Tersebutlah kisah, kira-kira di akhir tahun lalu, hawa-hawa perpecahan yang merebak di dunia maya terendus sampai ke depan hidung saya.
Seorang kawan lama, kalau tak boleh menyebut sahabat, seminggu sebelumnya masih bertegur sapa dengan akrab di halaman maya. Kenalan semasa kuliah, kini ibu dari tiga anak lucu, wiraswasta andal, tulisannya pernah dikemas tampil di layar lebar. Tiba-tiba beliau mengumumkan niat bebersih daftar teman, untuk memilah dan memilih siapa saja yang sehaluan atau tidak dengan sikapnya terhadap agama.
Yang menggelitik saya adalah bahwa sebagai dasar hukum dari tindakan tersebut, beliau mengutip hadits yang diterjemahkan seperti ini.
“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Berteman dengan penjual minyak wangi akan membuatmu harum, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mencium harumnya. Sedangkan berteman dengan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) membakar pakaianmu dan kalaupun tidak, engkau mencium bau asapnya yang tak sedap.”
(HR Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Secara belum khatam kitab hadits, dan sesuai penafian di atas tadi, saya pun langsung mempertanyakan.
- Pertama, pandai besi memang pekerjaan berbahaya, tapi bukan berarti sia-sia, 'kan? Kenapa berteman dengan pandai besi tidak dimaknai akan kebagian hadiah panci gratis? Atau setidaknya, bisa beli obralan sendok garpu murah?
- Kedua, apakah itu berarti Islam punya kasta berdasarkan jenis pekerjaan? Kalau di Hindu, pandai besi mungkin tergolong waisya atau minimal sudra; masa dalam Islam terhempas menjadi setingkat dengan kaum pariah yang tak dapat disentuh?
- Ketiga, bukankah teman yang buruk justru selayaknya dirangkul agar kembali ke jalan yang benar, jangan malah dijauhi dengan membakar jembatan pertemanan yang mungkin suatu saat akan menyelamatkannya sekaligus menjadi ladang pahala bagi kita?
Saya kira pertanyaan seperti ini layak untuk dibahas dengan nalar kepala dingin, justru untuk memperkuat pemahaman terhadap alasan yang diberikan agar tidak terganggu gugat. Tetapi malah saya dianggap layak untuk disingkirkan dari daftar teman karena dituduh ingkar terhadap hadits, tidak sami'na wa atha'na.
Tentu saja berdasarkan latar belakang saya, saya serta-merta menilai bahwa keberadaan seorang pandai besi dalam peradaban umat manusia jauh lebih penting daripada penjual minyak wangi ...
Saya suka wangi pandan, melati, cendana, dan rempah-rempah: tapi untuk memakai minyak wangi sehari-hari, belum merasa perlu. Minyak wangi adalah hasil keluhuran peradaban, tapi sama sekali bukanlah kebutuhan utama. Hanya perhiasan penghibur duniawi. Tanpa minyak wangi, manusia masih dapat hidup aman tentram kertaraharja. Lagi pula setahu saya musk itu berasal dari kelenjar rusa jantan; apakah sudah dipertimbangkan hak asasi hewannya?
Sebaliknya, tanpa pandai besi, bukankah takkan ada aneka perkakas rumah tangga? Tanpa pandai besi, bukankah takkan ada kendaraan canggih masa kini? Tanpa pandai besi, bukankah takkan ada tiang beton untuk gedung bertingkat? Tanpa pandai besi, bukankah takkan ada pedang tajam maupun senjata api? Tanpa pandai besi, bukankah takkan ada kebesaran kerajaan Daud dan Sulaiman?
Tanpa pandai besi, bukankah takkan ada konflik pertambangan? #eh
#gimana #nahlho 🙀
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ
فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً
وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
Setelah memeriksa sumber bahasa aslinya dan mengulik beberapa hadits tandingan, saya simpulkan bahwa yang harus dihindari dalam perumpamaan itu adalah angin dari ububan (kipas peniup api untuk tungku kegiatan penempaan besi) bukan pekerja pandai besinya. Bagaimanapun juga, mustahil hadits meremehkan pekerjaan penting di masyarakat.
Jika memang mengibaratkan manusianya, seharusnya hadits ini bermakna ada karya yang penting bagi penghidupan tapi kita mau tak mau harus menanggung hal-hal yang tidak nyaman dalam pengolahannya.
***
Pada dasarnya sih tidak ada salahnya mengatur pertemanan media sosial, daripada habis hidup berbasa-basi tanpa keintiman. Dalam beberapa hal, saya sendiri mengelompokkan daftar teman berdasarkan latar belakang perkenalan: keluarga, tetangga, teman sekolah, kawan kuliah, rekan kerja, orang berbahasa daerah, orang berbahasa asing, dst; agar kesan-pesan khusus dapat saya arahkan langsung kepada kelompok tertentu tanpa perlu memenuhi dinding atau disalahpahami oleh kelompok lainnya. Namun, tentu hal itu saya lakukan dengan pertimbangan sendiri tanpa maksud berkoar-koar menyinggung para pihak.
Sebaliknya, fenomena "kamar gema" perlu kita waspadai. Kita harus tetap membuka diri terhadap berbagai informasi dari pihak yang berbeda pandangan, agar kita tidak mudah terpancing, agar semua pembenaran selalu ada pembanding.
Menutup jalur pembahasan hanyalah langkah terakhir ketika upaya menengahinya secara ilmiah dari dua arah sudah buntu, demi menghindari debat kusir caci maki yang tidak berkejuntrungan; itu pun harus ditindaklanjuti dengan pendekatan yang lebih intensif untuk meredakan perselisihan pendapat agar setidaknya setuju untuk berbeda; tidak dapat dibiarkan menjadi api dalam sekam.
Ketika algoritma jejaring sudah cukup mempersempit langganan umpan berita kita, jangan sampai kita pula yang memasang kacamata kuda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar