Jumat, 05 Agustus 2005

Masjid Perca-Perca

Layar Bambu #2

"Mampirlah kemari mBak!" tegur seorang penjaja lampion merah putih berhias kaligrafi kalimat syahadat, di gerai berjudul PITI. (PITI? Kalau bahasa minang, artinya kan uang...)
Ia menyodorkan beberapa buku terbitan malaysia yang penuh foto namun sudah lusuh,
mengenai Islam di Cina.

"Duduklah, silakan baca. PITI itu Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Demi menghindari kesan sara kepanjangannya diganti jadi lebih umum: Pembinaan Iman Tauhid Indonesia. Pernah dengar?"

"Muslim Tionghoa sih kenal. Tapi organisasinya sih gak terlalu. Di Bandung pernah lihat sih masjid Laotze di seberang Regent, persimpangan patung sepak bola. Tapi kecil, seperti mushalla saja. Entahlah kalau ada di tempat lain."

Cerita punya cerita, dalam kenyataan sepanjang sejarah, tidak ada sebuahpun kelenteng yang memuat makam tanah, sehingga keberadaan makam Kyai Jurumudi Dampo Awang yang muslim itu menandakan bahwa aslinya Kelenteng Gedung Batu di Semarang adalah sebuah masjid.
Tampaknya tak ada yang mau mempertimbangkan kemungkinan adanya sinkretisme, walau menurut sejarah, kyai yang menyebarkan Islam di Semarang itu sendirilah yang mendirikan patung Cheng Ho di sana, artinya ia belum melepaskan adat istiadat penghormatan kepada leluhur yang dianut bangsanya.

Sebagai pengganti kelenteng yang telah tak terganggu gugat sebagai tempat sudi peribadatan umat tridharma, mereka menyiapkan masjid Sampookong di kompleks Bukit Semarang Baru. Sebuah masjid Sampookong juga telah berdiri beberapa tahun lalu di Surabaya.

"Tanah dan IMBnya telah siap, tinggal memulai konstruksi, mBak."

(Aku bukan mbak-mbak...) "Oooh, jadi, inikah desainnya?" Aku meneliti rancangan denah dan tampak bangunan yang dipamerkan. "Ini nama arsiteknya? Yulius Eko Sutrisno."

"Iya. Memang non muslim sih mBak, tapi, gak masalah kan? "

(Aku bukan mbak-mbaaak!) "Tentu saja tidak masalah bagi saya, siapa pun arsiteknya. (Emangnya gak ada lain ya?) Saya kenal arsitek masjid AlAzhar yang tidak pernah shalat. Hanya saja, penggabungan unsur semacam ini apakah perlu? Kayaknya malah jadi gak nyambung."

"Oh perlu toh mBak. Kan menampilkan identitas. Tiga budaya yang berkaitan dengan masjid ini, Pagarnya akan berbentuk gapura, karena kita berada di Jawa. Atapnya pagoda, karena armada Cheng Ho dari Cina. Lalu ruang dalamnya ala masjid Nabawi, menegaskan keislaman."

"Hmmm, dalam pandangan saya, setiap budaya punya haute couture, masterpiece, alias adikarya masing-masing. Sebuah gapura sudah punya padanan yang pas untuk bentuk bangunan di dalamnya, begitu pula pagoda, apalagi masjid nabawi. Tiga gaya yang sama sekali berbeda. Dalam Islam sendiri, selama sebuah bangunan bisa memenuhi fungsinya sebagai masjid, tak akan ada tuntutan untuk merancangnya harus dengan gaya Arab. Islam kan universal. Kalau mau ada identitas, mengapa tidak gaya Tionghoa saja habis-habisan sekalian."

"Tapi ini kan masjid untuk bersama mBak, jadi perlu menampung segenap aspirasi."

"Saya bukannya menentang akulturasi, menggabungkan segenap peradaban di dunia tuh gak apa-apa selama gak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Tapi kan ada yang namanya estetika. Kesatuan rancangan. Di bawah profil gapura, di atas profil pagoda, eeeh pintunya kubah-kubah begitu. Kalau proporsinya cocok sih mungkin enak dipandang, tapi di sini terlihat maksa seperti perca-perca dari kain sisa. Belum lagi dilihat keadaan alam kan? Arab, Cina, India dan Indonesia punya iklim dan cuaca yang berbeda. Kelihatannya di sini yang diperhatikan hanya tampilan luar saja, apakah fisika bangunannya sudah disesuaikan? Lalu pagodanya. Pagoda kan punya konstruksi anti gempa. Apakah di sini akan dibangun sedemikian rupa persis aslinya, atau hanya meniru bentuk luar sebagai dekorasi saja? Tapi yah kalau menerima rancangan ini sudah merupakan keputusan bersama, apa boleh buat semoga sukses saja."

"Hmmm... Wah saya sendiri tidak begitu paham mBak. MBak kuliah arsitektur ya? Kos di sini?"

(agak tersanjung) "Saya terlihat masih kuliah kah?"

"Oh sudah lulus? Jadi sudah arsitek?"

(tambah tersanjung tapi malah sok pintar) "Saya terlihat berlagak arsitek kah? Arsitektur itu ilmu dasar yang wajib dikuasai semua orang, kebutuhan pokok manusia, terutama untuk bekal perempuan mengatur rumah tangga, gitu loh!"

"Oh bukan arsitek? Terus apa dong kerjanya mBak? Wartawan? Ke sini meliput yah."

(Masih ingin teriak 'saya bukan mbak-mbaaak!' tapi terlanjur kegeeran) "Bukan juga. Tapi kalau mau diliput, oke nih saya liput, buat blog, tohohohoho."

Tidak ada komentar: