Selasa, 11 September 2007

Taufiq Ismail dan Nasionalisme

taufiqMemang tahun ini tahun reuni. Minggu lalu saya menemui Taufiq Ismail (72), berlima dengan rekan kerja.
Sambutan yang cukup heboh bikin geer juga. Dahulu kala di masa balita saya memang sering ikut Ayah, teman seangkatan beliau, mampir meminjam komik Asterix dan majalah National Geographic ke rumah ini. Om Taufiq memperlihatkan kamar tempat saya menumpang dulu, kini telah dihuni oleh cucu pertama beliau.
Apa lagi ya... Oh ya! Chai-nya enak.

Tujuan utama sebenarnya adalah menemani bos melakukan wawancara bertema nasionalisme alias kebangsaan. Walah, PMP banget yah.

"Hmm, apa ya, sebagai anak usia 13 tahun, rasa kebangsaan itu tidak diajarkan di sekolah, tapi dialami langsung. Saat itu saya naik kapal bermuatan senjata selundupan dari Singapura, menerobos hutan bakau di perairan Sumatra... Begitu mencapai pelataran, terlihat Bendera Merah Putih di sana, rasa haru yang tercurah itulah nasionalisme bagi saya..." dan beliau pun menceritakan pengalamannya seputar masa agresi militer 1948, pengakuan kedaulatan 1949, dst.

Nah kalau pelajaran sejarah tidak mencukupi untuk membangkitkan nostalgia semacam itu di kalangan kaum muda, apakah kita sekarang perlu dijajah lagi, baru bisa nasionalime muncul di dalam kerangka berpikir kaum muda?

"Lho, penjajahan itu kan memang sudah berlangsung. Agen-agennya sangat ramah, penuh senyum menyapa, dan hadir di setiap rumah dalam bentuk kotak serba bisa. Televisi."

Lalu apa yang harus dilakukan agar kita kembali merdeka?

"Sudah banyak rekan-rekan yang bergerak dalam wacana itu, mungkin masih perlu mengerahkan lebih banyak orang lagi."

Bagaimana mengenai lagu kebangsaan yang relatif baru, seperti lagunya Cokelat, misalnya? Apakah rasa yang timbul dari sana bisa diasosiasikan dengan rasa kebangsaan yang dialami seputar perang kemerdekaan dulu?

"Wah, yang seperti apa ya? Saya tidak perhatikan. Nuansa rasa kaum muda memang berbeda dengan kaum tua. Tantangan yang dihadapi juga telah berbeda bentuk. Yah, daripada panjang berteori, mari kita simak apa kata si Toni..." dan mulailah beliau berpuisi.
Dikutip dari MAJOI, halaman 74.


KALIAN CETAK KAMI JADI BANGSA PENGEMIS,
LALU KALIAN PAKSA KAMI MASUK MASA PENJAJAHAN BARU,
Kata Si Toni (1998)
...
Kalian paksa-tekankan budaya berutang ini
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi
Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia
Kita gadaikan sikap bersahaja kita
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka
Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita
Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia

...
Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya
Meminjam kepeng ke mancanegara
Dari membuat peniti dua senti
Sampai membangun kilang gas bumi
Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi
Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis
Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis
Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa
...
dst (selengkapnya bisa digoogle sendiri tentu)


PS: Pesan sponsor: tolong dicamkan bahwa Taufiq Ismail itu ditulis dengan q seperti akyu, ya, jangan pakai k. Nah, lho, banyak kan yang sering salah?

Tidak ada komentar: