".............................."
Hihihi, jadi malu, selama ini aku menyikapi dengan dingin.Hanya agak terseret histeria kehebatan skala peristiwa itu.
Apalagi setelah memastikan bahwa sahabat-sahabat yang aku kenal terselamatkan, cukup membuatku tenang dan nyaman.
Ternyata trauma tak hanya dialami para korban, melainkan juga orang-orang lain yang terjangkau pemberitaan media massa. Dalam keheningan, mereka gentar membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi."Kalau bisa sih saya ingin pindah ke gunung Kak..."
"Wah adik-adik sayang, namanya cobaan dari Allah itu, ke mana pun kita lari menghindar, pasti terkena juga lah. Siapa yang bisa janji kalau gunungnya tidak kena gempa juga dan malah meletus?"
"Iya ya..."
"Tapi jangan takut, kalau berbuat baik selalu, insya Allah dilindungi. Mati pun pasti masuk surga kan? Coba hafalkan saja doa Nabi Musa as ketika menghadapi gempa, QS Al A'raaf 155-156. Mana Quran kalian?"
"Tidak punya, biasanya pinjam di Masjid Baiturrahman Kak."
"Haaa? Itu bukan yang di Aceh kan? Ya sudah nanti cek saja ke sana.
Rabbi lau shi-ta ahlaktahum min qablu wa iyyaaya atuhlikunaa bimaa fa'alassufahaa-u minnaa in hiya ilaa fitnatuka tudhillu bihaa man tasyaa-u watahdii man tasyaa-u anta waliyyunaa faghfirlanaa warhamnaa, wa anta khairul ghaafiriin, waktublanaa fii haadzihiddunyaa hasanataw wafil aakhirati, innaa hudnaa ilaik...
Tuhan, jika Kau kehendaki, tentulah Kau binasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Kau binasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu semata cobaan dari Kau, dengan itu Kau sesatkan siapa yang Kau kehendaki dan Kau beri petunjuk siapa yang Kau kehendaki. Kaulah pemimpin kami, ampunilah kami, kasihilah kami, dan Kaulah pemberi ampun yang sebaik-baiknya. Dan tetapkanlah untuk kami kebaikan dunia akhirat, sesungguhnya kami telah kembali pada Kau.
Begitulah kira-kira, atau pakai doa-doa memohon keselamatan yang versi lain juga bisa lah, yang rajin berdoa dan belajar, yaaa."

(Dan pada kali itu aku kembali sok alim, tohoho)

Oya, dapat situs konspirasi teori dari Wildan lfm. Menarik juga.
Jadi terkenang Spriggan (anime yang disupervisori Otomo Katsuhiro sehingga jadi agak sejenis dengan Akira).
Ceritanya, kapal Nabi Nuh yang terdampar di Ararat ternyata merupakan sebuah mesin canggih untuk mengatur cuaca di seluruh muka bumi dan menyimpan beragam sampel plasma nuftah! Huaaaah
dan aku terpana kagum, bisa-bisanya...

God-Ener si manusia petir, dengan daun telinga yang terjulur dan cara tertawanya yang lepas, merupakan salah satu tokoh antagonis kegemaranku dalam
Mungkin dia kehilangan keseimbangan (biasanya raijin dewa petir selalu bersanding dengan fuujin dewa angin, kali ini dia bertingkah sebagai Tuhan Yang Maha Esa) sehingga menjadi otoriter begitu. Dari jurus-jurusnya, bermunculanlah semua nama dewa Petir dari aneka peradaban di segenap penjuru dunia. "Mamalagan!" "El Thorrr!" "Amaru!" "Hino!"

Entah karena suasana yang ditangkap itu sangat Bandung, entah karena sedang berusia sepantaran dengan sang tokoh (QLC gitu), alur cerita kali ini terasa lebih asyik (walaupun mungkin lebih ringan) dibandingkan dua sebelumnya.



Plang di pulau Iriomote, Okinawa Jepang. Pulau terbesar kedua di provinsi ini, terdekat ke Taiwan, penuh hutan bakau, dan yang paling pertama menyambut Taifuu...
Bacaannya, "Hati-hati, Meloncat: Kucing Gunung Iriomote yang Sedang Mengasuh Anak".
Sebagai antisipasi terhadap berseliwerannya mobil dan truk yang mengancam nyawa, maka dipancangkanlah rambu-rambu lalu lintas dalam selang setiap sekianpuluh meter di pinggir jalan raya. Desain beragam sesuai dengan selera pembuatnya, masing-masing berisi kalimat peringatan yang berbeda. Yang satu ini dikarang oleh anak-anak setempat, artinya:
"Awas Banyak Kucing Gunung Menyeberang"
Tapi, maklumlah, kucing kan jam bioritmik aktifnya malam hari. Sementara kucing kampung di sekitar RT/RW saja sedemikian susah untuk didekati, apalagi kucing gunung...
Sampai-sampai Belgia menerbitkan limapuluhribu keping mata uang 10 Euro bergambar kepala si jambul (eits bukan sembarang recehan, kalau dikurskan jadi sekitar 120ribu rupiah lah, tak kuat modal aku untuk mengoleksinya).
Namun sayang, bagi Tintin, Indonesia, di Nusa Tenggara, ternyata hanya sekedar gerbang menuju dunia teknologi makhluk asing, yang kelangkaannya setingkat dengan komodo dan monyet bekantan, pada transit ke Sydney yang gagal.
Sedangkan Jepang, baik sebagai negara maupun perorangan, menjadi musuh besar di le Lotus Bleu. Digambarkan Mitsuhiratou (rasanya sih tak ada nama Jepang betulan yang seperti ini) sebagai antek perdagangan opium di Shanghai. Kemudian bagaimana pemerintah Jepang saat itu memilih mundur dari Liga Bangsa-bangsa demi mempertahankan pendudukan di Cina. Dengan stereotip tersebut dalam otak sang pengarang, kita jadi tak pernah menemukan satu pun petualangan Tintin di Jepang. Tapi di pusat pertokoan Sanjo, Kyoto, ada satu tempat parkir saya yang selalu menyenangkan: 








Di 





Tahun baru 2004 aku lewatkan bersama