lihat situs Japan Society of History Textbook Reform
Kutip:
Banyak yang berpikir bahwa mempelajari sejarah adalah untuk mengetahui rentetan peristiwa masa lampau.
Sebenarnya tidak demikian!!!
Mempelajari sejarah, adalah mempelajari cara berpikir orang-orang masa lampau mengenai peristiwa masa lampau.
Lalu, memangnya siapa sih yang suka belajar sejarah? Hampir selalu terdengar keluhan kebencian... Saya suka (mungkin di kelas hanya saya yang mendengarkan dongengan bapak dan ibu guru dengan baik), tapi rasa suka itu tidak tercetus melalui kurikulum sekolah.
Mungkin seperti yang Oda Eiichiro bilang:
Bajak laut yang saya kagumi di masa kecil, ternyata tidak tercantum dalam catatan sejarah masa lampau. Mungkin petualangan mereka sedemikian menyenangkan, sampai-sampai lupa meninggalkan nama ke generasi selanjutnya.
Inilah sebabnya mengapa jenis manusia bernama bajak laut itu menyusahkan.
Bukti sejarah yang terawat rapi tentunya milik penguasa karena mereka punya istana. Bukti tersebut juga bisa saja diada-adakan atau lenyap seiring berlalunya waktu.
Dulu tahun 99 atau 2000 (?lupa) ada arkeolog Jepang yang sengaja memasukkan benda tiruan ke lokasi penggalian, supaya kelihatan menghasilkan sesuatu.
Tapi lepas dari ada tidaknya bukti sejarah, penggalian bukti-bukti itu juga tergantung pada keberpihakan sang ilmuwan sejarah.
Seperti apa yang dialami Laksamana Chengho kemarin ini. Michael Yamashita, fotografer yang meliputnya di NGS keliling Asia Afrika, punya misi mengangkat peradaban Asia, karena ia sebagai orang yang lahir di Amerika butuh kebanggaan identitas.
Masih untung, dia berusaha jujur, selama belum ada bukti yang bisa diandalkan mengenai penjelajahan Chengho ke Amerika dan Australia, dia melarang rekan penulisnya yang bersemangat mencantumkan teori tersebut.
Bagaimanapun juga cara berpikir orang masa lampau paling mudah dilihat dari dongeng yang mereka nikmati, sejak mewariskan pandangannya tentang hidup melalui mitos dan legenda dari mulut-ke-mulut, sampai menuliskannya seperti yang dilakukan Homerus dan Valmiki...
Maunya sih membahas dongeng "Indonesia" juga, tapi baiklah kita mulai dengan dongeng-dongeng Eropa yang sudah mendunia. Setelah fiksinisasi peristiwa di balik kisah Peter Pan, kini Miramax menggebrak lagi dengan film "dongeng" fiksinisasi mengenai Brothers Grimm.
Dua saudara ini sebenarnya hanyalah profesor akademisi sastra yang berjasa mendokumentasikan sisa tradisi mulut-ke-mulut cerita rakyat di sepanjang maerchenstrasse: Cinderella, Putih Salju dan kawan-kawan: ternyata mereka pun sudah cukup melakukan editing dari cerita aslinya yang parah, penuh kekerasan dan sering rasialis abiss (banyak antisemit), dan kemudian yang sampai ke anak-anak masa kini pun, rata-rata yang sudah diperhalus lagi oleh saduran-saduran ala Disney.
National Geographic's Brothers Grimm
Museum Grimms di Kassel
Surlalune memuat beberapa versi perancis (yang lebih sopan?) dari dongeng-dongeng peri tersebut, diberi anotasi, dikaitkan dengan suasana zaman itu, sindiran yang terselubung di dalamnya, dan voila, kita bisa belajar sejarah dari dongeng peri-peri.
Hans Christian Andersen (pengarang Ugly Duckling, Emperor's New Clothes dan Little Mermaid) juga dirayakan tahun 2005 ini.
Film-film lain yang terkait:
- The Big Fish
- A Series of Unfortunate Events
Fantasi sihir yang dipakai sebagai latar belakang kebanyakan dongeng, sering mengundang kontroversi, ditakutkan akan merusak akidah.
Apakah ini semacam "pelarian" si sastrawan karena keengganan memikirkan hal-hal yang nyata? Boleh saja dibilang pelarian. Kemajuan teknologi adalah wujud kemalasan manusia, pelarian dari keharusan untuk mengerahkan tenaga, tulang dan otot dalam batasan biologis. Menulis adalah pelarian dari ketidakmampuan melakukan perubahan dengan tindakan (dalam kasus ini, demikian juga dengan berdoa) Dan bukankah pelarian adalah DASAR PERTAHANAN dalam bela diri? Maka, ayo kita lari.
Tapi apakah ini wujud keengganan memikirkan hal-hal yang nyata? Saya rasa tidak.
Hampir semua film Ghibli rata-rata berkisar mengenai kehidupan paralel dengan makhluk selain manusia, perlindungan terhadap lingkungan. Unsur magis, makhluk halus, ditampilkan seperti apa adanya, justru bisa mencerahkan mengenai bagaimana penganut animisme memandang kehidupan, sehingga kepercayaan tersebut bisa membawa mereka lebih menghargai lingkungan daripada pandangan picik salah paham mengenai "dunia sebagai tempat hukuman pembuangan" yang dianut agama samawi yang menimbulkan lemahnya halangan terhadap perusakan alam.
HP, isinya berkisar seputar masalah rasialis, campur tangan pemerintah terhadap kurikulum sekolah, pengaruh wartawan terhadap pembentukan opini masyarakat, ketergila-gilaan terhadap permainan olahraga tertentu, psikologi abg, manajemen rasa takut, politik kekuasaan. Semua bisa dicocokkan dengan dunia nyata, hanya saja
dikemas supaya lebih menarik dan penuh humor.
Penggambaran sapu terbang sebenarnya adalah stereotipikal terhadap sihir yang dibentuk oleh kekuasaan yang menumpang gereja. Penyebutan "sihir" pada masa-masa pemberantasan dan pembakaran (!!!) nenek2 keriput itu, sebenarnya hanyalah suatu kampanye tindakan pelanggaran HAM yang bersifat SARA.
Kita perlu membuka sejarah kelam yang berlaku jauh sejak zaman Romawi sebelum nabi Isa. Mereka mencap sihir kepada orang-orang bijaksana, ahli ramu-ramuan alias farmasi, kimia dan fisika purba yang berpengaruh terhadap opini masyarakat kampung, agar punya alasan melakukan penangkapan dan pembantaian, karena ditakutkan akan mendorong masyarakat pada tindak subversif. Kita tahu bahwa Galileo Galilei yang ilmuwan juga dihukum oleh gereja dengan tuduhan sihir. Sekarang, teknik pemberantasan semacam itu juga masih berlaku terhadap ulama islam di seluruh penjuru dunia.
Kenyataannya fenomena sihir dan interaksi alam gaib ke dunia manusia memang jelas ada, tercantum dalam sejarah alquran kan? Yusuf, Firaun dst bukan rekaan
seperti yang dianggap oleh pandangan skeptis.
Peradaban "Islam" tetap tidak lepas dari fantasi sihir. Shahrazad mendakwahi rajanya yang lalim dengan alf laila wa laila alias seribu satu malam. Sunan Kalijaga mendalangi wayang kulit demi mengajari kalimat syahadat.
Seandainya fantasi magis dihindari, seharusnya dongeng fabel juga dipertanyakan. Bukankah pada fitrahnya hewan punya sistem komunikasi yang berbeda dari gramatika yang digunakan manusia. Kita tidak akan mengerti tata bahasa mereka, demikian pula jalan pikiran mereka. Memang ada sedikit komunikasi antara manusia dan hewan, namun itu non verbal dan sangat minim. Hanya orang-orang tertentu yang benar-benar bisa bicara panjang lebar dengan mereka layaknya Sulaiman. Sementara antar spesies
berbeda, juga mereka jarang butuh mengobrol. Dan masing-masing juga hidup sesuai perintah sang pencipta, jarang menjadi pembangkang seperti manusia. Seekor predator tidak memakan hewan lain karena jahat, melainkan itu merupakan hukum rimba, tidak bisa disamakan dengan manusia yang satu spesies, seharusnya sederajat dan tidak boleh menguasai manusia lain. Hewan juga punya pengetahuan lebih (naluri) untuk bertahan hidup daripada manusia tanpa perlu diajari lewat komunikasi.
Pada dasarnya fiksi remaja islami pun juga semata rekaan yang menempatkan pengarangnya sok tahu menjadi tuhan dari tokoh ciptaan sendiri, padahal di dunia nyata, belum tentu suratan takdir bisa berjalan sesuai dengan alur klimaks/antiklimaks yang disampaikan.
Tapi ini fantasi. "Imagination has no rules". Kadarnya seimbang dengan science fiction: di mana hukum alam berlaku sesuai yang dimaui penulis, apapun boleh terjadi: hewan-hewan boleh bicara, sihir boleh bergaya.
Pembentukan dunia rekaan ini merupakan pilihan yang mudah untuk memperlancar argumen yang disampaikan.
Memang tidak mudah mengarang dongeng sihir atau fabel tanpa terjerumus pada cerita tak bertanggung jawab, jadi kalau belum mampu, tak usah coba-coba.
Melakukan studi lapangan dan pustaka yang terperinci akan lebih baik, dan tulislah sastra jurnalistik.