Walaupun hari sudah beranjak malam, aku menyempatkan diri mampir juga. Mumpung bertetangga. Saat itulah sang sosok hitam-hitam muncul menyapa. Setelah berbasa-basi menceritakan perihal diriku, beliau menimpali: "Oh, orang Bandung juga, mampirlah ke Supratman... Wah, kita sama dong. Saya sempat kuliah teknik penerbangan. Di bawah naungan mesin juga. Tapi lalu saya beralih menekuni musik. Tepatnya amplified sound. Memperbesar hal-hal yang penting untuk aksentuasi... "
Hmmm, setidaknya, aku lumayan suka gaya beliau yang hitam-hitam itu. Mungkin memang ada sedikit kesamaan selera...
Ternyata, ini adalah pentas kolaborasi dengan mahasiswa Kyoto Kougeidai, sebagai salah satu program belajar mereka.
"Perang adalah Perang, Damai adalah Damai... Keduanya adalah dua sisi mata uang yang takkan pernah berhubungan..." Gema suara Putu Wijaya di tengah gelombang layarnya.
"Bising sekali..." bisik ibu Ayip Rosjidi yang duduk di sebelahku. Kan memang untuk aksentuasi, renungku akan obrolan sebelumnya dengan Harry Rusli.
Lalu ada sedikit diskusi dengan para mahasiswa dan penonton yang terdiri dari berbagai bangsa. Di kesempatan tersebut, oom Harry membual bahwa sementara beliau belajar banyak dari Putu Wijaya, sebaliknya beliau juga menjadi guru pak Putu mengenai segala jenis penyakit dan obat-obatan. Ucapan yang menyebalkan, pikirku. Tentu ucapan itu telah dimuat di media massa, namun baru kali itu aku mendengarnya, itu pun dengan telinga sendiri.
Terakhir, di bulan puasa aku membaca berita koran tentang kegiatan berbuka makan gratis di rumah beliau, yang juga mengutip alasan beliau jadi penyakitan: Digebuki ketika demonstrasi sampai kehilangan kekebalan tubuh. Komentar adikku, ah di jalan Supratman itu kan kerjaan dia merokok dan mabuk-mabukan. Yah mungkin saja setelah menyadari kondisi tubuhnya, beliau nekad menikmati hidup...
Namun dari pengamatan keluarga yang cukup dekat, semua adalah bagian dari pemberontakan. Dari sekeluarga dokter, hanya beliau yang meneruskan jejak leluhur berkesenian dengan serius. Dan seakan menyindir kemapanan keluarga yang tetap tak dapat menyelamatkan seorang anggota mereka.
Mana aku tahu bahwa hanya beberapa minggu dari berita yang kubaca itu, beliau tiada. Padahal, jalan Supratman sama sekali belum aku kunjungi, walaupun sudah berniat mencuci jok kursi ke sana.
Teror adalah pembelotan, pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif terhadap logika -- tapi nyata. Teror tidak harus keras, kuat, dahsyat, menyeramkan; bahkan bisa berbisik, mungkin juga sama sekali tidak berwarna...
...Ada juga ternyata, teror mental berupa kematian seseorang...
Teror mental adalah sebuah usaha untuk menyulut peperangan batin. Ia tidak selalu harus besar, spektakuler, mengerikan, atau menakutkan -- meskipun juga bisa saja begitu - teror mental adalah sebuah titik kecil yang ditancapkan kepada sebuah balon yang sedang melembung. Ia bisa hanya sebuah senyum, hanya sebutir air mata, atau sebuah kata tegur yang lirih dan sopan. Tak penting wujudnya, yang terutama adalah akibat-akibatnya. Tidak perlu memporak-porandakan, cukup meraba, memegang atau menyapa, kekuatan batin itu sendiri kemudian yang selanjutnya bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar