Aku akhirnya menonton juga cinTapuccino. Berdasarkan cerita dan gosip kau sebelumnya, pengambilan gambar yang singkat dan terburu-buru dsb, aku sudah siap mental... Hanya tinggal mengobati rasa penasaran, how low can u go?
Yang paling banyak dikeluhkan orang adalah penokohan Nimo. Hal itu memang tidak sempat dijelaskan dengan gamblang dalam buku, mungkin karena kau segan untuk menyatakan pendapat mengenai siapakah Nimo itu menurut kau sendiri, atau karena kau memang sudah keburu luluh sebelum sempat mengenal baik seorang Nimo? Atau agar bayangannya bisa disesuaikan dengan khayalan masing-masing pembaca cewek, sosok Nimo masih tetap tersamarkan, bahkan ketika Rahmi berhasil meraihnya. Ini kelemahan utama buku kau, yang seharusnya bisa ditebus dalam film.
Namun misinterpretasi penokohan Nimo menjadi mellow ala melayu dan imut-imut pula begitu, ternyata tidak separah yang aku duga. Masih bisa aku terima sebagai “logika dalam”: yah maklumlah, siapa sangka logat norak menyedihkan begitu memang selera si Rahmi bloon itu, misalnya. Kekurangannya adalah dalam mengambil sudut penyorotan untuk membingkai para pemain secara nyeni. Banyak kok teknik perfilman yang mampu mengangkat sosok keren seseorang dengan kemampuan akting pas-pasan, hanya dengan membuatnya menyunggingkan ujung bibir, memiringkan kepala, berbicara cukup sepatah dua patah kata, sudah dapat memberikan kesan misterius yang mempesona. Film China all stars biasanya bisa begitu.
Tapi yang terparah di sana adalah kegagalan naskah skenarionya mengadaptasi wacana yang timbul dalam karya kau itu.
Setidaknya, di dalam buku tergambarkan bagaimana obsesi seorang ‘Rahmi’ menjadikan seorang ‘Nimo’ --seperti apa pun dia-- sebagai “raison d’etre”nya. Rahmi tidak hanya mengimpikan Nimo dalam catatan harian berwarna pelangi yang terkunci rapi. Dia aktif bergerak maju dengan berusaha membuka kesempatannya sendiri: berjuang ‘menguntit’ Nimo masuk ekskul yang sama, terus kuliah di kampus yang sama, sampai kerja ke perusahaan yang sama segala...
Walaupun ujung-ujungnya, gara-gara selalu grogi dan salah tingkah, ia tidak pernah sanggup memanfaatkan kesempatan yang telah terbuka itu untuk berkenalan lebih dekat, dalam satu sisi hal tersebut positif, mendorongnya mengembangkan diri ke satu tujuan hidup.
Sampai suatu saat, berkat kehadiran Raka baik secara langsung maupun tidak langsung, Rahmi tersadar bahwa dia harus mulai menentukan jati diri, bukan sekadar menjiplak jalan hidup orang yang dikaguminya. Ia berbalik arah. Dan mungkin keputusan itulah justru hal yang membuat seorang Nimo mulai memperhitungkan Rahmi.
Alur seperti itu tidak diwujudkan dalam skenario film, entah terlewatkan, atau memang disengaja demi pembodohan bangsa.
Adegan-adegan sia-sia yang disorot seakan mengesankan bahwa apa yang terjadi pada diri Rahmi semuanya taken for granted. Dia hanya merokok demi menghindari konflik. Satu-satunya yang dia lakukan hanyalah ketika menggenjot gas mobil mencari toko surabi. Tali pengikat cerita film ini kok ya malah jadi surabi, bukan kopi. Filosofi mantap yang diajukan mengenai manis pahitnya cappuccino, pun tidak disinggung dengan tepat. Kalau begitu judulnya jangan cinTapuccino, tapi Serba-Serbi Surabi saja!
Seandainya ini adalah kanTipuccino...
Aku akan membuat adegan-adegan yang simetris bolak-balik antara masa sebagai anak remaja SMA sampai masa sebagai orang dewasa berpenghasilan. Satu catatan, harus ada perubahan gaya rambut, gaya busana, dan gaya bicara yang signifikan.
Aku akan menyimpulkan saja bahwa di balik berbagai kelebihan dirinya, Nimo itu orang yang egois, narsis, arogan (seperti Shuri dalam Basara, misalnya) tapi justru itulah daya tarik yang membuat Rahmi tetap cinta buta.
Aku akan bersusah payah mengekspos andil sebuah ‘ekskul keamanan’ dalam kekacauan ini. Bukan sekadar kilas balik lari-lari dalam hujan dan kena razia. Mungkin saja di antara Rahmi dan Nimo terjadi dilematika yang bisa disebut ‘para-Stockholm Syndrome’ (atau pseudo-? halah). Atau ada kesenjangan komunikasi antara yang mendiklat dan yang didiklat, sehingga walaupun sudah berhasil berjuang menjadi satu ekskul, satu kampus dan satu perusahaan, masih tetap ada jarak dan dinding pembatas.
Aku juga akan membuatnya lebih time-sensitive. Aduh, orang Bandung tahun 95 mah bicaranya sayah-kamuh, bukan elu-gue! Lalu bagaimana para tokoh utama berhasil melampaui berbagai gejolak krisis moneter, reformasi, tonggak-tonggak sejarah Indonesia? Apa pengaruhnya bagi mereka. Sempatkah mereka ikut bersemangat demonstrasi, atau tidak mau ambil pusing pada urusan politik?
Kebudayaan khas ‘Indonesia asli’ yang menjadi semboyan chicklit kau itu, akan aku olah lebih dari sekadar tempelan. Bagaimana mereka akan merencanakan pernikahan bukan di aula hotel yang berlatar bar minuman keras, melainkan di teras rumah ke halaman sampai menghalangi jalan raya. Bagaimana keberadaan orang tua, terutama nenek-nenek cerewet yang heboh itu ternyata berpengaruh jauh lebih kuat dalam keputusan-keputusan yang akan mereka ambil, daripada sekadar nasihat sambil lalu antara berhenti merokok demi calon suami atau kembali merokok gara-gara patah hati. Menyirih sajalah sekalian.
Lalu aku juga akan mendidik tokoh Rahmi, yang semasa SMA hanya mampu membandingkan seseorang dari penampilan luar, agar lebih menghargai sisi lain dari diri seseorang. Siapa tahu Reta sebenarnya cewek berbakat hebat! Seandainya tingkatan Reta memang hanya sebatas materi yang melekat di badannya, dan Nimo sempat menyukai Reta, masa sih Rahmi rela membuang usia demi mengejar seorang Nimo yang berselera rendah!
Selain itu, latar distro juga akan aku manfaatkan sebagai kesempatan membuat “fashion statement” mencetuskan suatu trend baru di masyarakat. Nodame Cantabile yang bercerita seputar dunia musik saja, bisa menggebrak dengan setelan home-made one-piecenya sehari-hari yang sederhana tapi unik itu! Cerita kali ini sudah jelas menyorot distro, tinggal dieksplorasi lebih jauh apa jenis baju yang dijual, disesuaikan dengan tokoh-tokohnya masing-masing. Ini bukan sekadar factory outlet, tapi perlu ada visi dan misi yang tegas dalam desain produknya, sesuai dengan nama Barbietch misalnya.
Patut disayangkan Cha, potensi yang banyak dari chicklit satu ini kau korbankan ke pasar komersial demi ‘tumbal’ untuk batu loncatan membuat film berikutnya kapan-kapan. Padahal, novel debutan lain yang digarap secara jarak jauh, bisa saja tuh menghasilkan film yang lumayan. Seandainya memang mau menumbalkannya, kenapa tidak sekalian saja kau serahkan kepada LFM untuk diolah oleh para amatiran, misalnya?
Tapi masih ada kesempatan memperbaiki, kan. Bikin saja sinetronnya, tapi jangan tanggung-tanggung lagi! See ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar