Hujan deras sekali. Aku sedang mengerjakan transkrip konyol diskusi masalah kemiskinan sambil mengunduh bab paling mutakhir Pluto ketika komputerku, dan seluruh listrik sekitar kompleks kecuali lampu merah, padam tiba-tiba. Saat itulah aku baru sadar bahwa jam sudah menunjukkan pukul 10.15 malam, maka aku segera berlari pulang menelusuri jalan-jalan sempit dalam kegelapan, sambil berjanji dalam hati akan bolos kerja saat hari kembali cerah.
Tapi mimpi buruk baru akan dimulai. Aku mendapati tempat tidurku sudah mengapung dalam air kotor sepinggang.
Banjir sungguhan pertama dalam hidupku.
Ternyata tidak mengerikan. Malah cukup menarik, heboh, menegangkan. Aku menyesal tidak memegang kameraku saat itu.
Pak Satpam yang baik hati menawarkan bantuan untuk menyelamatkan berkas-berkas berharga. Untungnya, aku tidak pernah menyimpan barang yang benar-benar berharga di kamar. Semua ijasah dan komik-komikku kusimpan di laci kantor. Tapi dia tetap menemaniku berkubang lumpur kembali ke kamar mengangkut baju-baju, seterikaan dan bantal guling untuk diungsikan ke kantor. Aku meninggalkan piring-piring di dapur, dan mungkin kerugian paling parah hanyalah kompor listrik dan kasur kapuk yang mungkin sudah tenggelam sekarang.
Aku mandi di wastafel, dan melewatkan sisa malam dalam kegelapan. Aku sms Anggun yang tinggal di sekitar kompleks. Katanya dia sedang bersembunyi di loteng, karena laut cokelat di sana sudah setinggi dada. Kuharap putrinya sehat-sehat saja, itu yang paling penting.
Sekitar Shubuh, listrik menyala kembali. Manajer Administrasi menelepon pagi-pagi. Karena lalu lintas macet sekali, dan di beberapa tempat lain listrik padam bergilir, dia mengatakan semua boleh pulang hari ini. Tapi ke mana? Ke tempat tidurku yang mengapung?
Mau pergi ke manapun, aku tidak perlu izin siapa pun. Paling parah dapat peringatan, catatan kelakuan buruk, atau dipecat.
Tapi peduli amat. Pokoknya aku masih hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar