Syafwina Sanusi Wahab (38) ini teman nongkrong nonton bioskop dan lawan berdebat di Kyoto, seorang perempuan Aceh yang sangat hiperaktif bergaul dan melakukan beragam hal.
Hanya saja kecenderungannya untuk selalu terjun berkesenian dan berorganisasi tampak berbenturan dengan tugasnya menuntut ilmu di negeri orang dan kodratnya sebagai perempuan (???)
Namun mungkin apa pun pengalaman beliau takkan pernah sia-sia, semakin mengasah kepribadian dan keterampilan mengolah bahasa.
Oke Kak Wina, cepat lulus, cepat nikah yah.
ACEH KEKASIHKU
MENCINTAIMU, Acehku
bagaikan menari di dasar samudera
bergerak tanpa suara, tanpa udara, tanpa cahaya
tak peduli lautan
menahan likok yang terus kutarikan dengan susah payah
melayangkanku dalam gerakan tanpa pola
ketenangan dunia bawah laut yang memabukkan
memenjarakanku dari dunia penuh cahaya di atas sana
Mencintaimu, Acehku
bagaikan terdampar di gurun tak bertuan
pasir dan angin menjadi lasykar badai
memutingbeliungkan semua langkah dan gerak
matahari membakar segala hidup
menghanguskan segala mati
fatamorgana jadi batas dua dunia
ketika rindu air tak pernah habisnya mengaliri jiwa
Mencintaimu, Acehku
tak pernah mudah
terkadang hati pun nyaris beku
peperangan dalam diri yang tak pernah usai
darah saudara yang terus memerahi bumi
mimpikan damai jadi bingkisan masa depan
bagi anak-anak kita
Mencintaimu, Acehku
adalah cinta tanpa batas
walaupun segala menikam dari segala sisi
rinduku padamu
tanah pembaringan sejuta syuhada
pentas seribu hikayat
negeri seratus pulau sepuluh bahasa
takkan pernah usai
Suara pucuk-pucuk karet dan sawit di bumi Tamiang
aroma pala, nilam dan birunya pantai Barat Selatan
rimbunnya Leusar di tanah Alas
dan hamparan bukit barisan
wangi kopi dan tepuk didong di tanah Gayo
tarian ikan aneka warna di dasar Iboh
legenda Simeulu yang tak pernah habis
dan tanah Pase yang mengawali aqidah ke bumi nusantara
suara senda pembuat emping, penyulam kasab dan kupiah riman di tanah Pidie
syair penari likok dari Pulo yang memabukkan
Rinduku padamu takkan pernah habis, Acehku
seteguk kopi panas dan sepotong jeumpahan di keude Beurawe,
kuah beulangong dan si manok di samahani
atau wajah-wajah bahagia pejual sirih dan pedagang kakilima
dengan panyot ceulot
di rusuk mesjid Baiturrahman yang melantunkan syair agung
Darussalam yang terus membuka pintu dunia
mengajarkan ilmu hati bagi sang penerus
Mencintaimu, Acehku
bagaikan suara azan bagi meunasah dan mesjid-mesjid
terus saja berkumandang setiap hari
mengalirkan kesejukan setiap hari
mengalirkan kesejukan dan kepasrahan pada sang Ilahi Rabbi
Aceh Kekasihku,
walau seribu perih menikam
dan secuil bahagia terus saja dirampas
aku akan selalu mencintaimu.
Lambhuk, 25 Februari 2007 (Wina SW1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar