Rabu, 31 Oktober 2007

Mr Darling dan Cinta Fitri

Hadir di acara halal bihalal, Mr Darling membualkan bagaimana globalisasi dan teknologi informasi mengubah wajah dunia, bagaimana orang cnn dari berbagai ras dan latar belakang budaya bisa menggunakan bahasa yang sama memperjuangkan ideologi demokrasi, bla bli blu. Dan bahwa sebagai orang nyentrik yang sibuk luar biasa, selama 71 tahun beliau nyaris tidak pernah menonton televisi (selain jaringan cnn tentunya?) Setiap malam beliau menghadapi beberapa komputer sekaligus dalam tiga bahasa di meja kerjanya, ditunggui oleh sang istri tercinta. Bosan mengaji, mulailah sang istri menyetel televisi.

Sebelumnya Mr. Darling tidak pernah peduli kalau sang istri menceritakan tontonannya dengan penuh semangat, namun hal itu mulai masuk ke dalam perhatian beliau ketika sang istri selalu gelisah setiap mengadakan janji makan malam dengan orang penting. Kalau tampak sang suami masih nyaman mengobrol, sang istri, melupakan usia yang juga sudah kepala 7, akan pasang muka cemberut dan menyikut-nyikut. Begitu naik kendaraan, langsung menelepon polisi fore-rider agar lebih aktif mengosongkan jalan di depan demi sesegera mungkin mencapai rumah, tepatnya ruangan televisi, untuk menyetel kotak ajaib itu dan duduk manis tak sudi diganggu.

Heran terhadap tingkah laku sang istri, Mr. Darling pun mencoba menyelami apa yang sedemikian diutamakan. Ternyata oh ternyata, sinetron Cinta Fitri bow! Satu dua kali menemani menonton, ikut-ikutan penasaran deh. Tidak rela ketinggalan cerita, dikerahkanlah jaringan VVIP sampai SCTV berbaik hati mengirimkan 100 episode lengkap! Dapat dari mana pula waktu seratus jam untuk menyempatkan diri menontonnya Pak???

Setelah ditonton, beliau ikut terpesona dan heboh lah mengundang segenap pemeran dan kru Cinta Fitri, gak ketinggalan Punjabi-punjabinya untuk dijamu di kediaman beliau (gak mau kalah sama SBY mungkin).

Masalah kita adalah masalah peradaban, masalah budaya, demikian pikir beliau. Dan sinetron adalah sebuah media yang bisa dikerahkan untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada generasi muda, pikir beliau. "Tokoh-tokohnya, seangkatan cucu saya! Saya memperhatikan dialognya, bagus ya. Dari mana mereka ambil itu, ada novelnya kali ya?" ...... Gubraggg... Kayak gak tahu saja Pak!

Di saat berpisah, aku tahan Mr. Darling sebentar. "Pak, sinetron Cinta Fitri itu jiplakan dari telenovela Korea lagi! Makanya kalau nanti memang Bapak janji ketemuan dengan orang-orang sinetron itu, tolong sekalian juga diingatkan ya, jangan sembarangan membajak cerita."

"Yang saya tonton cuma satu itu saja kok. Saya tidak pernah menonton yang lainnya."

"Lha iya Pak, yang satu itulah yang bajakan!"

(Dengan muka aneh, entah salah paham mengenai apa yang saya omongkan, entah gak percaya) "Yah, namanya kita bangsa Indonesia kan memang masih susah, ya... Yang penting kan bagaimana sinetron itu bisa menjadi alat pendidikan."

"Lah saya sendiri sih kalau sekadar hiburan, mau bajakan, mau jiplakan juga gak apa-apa lah asal bagus dan asyik Pak, nikmati saja. Tapi kalau mau mempergunakan media jiplakan untuk bicara soal moral, tunggu dulu! Soal royalti lain lagi lho Pak, setidaknya ini soal penghargaan."

Pak Editor yang bijak nimbrung. "Iya Pak, kebanyakan kru dan pemerannya sendiri tidak sadar kalau ini adalah bajakan. Mungkin penulis skenario pun tidak tahu bahwa menerjemahkan tanpa permisi juga merupakan penyalahgunaan hak cipta. Yang harus bertanggung jawab adalah produser yang tidak mau repot."

"Begitulah Pak, kalau mau menghargai para kru dan pemeran, silakan, tapi jangan Punjabi-punjabinya dong Pak..."

Sayangnya Mrs. Darling lewat. "Ya, cinta itu cinta..." Dan pembicaraan saya pun terpotong. Sementara seorang pejabat negara setingkat menteri, sama sekali gak nyambung dengan wajah galaknya, menyatakan berminat meminjam yang 100 episode lengkap itu, karena beliau juga sempat menonton melompat-lompat.

Heran, mengapa justru di saat kepemilikan budaya kita dipertentangkan dengan Malaysia, malah yang satu ini yang digembar-gemborkan. Mengapa bukan Si Doel, Bajuri, atau KSD???
Memang salahnya sinetron-sinetron 'asli' tayang sekitar Maghrib-Isya, saatnya mematikan televisi demi ibadah, atau masih dalam perjalanan pulang. Sementara si Cinta Fitri ini ditayangkan pada jam tenang para pejabat VVIP.

Masih mending (mungkin, karena di jam tayangnya saya pasti sudah tidur nyenyak) Cinta Fitri ini cukup berhasil menampilkan ke-Indonesiaan dibandingkan sinetron jiplakan lainnya. Untuk menjadi demikian dibutuhkan proses penerjemahan atau penyaduran yang tidak mudah. Kebetulan juga, jiplakannya berasal dari Korea yang umumnya masih menampilkan "kepantasan Asia", sehingga malah jauh lebih sopan daripada sinetron yang dikarang sendiri oleh generasi muda Indonesia yang ingin sok modern???

Tapi tetap saja sayang, kalau pemerannya main bagus, sinematografi oke, tapi alur cerita jiplak sana-sini. Dan kalau mau bicara soal penanaman moral melalui sinetron, jangan yang perlu menghabiskan 100-777 jam (belum diselang iklan pula) untuk menyampaikan ide sederhana lah! Itu mah sudah jelas-jelas gerakan pembodohan! Waktu sedemikian rupa kan bisa dipakai mengerjakan hal-hal yang lebih bermutu! Berdzikir misalnya... Baca komik pun masih mending, bisa diselaraskan dengan kegiatan sehari-hari.

Dan bila jajaran orang-orang pintar (dan berkuasa?) di Indonesia ternyata masih bisa ikut kecanduan sinetron, APA KATA DUNIAAA???

Memang benar kata Oom Taufiq, kotak ajaib itu alat penjajah. Dan benar kata Manjoume, "Menjadi asli akan merugi. Yang menirunya pun masih belum apa-apa. Untuk menguasai dunia, sudah jelas... Tiruan dari tiruan."

2 komentar:

widya mengatakan...

masuk juga di detik tentang jamuan undangan itu, baru ngeh saya, ternyata beneran ya. Dikau ternyata berpartisipasi di habibie centre ya kan? good luck deh:))

Anonim mengatakan...

kanti, drama koreanya judulnya apa? thxb4.