkan bahwa yang harus dihindari dalam perumpamaan itu adalah angin dari ububan (kipas peniup api untuk tungku kegiatan penempaan besi) bukan pekerja pandai besinya. Bagaimanapun juga, mustahil hadits meremehkan pekerjaan penting di masyarakat.
Jika memang mengibaratkan manusianya, seharusnya hadits ini bermakna ada karya yang penting bagi penghidupan tapi kita mau tak mau harus menanggung hal-hal yang tidak nyaman dalam pengolahannya.
Pada dasarnya sih tidak ada salahnya mengatur pertemanan media sosial, daripada habis hidup berbasa-basi tanpa keintiman. Dalam beberapa hal, saya sendiri mengelompokkan daftar teman berdasarkan latar belakang perkenalan: keluarga, tetangga, teman sekolah, kawan kuliah, rekan kerja, orang berbahasa daerah, orang berbahasa asing, dst; agar kesan-pesan khusus dapat saya arahkan langsung kepada kelompok tertentu tanpa perlu memenuhi dinding atau disalahpahami oleh kelompok lainnya. Namun, tentu hal itu saya lakukan dengan pertimbangan sendiri tanpa maksud berkoar-koar menyinggung para pihak.
Sebaliknya, fenomena "kamar gema" perlu kita waspadai. Kita harus tetap membuka diri terhadap berbagai informasi dari pihak yang berbeda pandangan, agar kita tidak mudah terpancing, agar semua pembenaran selalu ada pembanding.
Menutup jalur pembahasan hanyalah langkah terakhir ketika upaya menengahinya secara ilmiah dari dua arah sudah buntu, demi menghindari debat kusir caci maki yang tidak berkejuntrungan; itu pun harus ditindaklanjuti dengan pendekatan yang lebih intensif untuk meredakan perselisihan pendapat agar setidaknya setuju untuk berbeda; tidak dapat dibiarkan menjadi api dalam sekam.
Ketika algoritma jejaring sudah cukup mempersempit langganan umpan berita kita, jangan sampai kita pula yang memasang kacamata kuda!
Tersebutlah kisah, kira-kira di akhir tahun lalu, hawa-hawa perpecahan yang merebak di dunia maya terendus sampai ke depan hidung saya.
Seorang kawan lama, kalau tak boleh menyebut sahabat, seminggu sebelumnya masih bertegur sapa dengan akrab di halaman maya. Kenalan semasa kuliah, kini ibu dari tiga anak lucu, wiraswasta andal, tulisannya pernah dikemas tampil di layar lebar. Tiba-tiba beliau mengumumkan niat bebersih daftar teman, untuk memilah dan memilih siapa saja yang sehaluan atau tidak dengan sikapnya terhadap agama.
Yang menggelitik saya adalah bahwa sebagai dasar hukum dari tindakan tersebut, beliau mengutip hadits yang diterjemahkan seperti ini.
“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Berteman dengan penjual minyak wangi akan membuatmu harum, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mencium harumnya. Sedangkan berteman dengan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) membakar pakaianmu dan kalaupun tidak, engkau mencium bau asapnya yang tak sedap.”
(HR Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Secara belum khatam kitab hadits, dan sesuai penafian di atas tadi, saya pun langsung mempertanyakan.
- Pertama, pandai besi memang pekerjaan berbahaya, tapi bukan berarti sia-sia, 'kan? Kenapa berteman dengan pandai besi tidak dimaknai akan kebagian hadiah panci gratis? Atau setidaknya, bisa beli obralan sendok garpu murah?
- Kedua, apakah itu berarti Islam punya kasta berdasarkan jenis pekerjaan? Kalau di Hindu, pandai besi mungkin tergolong waisya atau minimal sudra; masa dalam Islam terhempas menjadi setingkat dengan kaum pariah yang tak dapat disentuh?
- Ketiga, bukankah teman yang buruk justru selayaknya dirangkul agar kembali ke jalan yang benar, jangan malah dijauhi dengan membakar jembatan pertemanan yang mungkin suatu saat akan menyelamatkannya sekaligus menjadi ladang pahala bagi kita?
Saya kira pertanyaan seperti ini layak untuk dibahas dengan nalar kepala dingin, justru untuk memperkuat pemahaman terhadap alasan yang diberikan agar tidak terganggu gugat. Tetapi malah saya dianggap layak untuk disingkirkan dari daftar teman karena dituduh ingkar terhadap hadits, tidak sami'na wa atha'na.
Tentu saja berdasarkan latar belakang saya, saya serta-merta menilai bahwa keberadaan seorang pandai besi dalam peradaban umat manusia jauh lebih penting daripada penjual minyak wangi ...
Saya suka wangi pandan, melati, cendana, dan rempah-rempah: tapi untuk memakai minyak wangi sehari-hari, belum merasa perlu. Minyak wangi adalah hasil keluhuran peradaban, tapi sama sekali bukanlah kebutuhan utama. Hanya perhiasan penghibur duniawi. Tanpa minyak wangi, manusia masih dapat hidup aman tentram kertaraharja. Lagi pula setahu saya musk itu berasal dari kelenjar rusa jantan; apakah sudah dipertimbangkan hak asasi hewannya?
Sebaliknya, tanpa pandai besi, bukankah takkan ada aneka perkakas rumah tangga? Tanpa pandai besi, bukankah takkan ada kendaraan canggih masa kini? Tanpa pandai besi, bukankah takkan ada tiang beton untuk gedung bertingkat? Tanpa pandai besi, bukankah takkan ada pedang tajam maupun senjata api? Tanpa pandai besi, bukankah takkan ada kebesaran kerajaan Daud dan Sulaiman?
Tanpa pandai besi, bukankah takkan ada konflik pertambangan? #eh
#gimana #nahlho 🙀
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ
فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً
وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
Setelah memeriksa sumber bahasa aslinya dan mengulik beberapa hadits tandingan, saya simpulkan bahwa yang harus dihindari dalam perumpamaan itu adalah angin dari ububan (kipas peniup api untuk tungku kegiatan penempaan besi) bukan pekerja pandai besinya. Bagaimanapun juga, mustahil hadits meremehkan pekerjaan penting di masyarakat.
Jika memang mengibaratkan manusianya, seharusnya hadits ini bermakna ada karya yang penting bagi penghidupan tapi kita mau tak mau harus menanggung hal-hal yang tidak nyaman dalam pengolahannya.
***
Pada dasarnya sih tidak ada salahnya mengatur pertemanan media sosial, daripada habis hidup berbasa-basi tanpa keintiman. Dalam beberapa hal, saya sendiri mengelompokkan daftar teman berdasarkan latar belakang perkenalan: keluarga, tetangga, teman sekolah, kawan kuliah, rekan kerja, orang berbahasa daerah, orang berbahasa asing, dst; agar kesan-pesan khusus dapat saya arahkan langsung kepada kelompok tertentu tanpa perlu memenuhi dinding atau disalahpahami oleh kelompok lainnya. Namun, tentu hal itu saya lakukan dengan pertimbangan sendiri tanpa maksud berkoar-koar menyinggung para pihak.
Sebaliknya, fenomena "kamar gema" perlu kita waspadai. Kita harus tetap membuka diri terhadap berbagai informasi dari pihak yang berbeda pandangan, agar kita tidak mudah terpancing, agar semua pembenaran selalu ada pembanding.
Menutup jalur pembahasan hanyalah langkah terakhir ketika upaya menengahinya secara ilmiah dari dua arah sudah buntu, demi menghindari debat kusir caci maki yang tidak berkejuntrungan; itu pun harus ditindaklanjuti dengan pendekatan yang lebih intensif untuk meredakan perselisihan pendapat agar setidaknya setuju untuk berbeda; tidak dapat dibiarkan menjadi api dalam sekam.
Ketika algoritma jejaring sudah cukup mempersempit langganan umpan berita kita, jangan sampai kita pula yang memasang kacamata kuda!
Langganan:
Postingan (Atom)