Beberapa kiat menarik:
- Sebagai muslim harus lebih mengikuti akal, bukan rasa. Ada banyak cara mencari ide melalui berbagai media, tapi yang lebih penting adalah pengalaman sendiri. Lalu dipastikan kebenarannya, misalnya dibahas dengan ulama atau orang tepercaya.
- Le Muslim Show bertujuan dakwah, komik hanya sebagai alat. Maka apa pun gaya gambarnya, baik gaya khas Perancis maupun terpengaruh manga Jepang layaknya anak zaman sekarang, bukan masalah. Persoalannya adalah bagaimana supaya pesan tersampaikan.
- Keahlian Le Muslim' Show adalah cara mengungkapkan pesan melalui metafora, tanpa terlalu gamblang apa adanya, supaya gambar itu sendiri bisa menjelaskan melalui lambang, penanda warna, cerita dan perbandingan, kalau perlu sekalian dilebih-lebihkan (hiperbola), tanpa kesan sok tahu menggurui.
- Setelah itu temukan 'punchline', kunci kelucuan, 'tukgling'nya, pelengkap untuk membuat pembaca mengerti apa yang ingin disampaikan.
- Supaya nggak salah sasaran, pengarang harus menggambarkan dulu keseluruhan peristiwa, tapi lalu dihapus bagian tengahnya. Hasil yang disuguhkan ke pembaca cukup bagian awal dan akhir saja, biarkan pembaca mengkhayalkan apa yg terjadi di balik itu semua.
- Mereka menciptakan komik ini bertiga, tapi bagi tugas masing-masing. Sang Abang Noredine yang mencari ide dan menyusun alur storyboard, Greg bule berjambul penggemar dragonball yang meninta dan menentukan keputusan akhir bentuk ilustrasinya, lalu si adik Karim mewarnai.
- Greg ini non-muslim, dipekerjakan karena latar belakangnya memang resmi berpendidikan desain (sedangkan Allam bersaudara belajar otodidak) tapi merasa cocok bekerja sama dengan dua saudara ini karena kebetulan memang nyambung, di samping itu menurut dia kisah kehidupan muslim dalam komik ini cukup universal bisa dinikmati semua orang.
- Hasil riset tentang ungkapan perasaan di seluruh dunia ternyata rata-rata sama, cukup digambarkan lewat perubahan mata dan bibir, walaupun bisa juga dipertegas dengan gerak-gerik tubuh keseluruhan. Kali ini sang trio mengambil tantangan menggambar enam macam ungkapan perasaan. Tapi mereka jadi bingung sendiri karena para peserta meminta contoh rumit, semacam galau, miris dll... Sungguh peserta yang kejam.
Pihak penerbit dari DAR Mizan menerangkan bahwa komik tentang muslim di Indonesia sebenarnya tidak asing lagi. Misalnya, sudah pernah terbit komik sindiran pedas karya Aji Prasetyo, Hidup itu Indah, dll. Menanggapi permintaan hadirin untuk menggambar tentang Islam Indonesia, rekan-rekan The Muslim Show menepisnya, karena perlu hidup 20 tahun di lokasi atau menikah dengan pribumi supaya bisa menangkap kelucuan sehari-hari yang ada. Komik tentang Indonesia, sebaiknya digambar oleh komikus lokal, pesan mereka.
Saya sendiri sempat menanyakan tentang bagaimana proses mereka menampilkan tokoh perempuan dalam komik ini, berhubung mereka bertiga laki-laki semua, apakah mengamati perempuan di sekeliling mereka atau ada informan khusus soal ini? Dan, bagaimana kedudukan perempuan dalam dunia profesi komikus Perancis?
Mereka menjawab, tentu saja mereka mendapatkan ilham lewat pergaulan dengan ibu, saudara, istri dan anak-anak mereka sendiri. Kaum perempuan dan laki-laki pada dasarnya mengalami tantangan yang sama sebagai muslim yang ingin menunjukkan identitas, bedanya sesuai jenis kelamin, perempuan bermasalah dalam berhijab, laki-laki bermasalah dalam menumbuhkan janggut, atau kedudukan dalam rumah tangga, namun di luar itu sama-sama kesulitan mencari tempat shalat, memilih makanan halal, misalnya.
Mengenai perempuan komikus, jangankan di Perancis, di seluruh Eropa saja hampir tidak ada, sementara komikus Muslim tidak sampai sepuluh orang. Namun seorang peserta meralat, ada beberapa komikus perempuan yang ia kenal di Jerman. Barangkali profesi komikus tidak menjanjikan bagi perempuan di Perancis? Atau ada semacam pernyataan sikap terkait feminisme? Hahaha. Menarik juga, sementara di Jepang ada generasi 24nen gumi sejak tahun 1970an sedangkan di Indonesia juga cukup banyak komikus perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar