Seorang bapak setengah baya berwajah bulat ceria dari lab sebelah, baru bisa bahasa Jepang sepatah dua, dan sama sekali tak bisa berbahasa Inggris.
Di sebuah acara
mochitsuki yang diselenggarakan jurusan untuk mahasiswa asing, kami berkomunikasi dibantu rekannya, Hong.
"Lihat," katanya padaku, menunjukkan daftar hadir. "Kewarganegaraan saya ditulis Cina. Padahal kan bukan. Mereka tak bisa membedakan." Yah, melihat mata besar, kumis tebal, dan nama Arabnya: Ibrahim, takkan ada yang percaya pada daftar hadir itu.
"Ah itu maunya kamu saja, kalau memang berwarganegara Cina, mengakulah. Terima saja kenyataan ini, nikmati!" tegur Hong agak sinis.
"Oh ya, lalu sebenarnya orang apa?" Aku bertanya dengan berbagai isyarat percuma, yang ternyata berhasil juga diterjemahkan oleh Hong.
"Saya tinggal di Uzbekistan. Tapi saya orang Uygur."
"Uygur?... Uygur? Saya juga kenal orang Uygur, namanya Salina. Aslinya Saltanat Ubrayim. Kami sering berjumpa dalam kegiatan kebudayaan, dia suka menari."
"Salina? Itu adik saya! Adik kandung saya! Kan Ibrahim itu nama keluarga kami, nama ayah."
"..."
Mungkin memang orang Uygur itu sedikit, dan lebih sedikit lagi yang datang ke Kyoto. Hanya tujuh yang saya kenal, dibandingkan seratus orang Indonesia. Usut punya usut, Ibrahim bukan mahasiswa atau peneliti di lab sebelah, tapi hanya menumpang belajar bahasa Jepang, dengan penjamin seorang
Sensei desain proses lingkungan saya,
associate professor di sana, yang kebetulan adalah kenalan baik suami Salina. Si abang ini telah berkeluarga di Uzbekistan, namun ketidakmampuannya berbahasa Inggris dan kewarganegaraan Cinanya malah menjadi penghalang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di perusahaan pribumi. Maka ia belajar bahasa Jepang agar dapat diterima oleh perusahaan Jepang yang cenderung lebih tidak rasialis, penuh tenggang rasa dan bergaji manusiawi.
Salina, adiknya, cantik putih, sedikit sipit namun bermata biru, adalah wanita yang supel, peneliti bahasa Uygur di Kyoto University yang sangat bersemangat menyelenggarakan kegiatan budaya Uygur di setiap acara pertukaran kebudayaan. Saat Ibrahim berhasil datang ke Kyoto, ia dan keluarganya, suami dan seorang putra balita yang bermata biru juga, telah terlanjur pindah menjadi peneliti di Yokohama, namun masih tetap menyempatkan diri mengumpulkan beberapa rekan Uygur untuk tampil menari di
International Community House.
Aku yang kebetulan tampil dalam mata acara berbeda, mengajar angklung untuk anak-anak, diminta membantunya memperagakan busana khas negerinya sebelum mereka mulai menari.
"Manik-manik dan mote-mote pada rompi ini buatan murahan, yang asli adalah dari emas permata, namun tentu saya tak sanggup membelinya, mahal dan takut hilang," kisahnya dalam perkenalan busana sebelum masuk ke mata acara utama, tarian. Ia menyingkapkan gaunnya yang terbuat dari sutra celupan asli, memamerkan sepatu buts kulit anggun dan celana panjang sutra bermotif khas negerinya.
"Dan celana ini, harus selalu dipakai kaum perempuan yang bergaun sekalipun, untuk kesopanan kalau menunggang kuda."
Lalu ia melepaskan topi musangnya yang lembut, "Topi bulu ini benda langka, milik nenekku turun temurun. Uygur punya banyak jenis topi yang mirip dengan Turki, karena merupakan perlintasan jalur sutra," jelasnya sambil mengeluarkan topi-topi dengan sulaman persis Aceh. Kemudian ia mulai mengatur rekan-rekannya berbaris dan mulai menari dengan anggun dan cekatan.
"Baiklah para penonton, tepuk tangan untuk pertunjukan rekan-rekan pelajar asing dari
Cina." Suara MC menggema ke seluruh aula.
Di belakang panggung, Salina menoleh ke arahku, dan memegang pundakku kuat-kuat. Matanya menyala-nyala.
"Mereka bilang begitu, apa boleh buat, karena kini kami terjajah. Tapi kamu harus tahu, kami BUKAN orang Cina. Bukan bagian dari Cina. Kami bangga sebagai bangsa
Turkistan. Camkan itu. Kami punya ras, budaya, dan bahasa yang sangat berbeda. Kami..."
Aku terpana melihat kehalusannya yang berubah menjadi garang. "Aku paham, Salina. Aku kan muslim..."
Uygur, suku bangsa di propinsi Xinjiang, "batas paling barat" Cina, merupakan sebuah komunitas Islam yang memiliki akar peradaban Turki, sehingga desakan untuk memisahkan diri dari Cina lebih kuat daripada suku Cina Muslim lain yang dominan, yaitu bangsa Hui. Karena satu keturunan dengan bangsa Han, bangsa Hui telah berabad-abad membaur dan memperoleh kemudahan beragama untuk mendirikan masjid, menjaga kehalalan makanan dan dilindungi hak-hak kewarganegaraannya oleh undang-undang negara Cina. Sementara Uygur, dengan kekhasannya sendiri, hingga kini masih sibuk melawan penindasan di ujung sana.
Indonesia, dengan kebijakan "Satu Cina", tidak akan mau mendukung upaya yang menjurus pada memerdekakan diri, takut menjadi tolok ukur terhadap kemerdekaan Aceh atau Papua.
Yah, tentu sebaliknya kaum muslim juga punya sifat SARA, dengan menimpakan dendam kesumat berabad-abad pada orang-orang Yahudi misalnya (sebagai Agama atau sebagai Ras?)
Atau yang lebih remeh-temeh seperti apa yang selalu saya ucapkan:
"Jangan panggil aku mBak! Aku bukan orang Jawa. Camkan itu."
Tohohohoho (^-^;v