Tak kusangka skala bencana ini begitu besar, tadinya aku hanya menyangka aku salah tempat saja sampai kelelep begitu. Ternyata banyak yang lebih parah, rumah p'Iman bahkan tenggelam sak atap-atap. Sampai-sampai terowongan jalan aku sangka parit selokan. Mobil tetanggaku yang baru memulai kredit mobil sebulan ini, terperangkap di kubangan karena jalan keluar longsor.
Jumat siang hari, sebelum cowo-cowo berangkat shalat, aku menyelinap dengan kamera dinas untuk mengabadikan daerah rumah. Ternyata jalan besar pun sudah menjadi lautan cokelat. Banyak bule-bule sedang sibuk dievakuasi sambil melambai-lambaikan tangan ke penduduk setempat.
Memang sangat menguntungkan hidup minimalis, nothing to lose and everything to gain. Ternyata, kasurku yang kusangka telah terendam habis, masih bertahan mengapung dengan gagah perkasa, terangkat sak tempat tidurnya oleh kasur butut dari pemilik rumah.
Jadi ingat kalau Vidia pernah meminta aku meneruskan tugasnya menulis tentang banjir. Sudah banyak bahan yang dia kumpulkan, dia serahkan padaku. Tapi aku tolak, karena memang tidak memahami permasalahan dan belum berpengalaman. Dia kecewa. Dan kini tentunya aku wajib melanjutkan pekerjaan terbengkalai itu.
Karena lampu mati lagi, aku mengungsi ke rumah Rah di ujung dunia sana demi menumpang makan dan melepaskan ketegangan. Sampai sekitar jam enam sore, untuk pertama kalinya menggunakan jasa bus antarkota karena lebih dekat dan aman menuju terminal daripada stasiun (biasanya memilih kereta api).
Tak diduga, memang takdirnya bisa bertemu seorang adik kelas dari masa perjalanan ke Barat... dan dia mengingatkanku bahwa kita sudah pernah kebanjiran, di dalam tenda hijau. Jadi, ini banjir yang kedua kalinya dalam hidupku...
Beruntung dia sudah gajian dan sebagai sumbangan bagi pengungsi, aku ditraktir pulang g-r-a-t-i-s-a-a-a-n.
Sesampai di rumah jam 11 malam, ada kabar yang lebih hebat lagi. Hari Kamis sebelum malapetaka itu tiba, ada yang menemukan bungkusan santet/pelet/guna-guna (???) berisi kain kafan, padi, bawang, serbuk besi, terasi, dll di depan halaman rumah ibuku. Entah siapa yang dituju: para tetangga sebelah (satu restoran, satunya lagi bank) atau anak buah (perawat, sopir, tukang) atau salah satu anggota keluarga, siapa sih yang berani-beraninya memusuhi kami?
Walhasil setelah melalui musyawarah besar, mereka memutuskan untuk mengalirkannya ke kali Cikapundung. Apakah itu yang memantul padaku sehingga kebanjiran di malam Jumat Kliwon, dan kemudian melimpah ke seluruh ibukota?
Tentu saja, bukankah dunia berputar mengitariku...
3 komentar:
waaaaaahhhh....ngeri banget yah Jakarta. Tapi masih ada juga yah yang sempet bergaya..hehehehe. Kanti, dirimu tetap teguh berdiri dan tidak hanyut kan saat banjir melanda:P. Kangen euy...:D
yahahah, iya lah teguh berdiri, itu buktinya, masih bisa jeprat-jepretin foto, keren kan <;^P
Kan...banjir di mana tuh?. Ikut berduka atas nasib yang menimpa kamu & tetangga2mu. Oya, makasih dah jenguk kami...maen (lagi) ke sapporo dong
Posting Komentar