Komunitas perempuan Scottish menyelenggarakan Headscarf Day 19 Agustus 2005, sebagai pemanasan gebrakan demonstrasi untuk membela hak pelajar muslimah di negara-negara yang menerapkan larangan berjilbab di sekolah (antara lain perancis, jerman, tunisia, turki) pada hari-hari pertama tahun ajaran baru, tanggal 3 September, International Hijab Solidarity Day.
Izin berjilbab di lingkungan pelajar Indonesia yang mayoritas Muslim pun bisa dikatakan termasuk baru (tahun 90an?) setelah cerita punya cerita mengalami perjuangan berkepanjangan. Banyak yang ikut-ikutan menganutnya sebagai pelampiasan jiwa pemberontakan masa remaja melawan orang tua, sehingga berubah pikiran setelah lebih dewasa, walaupun juga banyak yang bertahan dalam pendirian.
Secara keseluruhan, hambatan berjilbab masih banyak ditemukan di Indonesia, dan di lain pihak jilbab juga disalahgunakan oleh beberapa oknum pelajar putri yang ingin menghindari olahraga ataupun menyembunyikan kehamilan. Namun dalam dekade terakhir, jilbab mulai berevolusi menjadi trend mode sekaligus norma sosial. Didukung oleh perkembangan ekonomis: berlipatgandanya produksi scarf, selendang, baju kurung, rok panjang, dan pernak-perniknya, yang jelas memajukan industri tekstil, konveksi, obras, bordir (walaupun muslim yang baik seharusnya tidak bersikap konsumtif)...
Telah berlalu masa ketika ibunda menarik selembar demi selembar benang di pinggir sepetak kain meteran.
Kebanyakan sekolah bahkan menerapkan kewajiban mengenakan seragam berjilbab di hari Jumat: sebuah upaya setengah hati, rasanya. Jangan-jangan hanya kesempatan untuk menjualkan lebih banyak jenis seragam.
Kapan ya, pendidikan untuk semua bisa ditegakkan tanpa perlu mempermasalahkan seragam? Masa seperti yang saya lihat, dua-tiga bulan setelah kejadian tsunami di Aceh, ketika buku-buku bantuan telah berdatangan, kegiatan belajar mengajar masih terhambat dengan keluhan belum ada bantuan seragam, sehingga "sulit membedakan yang mana murid sekolah ini dan yang mana yang bukan"... Tolooong. Haree geenee pakai formalitas?
Ada beberapa rekan yang mengalami, ditunjuk oleh KBRI atau KJRI untuk melaksanakan upacara pengibaran bendera, tetapi permohonan menyediakan seragam paskibra yang layak memenuhi syarat jilbab ditolak, sehingga harus diakali atau tidak ikut sekalian.
Bukan hanya karena berada di luar negeri sehingga tak punya akses ke produksi pakaian, karena memang peraturan dalam negeri masih ketat sehingga paskibraka istana negara yang berjilbab (seperti utusan NAD tahun ini) pun masih harus mengenakan seragam yang tampak mengada-ada: kerudung yang menyelesak ke balik kerah putih dan syal merahnya, dan rok lipit ke bawah lutut yang dipadu dengan kaos kaki tinggi.
(Namun bagaimanapun juga, mungkin muslim yang baik akan memilih menghabiskan tenaga dan masa mudanya di jalan lain yang lebih meriah daripada setiap hari belajar haluan kiri kanan dan menggosok ikat pinggang berlambang garudanya sampai mengkilap, demi sekedar lambang pusaka usang yang nyaris diberhalakan.)
Menimbulkan beberapa tanda tanya,
### sejauh mana hak asasi tersebut harus diperjuangkan?
Suatu saat pernah ada protes dari seorang wanita yang tidak mau melepas cadarnya untuk foto identitas diri. Keterlaluan?
Namun memang mungkin sudah saatnya teknologi dikembangkan dengan menggunakan identitas sidik jari dan selaput mata daripada pas foto yang sebenarnya juga terlalu mudah direkayasa.
Namun lagi, toh pengenalan raut wajah masih tetap lebih unggul, ramah, dan semakin diminati, terbukti dengan profil friendster, blogger, gravatar yang menganjurkan pemasangan foto diri. Memang mata manusia lebih canggih dari alat pengidentifikasi manapun juga.
### apakah demonstrasi seperti di atas akan suatu saat memutarbalikkan keadaan yang kembali mengarah kepada pemingitan dan penyempitan ruang gerak perempuan?
Menyambut ke"merdeka"an di segala bidang, termasuk berpakaian, memang ngalilieur juga melihat kesenjangan antara pelarangan dan pengharusan yang diterapkan di dunia (dan termasuk Indonesia). Namun, tentunya pemaksaan berpakaian lengkap masih akan jauh lebih nyaman daripada pemaksaan untuk bertelanjang bulat, atau setidaknya, berbikini di depan umum... Tidakkah demikian?
Banyak juga yang tidak sadar, bahwa pembungkusan perempuan adalah tuntutan di hampir setiap peradaban. Seharusnya tidak aneh bila Jepang memberi toleransi tinggi terhadap jilbab, sebab pertapa buddha juga dianjurkan berjilbab bila tidak mencukur rambutnya: sebuah kenyataan yang terlupakan oleh generasi masa kini.
Masih terkenang tatapan heran wisatawan yang lalu lalang, setiap kali saya menapaki tangga Koudaiji, disangka hantu dari istrinya Toyotomi Hideyoshi, 「北政所・ねね」...
Sementara dalam penerapan berbagai agama, penggunaan jilbab adalah sebagai busana menyepi bertapa di biara, bagi saya pribadi, jilbab dalam pemahaman Islam sepantasnya justru dinilai sebagai faktor pembebas: dengan mengenakannya kita tak perlu sungkan berinteraksi dengan lawan jenis, bisa keluar rumah dengan leluasa, dan seterusnya...
Dan...
siapa bilang jilbabers gak boleh olahraga?
Rancangan penutup kepala yang lumayan artistik untuk skate, tenis, dan aerobik ada di Capsters.
Pun sudah banyak beredar baju renang ala penyelam dari bahan lycra.
Kalau masih kurang longgar, bisa coba contoh di samping ini...
Yahahahaha.
2 komentar:
jilbab adalah pakaian longgar yang memanjang dari bahu sampai menutupi mata kaki. sedangkan kain penutup kepala dinamakan kerudung atau khimar. dalam alquran dua kata itu digunakan untuk menunjukkan dua benda yang berbeda.
pelarangan hijab (:kerudung) di beberapa negara Eropa (juga Indonesia) menunjukkan bahwa mereka tidak konsisten dengan ide hak azazi manusia. jika mereka konsisten tentu mereka tidak melarang siapapun untuk mengenakan pakaian model apapun. disini nampak keutopiaan ide hak azazi manusia dan konconya (demokrasi)
Wajah itu identitas, diciptakan berbeda untuk setiap manusia. Baiknya jangan ditutup
Posting Komentar