Aku ikut berdesak-desakan turun dari Eiden (Eizan Densha, jalur kereta listrik swasta yang menghubungkan Demachiyanagi dengan gunung Kurama dan Hiei). Lautan manusia tumpah ruah ke tanjakan ke arah Kurama Jinja yang sudah dipagari tali-tali untuk mengarahkan lalu lintas pengunjung. Mungkin hanya pada detik itu lah, jalur Eiden bisa mengalahkan Midosuji atau Ginza...
Nyaris terseret melayang karena tersangkut punggung dan siku orang lain, aku masih berkutat untuk menyorongkan kamera kuno yang seberat bayi...
Tiba-tiba sesuatu tersangkut di kaki, mengejutkanku, dan terus menggelayut sampai beberapa langkah. Bersusah payah menekukkan badan di tengah hiruk pikuk ini, makhluk yang semula kusangka kucing garong itu ternyata sebuah tas pinggang.
Aku berteriak-teriak ke seluruh penjuru,
"Sumimaseeyeyen, otoshimono nan desukedooo, kore ha dare no desukaaaa?"namun tak ada yang peduli, semua sibuk dengan usahanya masing-masing beranjak maju dalam antrean yang bergerak selambat kura-kura. Akhirnya aku melaporkan penemuanku kepada seorang polisi penjaga yang sudah cukup umur, tegap dengan seragamnya bertugas di seberang pagar tali.
Ternyata aku tidak boleh hanya menyerahkan saja, melainkan harus keluar dari aliran dan mengisi semacam "wasuremono todoki" sesuai prosedur yang berlaku. Dengan agak penuh penyesalan bahwa antrean selama ini sia-sia, mengapa tak aku biarkan saja benda itu ditendang orang, aku mengikuti sang petugas jaga ke pos polisi yang... ternyata berada tepat di sebelah Kurama Jinja!
Tas pinggang itu diperiksa, nyaris tanpa isi, tak ada identitas yang dapat dikenali, hanya beberapa lembar struk pembayaran tak jelas dan sebuah selongsong kosong fuji-film. Yaaah hangus harapan mendapatkan imbalan sepuluh persen dari temuan. Setelah dengan teliti mencantumkan nama dan alamat dengan huruf-huruf keriting itu, aku ditanya pak polisi:
"Maukah identitas anda diberikan kepada yang kehilangan, seandainya ia melapor kemari? Tentu orang itu akan sangat senang akan hal ini."Aku malah takut, penemuanku itu sebenarnya sisa peninggalan pencopet, yang telah merampas semua isinya, siapa tahu tadinya ada dompet atau pernak-pernik perlengkapan kamera...
"Oh, tidak, tak perlu..."
"Dengan lepas tanggung jawab saja, saya sudah syukur... Bolehkah sekarang saya kembali menikmati rangkaian acara?"Aku keluar dari pos polisi dengan agak lega, karena ada untungnya, sudah dekat ke tempat tujuan, tak perlu kembali turun ke antrean panjang, bisa langsung menelusuri titik-titik pemberangkatan api.
"Baiklah, silakan. Tapi jangan mengambil jalur yang salah."
... [foto-foto di album]
Alkisah, tiga bulan kemudian aku memperoleh selembar kartu pos.
Dari susunan katanya bisa ditebak tulisan orang tua. Dia memperkenalkan diri sebagai fotografer amatiran mengisi masa pensiun, dan mengucapkan terima kasih, begitu ia balik lagi mencari tas pinggangnya ke Kurama, ternyata aku temukan, sehingga ia bisa kembali beroperasi.
(Tas pinggang saja, gitu loh! Apa benar dia memang bela-belain balik mencari... Di toko tas Elisabeth paling juga cuman lima puluh ribu rupiah... Walaupun mungkin aku bakal meraung-raung kalau tas MACHO seven senses aku hilang... Tohohohoho.)
Pak Polisi sengaja melanggar janji. Entah dia menduga aku hanya basa-basi, entah karena tahu aku orang asing, dia berusaha memaksakan adat istiadat yang berlaku di Jepang padaku untuk dihayati.
Setidaknya, kali ini tak ada yang menuduh aku mencopet lah. Semoga memang kakek ceroboh itu tak kehilangan benda yang lebih penting. Dan yang jelas, artinya, sepuluh persen dari tas pinggang yang selayaknya aku peroleh sebagai tanda jasa itu adalah seharga selembar kartu pos ditambah perangko...
1 komentar:
yg namanya kebaikan memang melintasi batas rasial dan geografis.. betul2 cerita yg inspiratif! :)
Posting Komentar