Senin, 24 September 2007

[Buku] 40 Hari di Eropa

40daysineuropeJudul: 40 Days in Europe: Kisah kelompok musik Indonesia menaklukkan daratan Eropa.

Ketika mengangkat kebudayaan angklung, dengan sasaran pembaca Indonesia, mengapa harus menggunakan judul bahasa Inggris?
Sok go-international?
Berusaha menyaingi chicklit?
Memangnya siapa sih yang ditaklukkan?
Menyedihkan rasanya, bahwa pola pikir terjajah seperti ini masih tetap melekat di kalangan remaja kita.
Membuat konser dalam negeri saja masih kelabakan, bisa-bisanya nekat berangkat ke londo sana.

Penulis: Maulana M. Syuhada

Cerita dalam buku ini adalah pengalaman sang penulis menggiring pasukan angklung almamater kami di enam negara eropa tiga tahun yang lalu. Berkat patah kaki gara-gara main bola akhir tahun lalu, beliau sempat cuti dan menyusun naskahnya dengan leluasa.
Darth Maul ini mantan ketua OSIS SMA angkatan saya. Manusia yang sangat aktif berorganisasi. Selama di sekolah beliau sendiri sama sekali tidak pernah ikut ekskul angklung kami. Baru setelah terdampar jauh di negeri seberang, beliau mulai menekuni kesenian. Akibatnya, guru-guru sekarang mengira beliau ini ketua KPA3 angkatan 96.

Penerbit: Bentang Pustaka

Mengapa mengambil penerbit dari Yogyakarta sedangkan cerita ini sepenuhnya berangkat dari Bandung? Karena Bentang Pustaka adalah lini yang menerbitkan novel Andrea Hirata, dan kompeten dalam mengolah memoar, katanya.

Jenis: Memoar

Pengelompokan buku ini ke dalam 'memoar' cukup menggelikan bagi saya karena sekitar setahun yang lalu seorang bos saya yang lain pernah bersikeras menolak istilah 'memoar' yang berarti kenangan. Bagi beliau, buku beliau merupakan 'catatan harian' karena ada bukti-bukti lengkap tertulis. Kebanyakan isi buku bos Maul ini juga diambil dari bukti-bukti tertulis, mengerahkan segenap cache dari hard disknya, jadi seharusnya juga bukan memoar.
Dan lebih membingungkan lagi ketika tercetak di sampulnya rekomendasi Ninit Yunita (novelis), satu-satunya pihak andalan dari kalangan awam (yang bukan akademisi ataupun orang kedutaan), bahwa
"Novel ini membuat saya ingin kembali menjadi siswa SMU!"
- entahlah memoar atau catatan harian, buku ini jelas berisi kejadian nyata, bukan novel.
- Anak-anak SMA SMUnya sendiri hanya anak bawang, pion-pion. Tokoh utamanya justru para sesepuh pengiringnya baik yang mahasiswa, lulus S1 maupun S2.
Setelah dikonfirmasi kepada sang penulis, beliau membela bahwa Ninit telah membaca naskah awalnya sebelum berkomentar. Apakah Ninit tidak tahu perbedaan antara catatan dan karangan, atau jangan-jangan memang ini strategi yang disengaja untuk mengecohkan dan meningkatkan penjualan? Kalau mengincar laris manis, kemas saja sebagai chicklit sekalian atuh!

Tebal: 572 halaman

Aduh, Harpot 1 sampai 4 saja belum setebal ini. Sebagian adalah akibat banyaknya berkas e-mail yang dikopipes mentah-mentah, tidak diatur sesuai ukuran halaman, sehingga terpatah-patah. Lalu balasan di bawahnya masih mengutip surat sebelumnya berturut-turut. Isinya pun kadang-kadang diulas juga sebagai rangkuman di dalam narasi, sehingga hal yang sama akan terbaca berulang-ulang dan melelahkan. E-mail berbahasa Inggris dibiarkan sementara bahasa asing lain diterjemahkan. Kalau konsisten menulis dengan bahasa Indonesia, seharusnya terjemahkan saja semua atau tidak sama sekali.
Fontnya kacau-balau. Huruf yang dipilih untuk membedakan e-mail, sms, dan tulisan tangan, tidak enak dibaca. Huruf miring dan tegak pun tercampur aduk karena salah atur.


Isi (spoiler abisss)


Padahal dengar-dengar sih ya, judul aslinya "30 tahun mencari cinta" tapi jangan harap menemukan kisah cinta yang menarik di sini. Ada sih disinggung kisah anak-anak memanfaatkan latar Eiffel buat jadian, atau bahwa sang penulis sempat patah hati dengan bule kampung, tapi itu pun hanya sepintas lalu, gak ada romantis-romantisnya acan.

Judul resminya 40 hari, tapi ceritanya merentang sepanjang 2 tahun dilengkapi kilas-kilas balik yang lebih mengekspos kemasyhuran diri pribadi sang penulis zaman menjadi ketua ini itu melaksanakan ana anu. Bikin buku lain saja, di buku ini nggak perlu itu mah!

Ada kerancuan yang timbul. Ketika setiap membeli barang kebutuhan sehari-hari saja beliau mempertimbangkan dengan konversi harga donner kebab, mengapa berani terus maju menyelenggarakan kegiatan yang telah dipastikan kekurangan dana?

Dari alur ceritanya ternyata ESA 2004 nyaris batal karena kegagalan tim memperoleh dukungan baik dari orang tua, alumni maupun pihak luar. Keberangkatan tetap terjadi karena sang penulis bersikeukeuh meyakinkan tim untuk meneruskan kegiatan, berhubung beliau terlanjur memesan tempat dan waktu di beberapa negara.
Beliau memang jenis orang keras kepala yang tidak pernah mau kenal kata mundur tiga langkah untuk ancang-ancang melakukan loncat jauh. Dalam beberapa keadaan antara hidup dan mati, itu suatu keunggulan karena beliau dipercaya banyak orang. Namun dalam keadaan tidak mendesak yang seharusnya bisa dibatalkan dengan baik-baik dan penuh pengertian, itu menjadi kelemahan.

Lalu ucapan puji-pujian kepada orang-orang kedutaan yang memberikan sumbangan pun diobral secara gombal. Lho kok baru minta uang setelah tiba, tidak dicolek sejak awal? Bukankah lobi-lobinya sudah sejak kapan tahu.

Mungkin akhirnya ada sepercik kemenangan dan pengalaman hidup yang diperoleh anak-anak selama di sana, tapi bahwa sempat sampai berutang sebesar sekian ribu euro, bagi saya itu kekalahan.
Angklung untuk mengamen, masih ok, tapi BUKAN UNTUK MENGEMIS.
Untungnya, tsunami yang menghempas turut membantu mereka meyakinkan pihak festival agar membebaskan utang tersebut. Kalau begitu bayarnya ke korban tsunami dong! Pertanggungjawabannya bukan kepada bule-bule, tapi kepada Yang di Atas!

Apakah dengan manual buku ini, ada yang bisa regenerasi dengan mengirimkan tim kembali ke sana? Banyak kelompok seni lain yang bisa sukses pentas ke eropa, baik yang dimodali sponsor dengan rapi, atau orang tua rela membiayai dengan ringan hati, maupun yang langsung ditanggung beres oleh KBRI setempat, dst, kenapa harus meneladani yang berutang. Masa, tiap keberangkatan tim angklung harus terjadi tsunami.

Kalaupun misalnya tujuan buku ini adalah untuk mengajak anak-anak belajar dari kesalahan, maka sasaran pembaca haruslah siswa SMU, tapi untuk itu cerita seperti ini masih perlu disadur, dikemas lagi untuk kepentingan yang lebih populer.


Penilaian


Bintang 1: Karena baik-buruknya cerita ini tetap berkaitan dengan angklung. Walaupun ternyata fokusnya adalah sang penulis dengan segenap lobi-lobinya, dan belum sampai ke tahap pengenalan terhadap jati diri angklung itu sendiri. Apa pun motivasinya, jarang-jarang orang patah kaki menyempatkan diri mengangkat tema ini.
Bahwa kegiatan beliau ini telah berbuah sebagai suatu karya, patut dicemburui...

Bintang 2: Karena berani malu demi melengkapi paparan. Walaupun setelah saya mengorek cerita para peserta yang lain dan menguping wawancara beliau di sana-sini, ternyata masih banyak lagi konflik internal penting yang dipendam, dan kebrutalan-kebrutalan anggota yang disensor, entah sengaja tidak dituliskan demi perdamaian abadi atau memang luput dari pengamatan karena hanya menggunakan satu sudut pandang.

Bintang 3: Karena saya kebagian buku gratisan bertanda tangan hasil antrian dan todongan di acara peluncuran, sehingga kalau tidak menambah bintang lagi, bisa-bisa saya digilas oleh para penggemar beliau yang tersebar di enam negara. Cape deeeeeh.
Tapi sebagai tebusannya, I regret that he just lost my vote in everything else. Not that it would affect him in any ways...

Ketika saya sampaikan pendapat awal saya terhadap buku ini, beliau bertahan dan menuduh saya over-cofident secara berulang-ulang (kurang satu n, mungkin sengaja ada maksud tersiratnya). Tapi sebagai yang mengalami suka-duka berjuang di pengorganisasian ekskul dengan kesehariannya, saya rasa pendapat baik anggota tim muhibah tersebut maupun yang berada di belakang layar, masing-masing perlu dipertimbangkan masak-masak dalam buku ini sebagai kegiatan bersama, bukan one man show. Bukankah itu intisari kegiatan angklung itu sendiri?
Pada dasarnya saya kecewa ketika tersirat bahwa beliau memperlakukan angklung lebih sebagai ajang membentuk citra diri, tantangan olahraga yang harus dimenangkan, atau tunggangan politik demi menembus diplomasi birokrasi. Kemurnian kesenimanan beliau sendiri sesungguhnya masih tanda tanya.

Tidak ada komentar: