Sebenarnya mau cerita tentang tahun baruan, tapi suasananya belum pas. Jadi mengirim jepretan ini saja dulu.
Pak pendeta di gerbang "kuil Timur" Kyoto (Touji) yang dengan khusuk mengumpulkan bokin untuk gempa di Iran, Februari 2004.
Kini, tulisan di kotak kenclengannya, tentu "untuk korban tsunami di Asia Tenggara".
Mahasiswa Indonesia di Jepang pun kini sedang tak mau kalah berjuang untuk menggalang dana di sela-sela perayaan tahun baru.
Di masa krisis ekonomi, saya pernah membantu rekan Aceh di LFM berdagang peci dan dompet bersulam di keramaian matsuri-matsuri Jepang, keuntungan bersih sekali gelar dapat sekian ribu yen. Tapi itu bukan kegiatan amal, melainkan bisnis halal cinderamata yang laris manis karena memang komoditasnya bagus, tanpa perlu menjual derita. Dan berhenti ketika pasokan habis.
Kegiatan tahunan penggalangan dana selama ini, MI atau Lovin, melibatkan orang-orang luar Aceh juga, sehingga terasa tak adil kalau hasilnya difokuskan ke Aceh. Toh orang sengsara di Indonesia tersebar bukan hanya di Aceh saja, sementara orang "Aceh murtad" yang bermewah-mewah di ibukota juga berjumlah tak sedikit. Apa makna nasionalisme yang dielu-elukan, ketika secara perorangan malah tidak membela kepentingan kelompok di sekelilingnya?
Namun, adalah fakta bahwa Aceh sudah lama sengsara.
Maka sudah sejak beberapa tahun yang lalu sering tercetus rencana mengamen di panggung sebagai penggalangan dana secara keorganisasian, yang sejak awal diniatkan khusus untuk daerah tersebut. Namun karena salah paham, kebanggaan yang terluka, kekurangan waktu dan tenaga, serta kelumpuhan organisasi, rencana ini kembali padam tidak terwujud.
Namun apalah arti dana yang tersedia bila penyebarannya tidak terstruktur, sekedar dilepaskan ke yayasan-yayasan yang tidak dipahami cara kerjanya. Ini bukan curiga, tetapi demi berjaga-jaga. Kemudian saya membayangkan, seandainya masing-masing anggota bertanggung jawab secara pribadi dan secara psikologis juga dalam penyaluran dana, misalnya menjadi orang tua asuh yang melayani keluhan setiap anak yang dibeasiswai dana organisasi kami.
Tapi itu tidak mudah.
Dan bagaimanapun juga, uang yang terkumpul sebenarnya hanya "buangan sisa" dari anggaran sponsor: organisasi persahabatan Jepang-Indonesia, yang kegiatannya makan-makan, pesiar dan hura-hura. Rancu. Tentu akan lain, kalau semua adalah hasil jerih payah kita secara langsung, merasakan setiap bulir keringat ketika memperolehnya.
Entahlah.
Yang jelas, bukan hanya uang yang diperlukan, tetapi juga ilmu demi melakukan perbaikan jangka panjang yang lebih nyata. Rekan-rekan yang sedang turun ke jalan, jangan lupa tetap belajar...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar