Bacharuddin Jusuf Habibie, mantan Presiden ke-3 RI, telah meluncurkan catatannya mengenai masa kepresidenan beliau yang singkat cermat padat, berjudul "Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi".
Untuk memenuhi hasrat dan permintaan publik, penerbit akan menghadirkan pengarang untuk memberikan TANDA TANGAN bagi yang telah/akan membeli buku tersebut pada:
Tanggal: 26-30 September,10-12 dan 17-19 Oktober 2006
Pukul: 14.00--15.30 wib
Tempat: The Habibie Center, Kemang Selatan 98, Jakarta 12560
Informasi: (021)781-7211
Disediakan penjualan buku di tempat (selama persediaan masih ada).
Harga paperback Rp150.000, hardcover Rp... deuh, berapa ya? 250.000?
Mohon disebarluaskan kepada pihak-pihak yang tertarik dan berminat.
-THC- (=tetrahidrocannabinol??? Yahaha)
diperbaharui 10/10-2006:
FAQ DdyM
"Mengapa susah mendapatkan buku ini?"
"Penerbit baru mengeluarkan 5000 eksemplar di cetakan pertama, itu pun masih banyak yang apkir, dan masih banyak typo yang belum diperbaiki. Distribusi ke toko buku pun belum berjalan lancar. Namun, tanggal peluncuran telanjur ditentukan, undangan telah disebarkan. Ternyata, karena pemberitaan media massa yang mengemukakan kontroversi, tanpa disangka buku ini menjadi laris dan habis hanya dalam hitungan hari, menjadi instant bestseller."
"Mengapa sedikit dong mencetaknya?"
"Awalnya, ada pesimisme apakah buku ini akan laris di pasaran. Walaupun isinya dianggap akan menarik dan perlu dibaca oleh kaum tua dan muda, BJH adalah masa lalu, sudah tidak up-to-date. Apalagi harga yang dipatokkan terlalu tinggi bagi khalayak pembaca di Indonesia. Rp150.000 untuk paperback, Rp250.000 untuk hardcover. Itu memang keinginan pengarang, beliau tidak rela bukunya dihargai murah, karena ini nonfiksi. Sebenarnya bila mencetak sekaligus banyak, harganya jauh lebih murah, namun tidak ada yang berani memodali untuk mencetak sekaligus 25.000 eksemplar. Maka rencananya, lihat situasi pasar, resensi dan kritik, serta reaksi masyarakat di saat peluncuran dulu, baru memperhitungkan langkah berikutnya. Ternyata, jumpa pers yang diadakan beberapa hari sebelum peluncuran, berdampak terlalu cepat. Penerbit tidak punya kekuasaan untuk membendung reaksi beruntun yang ditimbulkan. Sehingga, semua mencari. Bahkan ada yang meminta didirikan gerai khusus di BPPT dan Ristek, memangnya dagang pisang goreng?"
"Mengapa tidak capai ya Bapak itu, menandatangani dua ratusan buku tiap hari?"
"Tampaknya sih senang, geer banyak penggemar, dan melipur Post Power Syndrome. Bahkan, beliau ingin berkeliling ke toko-toko buku di seluruh Indonesia, mengadakan jumpa fans. Tapi siapa yang berani membiayai serombongan besar? Sekali jalan ke Plasa Senayan saja harus pakai fore-rider. Jadi rencana itu belum tentu terwujud sih, tergantung keberhasilan penjualan buku juga."
"Mengapa judulnya Detik-Detik, bukan Detik-detik?"
"Kepatuhan terhadap EYD itu kan soal selera juga, dan mempertimbangkan keseimbangan penampilan. Kalau ditulis Detik demi Detik, Detik ke Detik, toh huruf D-nya besar juga. EYD itu sendiri adalah hasil dari saling gertak antara beberapa kubu ahli bahasa yang berbeda pendapat. Siapa yang paling berkuasa, EYD-nya lah yang akan dipergunakan dan dicantumkan di kamus besar. Selain itu, dalam hal ini ejaan yang patut diperhatikan justru adalah yang mengandung muatan political correctness, misalnya Cina yang tercantum empat huruf dalam EYD, dokumen Deplu, dan dipakai di suratkabar terkemuka, tapi negaranya sendiri lebih suka ditulis China, sebagaimana ditampilkan di kedutaan mereka. BJH sendiri, bila mempertahankan gaya khas penulisannya, akan menghantam semua nama benda diberi huruf awal kapital, karena terimbas bahasa Jerman."
"Seperti apa isi bukunya?"
"Polemik yang diliput media hanya satu babak kutipan dari buku tersebut. Mungkin sebaiknya baca saja komentar yang dibagikan pada saat peluncuran buku."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar